PENATAAN IBADAH DI BNKP
Oleh: Pdt. Tuhoni Telaumbanua, M.Si, Ph.D
1. Pengantar
Akhir-akhir ini ada banyak pertanyaan dan keluhan sehubungan dengan Agendre (tata ibadah/liturgi) di BNKP, yang disebabkan dengan munculnya berbagai model liturgi yang dianggap lebih gebiar dan menghebohkan. Ada jemaat yang merasa terganggu dengan kehadiran aliran lain dengan model ibadahnya yang berbeda dengan tradisi gereja BNKP; ada juga yang mencoba ikut-ikutan dengan model yang baru; tetapi tidak sedikit juga yang tetap bertahan dengan yang lama. Belakangan ini banyak orang mencoba membuat ibadah di jemaatnya agar ‘lebih hidup’ dengan mengganti liturgi yang ada dengan liturgi yang lebih populer atau trendy. Yang lainnya mengubah jenis nyanyian atau alat musik yang dipakai.
Cara tersebut memang bisa membuat ibadah lebih
semarak, lebih ramai, lebih populer, namun belum tentu menjadi lebih hidup!
Tentu setiap gereja ingin memiliki ibadah yang hidup dan menyegarkan. Tetapi
sebenarnya sebuah ibadah baru dikatakan hidup jika melaluinya terjadi
penyatuan dengan Allah (union with God), dan melalui
komunikasi selama ibadah, jemaat menjadi “sehati sepikir” baik di antara mereka
maupun dengan Allah. Jemaat menjadi sadar apa yang menjadi kehendak Allah bagi
mereka. Apa hasilnya? Tuhan dimuliakan (glorification) dan orang
percaya dikuduskan (sanctification). Jadi, ibadah yang hidup adalah
ibadah yang melaluinya seseorang bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan
perjumpaan itu mentransformasi hidupnya.
Memang benar Tuhan hadir dimana-mana, tidak hanya
di gedung gereja saat ibadah berlangsung, tetapi ibadah bersama di gereja lebih
dapat membawa umat merasakan kehadiran Allah, sebab pada saat itu kita
benar-benar memfokuskan diri kepada Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan seperti
selembar kertas yang tergeletak di sebuah lapangan parkir pada siang hari yang
panas. Cahaya matahari bersinar merata di segala sudut, namun tidak dapat
membakar kertas itu. Hanya jika ada orang membawa kaca pembesar lalu
memfokuskan cahaya matahari ke atas kertas itu, kertas dapat terbakar. Begitu
pula dalam ibadah. Saat jemaat sungguh mengarahkan hatinya kepada Tuhan,
barulah mereka dapat merasakan kehadiran-Nya dan ditransformasi olehNya. Lebih
dari itu, salah satu faktor penting dalam ibadah ialah persekutuan umat sebagai
anggota tubuh Kristus. Ada
banyak orang yang mengatakan bahwa tidak perlu ibadah di gereja, lebih baik
ibadah di rumah melalui Televisi, dengan acara dan khotbah yang menarik.
Pemikiran tersebut selain mengabaikan dimensi persekutuan, juga tidak ikut
berpartisipasi dalam ibadah pada Tuhan. Apalagi, dalam ibadah bukan manusia
yang menonton melainkan Allah dan manusia yang beraktifitas.
Pertanyaan lebih lanjut ialah bagaimana menata
ibadah yang hidup dalam arti mewujudnya persekutuan yang indah
dan mendalam dengan Tuhan dan sesama? Ada
banyak faktor yang mempengaruhi “ibadah yang hidup”, baik dari pihak umat
sendiri, tataan ibadahnya, pelayannya, tempat persekutuannya (gedung) dan
sebagainya. Materi ini akan mencoba memberikan beberapa pokok pikiran, dengan
lebih dahulu mengetengahkan secara singkat pemahaman tentang liturgi.
2. Apakah
Liturgi itu?
Adakah hubungan antara ibadah dengan kehidupan
sehari-hari? Jawabnya dapat kita telusuri dari asal-muasal istilah
liturgi. Menarik sekali, bahwa kata “liturgi’ berasal dari kata berbahasa
Yunani: leitourgia. Asal katanya adalah laos (artinya rakyat) dan ergon
(artinya pekerjaan/karya). Jadi, liturgi adalah pekerjaan publik atau pekerjaan
yang dilakukan oleh rakyat/jemaat secara bersama-sama. Dalam Perjanjian Baru, leitourgia
diterjemahkan sebagai pelayanan (misal: 2 Kor 9:12 dan Fil
2:25). Dalam Septuaginta (yaitu Perjanjian Lama yang diterjemahkan dalam
bahasa Yunani) kata leitourgia juga digunakan untuk
menterjemahkan istilah Ibrani abodah (yang berarti
ibadah). Dalam pengertian yang sempit liturgi berarti ibadah, dalam
pengertian yang luas liturgi berarti keseluruhan hidup orang Kristen di tengah
masyarakat. Dengan demikian sangat jelas bahwa ibadah / liturgi tidak terbatas
pada acara ceremonial, melainkan sangat berhubungan dengan kehidupan kita
sehari-hari. Ibadah yang tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari akan
menjadi rutinitas yang kering, yang bahkan bisa mengarah kepada
kemunafikan. Sebaliknya, ibadah kita akan lebih hidup dan
lebih bermakna bila terhubungkan pada kehidupan sehari-hari dalam segenap
dimensi hidup manusia. Bagaimana caranya? Kita bisa melakukannya dari dua
arah. Pertama, kita membawa pergumulan hidup kita sehari-hari ke
dalam ibadah kita. Ibadah adalah kesempatan terbaik untuk membawa seluruh
pergumulan kita – dosa-dosa, ketakutan-ketakutan, kelemahan-kelemahan, dan
rencana-rencana kita – di hadapan Tuhan. Kedua, kita membawa apa
yang kita terima di dalam ibadah – sabda Tuhan, motivasi, semangat, dan
sukacita – ke dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, liturgi adalah kegiatan peribadahan
dimana seluruh anggota jemaat harus terlibat secara aktif dalam pekerjaan
bersama untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan. Dengan pengertian
ini, dapat dikatakan bahwa “liturgi” adalah “ibadah.” Setiap ibadah Kristen
harus bersifat liturgis; artinya melibatkan setiap orang yang hadir didalamnya.
Sekali lagi, ibadah dimana jemaat hanya menjadi penonton yang pasif
bukanlah ibadah sesungguhnya. Oleh karena semua anggota jemaat harus
terlibat aktif, perlu ditentukan kapan giliran mereka berpartisipasi dalam
ibadah dan bagaimana bentuk partisipasinya (apakah menyanyi, berdoa, memberi
persembahan, dll). Dari sini muncullah “tata ibadah”yang mengatur giliran
partisipasi setiap orang dan Tata ibadah sering disebut liturgi dalam
arti sempit.
Banyak orang memiliki konsep yang keliru
tentang ibadah. Kita cenderung memandang ibadah seperti pertunjukan
teater. Yang menjadi aktor adalah pendeta dan pelayan ibadah lainnya.
Penontonnya adalah anggota jemaat yang hadir, sedangkan sutradaranya adalah
Tuhan. Konsep ini keliru karena memandang jemaat hanya sebagai penonton! Soren
Kierkegaard, seorang teolog Eropa abad ke-19, mengatakan bahwa dalam ibadah
Kristen, aktornya adalah jemaat. Sutradaranya adalah para pelayan ibadah
(pendeta, liturgos, pemusik), sedangkan penontonnya adalah Tuhan! Tata ibadah
adalah skenario drama yang harus dimainkan oleh anggota jemaat sebagai para
pemeran. Bagaimana agar hakekat dan makna ini sungguh-sungguh terjadi dalam
kehidupan gereja? Perlu penataan ibadah/liturgi dengan baik.
3. Bagaimana
Menata Liturgi yang baik?
Ada Empat faktor yang mempengaruhi hidup-tidaknya
sebuah ibadah. (1) Faktor Pribadi; (2) Faktor Liturgi; (3) Faktor
Sarana-Prasarana, dan (4) Faktor Pelayan. Jika keempat faktor ini bisa ditata
dengan baik, terjadilah ibadah yang hidup. Sebaliknya, jika factor-faktor
di atas tidak tercipta dan tidak berkerjasama atau terjadi disintegrasi
di antaranya, maka ibadah akan berjalan secara mekanis dan rutinitas saja.
3.1.Faktor Pribadi Warga
Kehadiran warga jemaat dalam ibadah (termasuk
PA/PD) berhubungan dengan kesadaran dan kedewasaan iman warga. Tetapi ini juga
berkaitan dengan: (1) kualitas dan kuantitas dari persekutuan, (2) ibadah, (3)
pelayanan, pembinaan – pengajaran, pemberitaan/khotbah, serta (4) penggembalaan
yang dilaksanakan. Tentu terlaksananya program tersebut berkaitan dengan
keaktifan para pelayan, serta kualitas dan kuantitas para pelayan.
Setiap pribadi yang hadir dalam ibadah sangat
menentukan tercapai atau tidaknya ibadah yang hidup. Sehebat apapun disain
sebuah ibadah, serta kecanggihan sarana-prasarana, tetapi jika anggota
jemaatnya tidak punya hati yang sungguh-sungguh ingin beribadah,
tidak dapat menciptakan ibadah yang hidup.
Mari kita melihat hambatan-hambatan apa saja yang
dapat menghalangi anggota jemaat beribadah bisa berpartisi secara penuh dalam
ibadah.
1) Adanya
Masalah pribadi. Pergumulan hidup, kesehatan yang terganggu, rasa
bersalah, krisis iman, semuanya dapat membuat seseorang tidak dapat
berkonsentrasi dalam ibadah dan berpartisipasi sepenuhnya. Begitu pula jika
seseorang datang beribadah dengan motivasi yang keliru (misalnya, untuk mencari
jodoh, bertemu sahabat), maka hatinya menjadi tidak dapat sungguh-sungguh
beribadah.
2) Konsep yang
keliru. Banyak orang datang ke gereja dengan pola pikir yang konsumtif.
“Saya harus mendapat sesuatu” dalam ibadah, bukannya “saya harus menyumbangkan
sesuatu.” Mereka menempatkan diri sebagai penonton, bukan sebagai pemain yang
turut rnenentukan hidup-tidaknya ibadah.
3) Hatinya
belum diterangi, Ibadah Kristen hanya bisa bermakna bagi mereka yang sudah
diterangi hatinya oleh Roh Kudus (illumination of the heart). Orang
hanya bisa mengalami perjumpaan dengan Allah jika hatinya telah”diterangi” (2
Kor 13:14-16), dalam artian ia telah memiliki iman kepada Kristus (Kis 26:18,
Rom 8:5, Why 21:5, Yoh 9:39). Jika anggota jemaat belum lahir baru, sulit baginya
untuk dapat menikmati ibadah. Baginya, ritus-ritus ibadah hanyalah ritual
kosong yang membosankan.
4)
Tidak memahami tata ibadahnya. Jemaat perlu
memahami apa yang terjadi di dalam ibadah. Mengapa kita beribadah seperti
sekarang ini? Bagaimana melakukannya dengan benar? Disini diperlukan penerangan
pikiran (illumination of the mind). Mereka memerlukan pengetahuan
tentang liturgi.
5)
Untuk membantu warga jemaat dalam mengatasi
hambatan-hambatan ini, maka gereja perlu melakukan pelayanan yang baik, misalnya:
1) Menyambut
Jemaat dengan sukacita dan persaudaraan. Penyambut umat atau penerima tamu
merupakan unsur terpenting dalam menciptakan suasana hati umat. Umat yang
datang dari rumah dengan hati gelisah, kesal atau sedih bisa menjadi tersenyum,
tenang dan damai ketika mendapat sambutan hangat di depan pintu masuk gereja.
Ia akan masuk dan mengikuti ibadah dengan senang dan suka cita. Sebaliknya,
umat yang datang dari rumah dengan suka cita bisa menjadi kecewa, kesal bahkan
marah karena disambut dengan dingin. Ia akan masuk dan mengikuti ibadah dengan
marah dan tidak tenang, setiap unsur ibadah dikomentari secara negatif. Untuk
itu, penyambut umat adalah orang yang ramah, suka bertegur sapa dan tidak harus
mengenal semua orang. Penyambut umat bukan hanya memberikan tata ibadah atau
warta gereja tetapi memberikan salam sejahtera, senyuman, dan tatapan
penyambutan persekutuan.
2) Menciptakan
suasana gembira sebelum ibadah dimulai melalui nyanyian.
3) Memberikan
warga jemaat waktu untuk hening. Jika jemaat hadir dengan pikiran yang
kusut atau hati yang jengkel, mereka perlu menenangkan diri lebih dulu agar
dapat memasuki suasana ibadah. Kita dapat menolong dengan memberikan mereka
kesempatan berdiam diri di hadapan Tuhan. Kesadaran dan kepekaan akan Tuhan
bisa muncul di tengah keheningan. Suasana hening bisa kita sediakan sebelum
ibadah dimulai, jika perlu diiringi musik lembut yang meneduhkan hati. Pada
saat pelaksanaan Votum, kita juga dapat mengajak jemaat untuk mengarahkan hati,
pikiran dan segenap hidup dalam menghadap Tuhan. Kesempatan lain bagi jemaat
menghilangkan pikiran kusut dan hati jengkel atau perasaan tidak enak.
4) Memberikan
pendidikan/formasi liturgi pada jemaat. Untuk bisa beribadah dengan baik,
jemaat harus familiar dan menguasai liturginya (predictable).
Jika tidak, mereka akan merasa menjadi orang asing (outsider) dan
tidak bisa menikmati ibadah. Menguasai liturgi sama seperti belajar sepeda,
pertama-tama terasa kaku, namun pengulangan berkali-kali membuat kita makin mahir.
Dengan mengulang ritus-ritus dari minggu ke minggu, liturgi akan menyatu dengan
jemaat dan menjadi bagian dari gaya
ibadah mereka. Oleh sebab itu, kepada anggota jemaat yang baru, perlu kita
informasikan tata ibadah yang dipakai, agar mereka bisa mempelajarinya. Arti
dan makna unsur liturgi dalam Tata ibadah hendaklah dimengerti oleh warga
jemaat. Ingat bahwa ibadah bukanlah tontonan film di TV yang harus terus
menerus diganti supaya orang tidak bosan. lbadah adalah sebuah ritual
untuk menghadap Tuhan yang harus menyatu dengan jemaat.
3.2.Faktor Liturgi
- Liturgi harus disusun sedemikian rupa sehingga berjalan dengan baik, memiliki makna dalam persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, setiap unsur dalam liturgy haruslah memiliki makna teologis. Tidak boleh menurut selera saja.
- Selain itu, semua unsur liturgi hendaknya saling terpadu dan bersinergi, termasuk pemilihan lagu, nats, maupun doa-doa yang dinaikkan, semuanya harus berfokus pada tema ibadah atau menurut Tahun Gerejani.
- Dapat menjadi hambatan bagi yang beribadah, apabila Liturgi tidak dapat mengekspresikan dengan tepat apa yang menjadi pergumulan jemaat, sehingga jemaat tidak merasa terlibat didalamnya.
- Rumusan-rumusan kata/kalimat Liturgi hendaknya dapat menyentuh pikiran dan hati warga jemaat, dan mempertimbangkan budaya setempat.
Oleh karena itu, gereja hendaknya “menyusun
liturginya” dengan baik dengan melibatkan tenaga dari berbagai keahlian, baik
bidang teologi, maupun bidang lain, seperti bahasa dan sastra serta social-budaya.
Dalam penyusunan liturgi dimaksud, penting
dipertimbangkan soal keterlibatan jemaat, seperti system responsorial dalam
unsur-unsur liturgi, termasuk dalam membaca Alkitab secara responsoria.
Keterlibatan jemaat dapat juga dalam bentuk paduan suara, vocal grup atau
menjadi pemimpin/pemandu nyanyian jemaat. Demikian juga factor gerakan tubuh
dalam liturgi penting dipertimbangkan dan ditata, misalnya waktu berdiri, duduk
atau aktifitas dalam liturgi sakramen atau upacara lainnya.
3.3.Faktor Sarana-prasarana.
Gedung Gereja tidaklah sama dengan aula. Penataan
interior gereja memiliki prinsip-prinsip teologi, yang perlu dipertimbangkan
dalam penataan ruangan, antara lain:
1) Jemaat adalah
jemaat yang bersekutu dan beribadah. Oleh karenanya ruangan sebagai tempat/ruangan
jemaat harus ada dan ditata sehingga tercipta persekutuan indah dengan
sesama anggota tubuh Kristus, dan membeda-bedakan tempat duduk karena status,
etnis, ras, bahasa, Negara, dll …. sehingga umat dapat beribadah, memuliakan
Allah dengan penuh hikmat.
2) Dalam ibadah, Firman
diberitakan. Bagi Gereja Lutheran dan Calvinis, ini adalah pusat ibadah.
Oleh karenanya, mimbar adalah tempat menyaksikan atau
memproklamirkan Kabar Baik. Sehingga ia harus mendapat tempat utama dan strategis.
Bagi Lutheran, umumnya ia ada di depan (kiri atau Kanan), tetapi kadang
tempatkan di tengah, lebih tinggi dengan ketentuan di depannya harus ada meja
Altar besar (tempat Alkitab, Lilin dan alat perjamuan di tempatkan). Sedangkan
pada gereja Calvinis, umumnya ditempatkan di tengah. Kadang ada yang
memberi meja kecil di depannya, tetapi umumnya tidak.
3) Dalam ibadah, Perjamuan
Kudus dilayankan sebagai penyataan kasih Allah, dan sebagai simbol
dari gereja yang menata persekutuan dalam Kristus Yesus. Oleh karenanya, meja
Altar merupakan hal penting yang harus ada dalam ibadah. Bagi Lutheran, kalau pusat
liturgi adalah Firman, maka Perjamuan Kudus adalah puncak.
Sehingga meja Altar ditempatkan di tengah pada ruangan altar.
Pada Calvinis, Firman adalah pusat dan puncak, walaupun penting Perjamuan dan
Baptisan. Sehingga kadang Mimbar yang utama dan kadang tidak terlalu penting
meja Altar. Kadang ada yang menempatkan Meja Altar di depan Mimbar, kadang ada
yang menempatkan di sebagai kanan, sedang kirinya adalah tempat bejana
baptisan.
4) Dalam ibadah,
Baptisan dilaksanakan. Ini merupakan unsur penting selain pemberitaan Firman.
Bejana Baptisan merupakan simbol gereja yang membaptis dalam lingkaran liturgis
gereja. Oleh karerena, bejana harus tampak dalam tata ruang gereja. Bagi gereja
Lutheran, sering ditempatkan disebelah kanan meja Altar. Sedangkan bagi
Calvinis ditempatkan disebelah kanan MIMBAR.
5) Dalam ibadah,
jemaat menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dengan harta milik. Meja tempat
persembahan melambangkan gereja yang mengucap syukur kepada Tuhan. Oleh
karenanya, ia ditempatkan di depan jemaat.
6) Organ/pianis/prokantor
sesuai fungsinya dalam liturgis, yakni pengiring dan pemandu pujian jemaat,
maka posisinya harus berada di depan jemaat. Demikian juga dengan Paduan Suara,
hendaknya mendapat tempat khusus. Selain berfungsi sebagai pemuja/pemuji, juga
sbg pemandu nyanyian jemaat, sehingga ia harus mendapat tempat juga di
depan jemaat.
Selain prinsip di atas, perlu juga dipersiapkan hal-hal
teknis yang dapat mendukung pelaksanaan ibadah. Akuistik ruang ibadah,
pengaturan suara (sound system), maupun tata ruang bisa mempengaruhi suasana
ibadah. Oleh sebab itu, perhatikan beberapa saran berikut ini.
v Ciptakanlah “Suasana Gereja yang menyejukkan.”
Ketahuilah bahwa ruang ibadah bagaikan “jendela sorga. “Ia adalah sanctuary:
tempat berteduh bagi jiwa yang penat. Oleh sebab itu hindarilah
ketidak-teraturan tempat duduk, kotoran, kabel-kabel yang berserakan, dan lain
sebagainya. Tata cahaya, rangkaian bunga, tanaman, lilin, kaca patri berwarna,
bendera dengan warna liturgis, suara lonceng, semuanya dapat menciptakan
suasana religius yang menolong orang menyadari kehadiran Tuhan. Simbol-simbol
dalam ruangan ibadah sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana ibadah.
Simbol bukanlah hal yang dikatakan tetapi setiap umat dapat mengatakannya
sendiri. Sehingga upayakan simbol yang mudah untuk dimengerti dan dikatakan
oleh umat sendiri. Pengeras suara menjadi bagian yang penting dalam ibadah, khususnya
bagi gereja yang memiliki ruang ibadah luas. Sehingga, umat tidak akan
bermasalah untuk mendengar ketika ia duduk di bagian manapun dalam ruangan
tersebut. Suara yang tidak terdengar dengan baik, akan membuat umat tidak
mengikuti ibadah dengan baik. Dekorlah ruang ibadah sesuai dengan tema atau
suasana yang ingin diciptakan dalam ibadah dan dengan memperhatikan warna
liturgi menurut tahun gerejani.
v Persiapkan segala peralatan sebelum
ibadah. Saat ini banyak gereja mengandalkan alat elektronik (microphone,
LCD proyektor, alat musik elektronik) dalam ibadah. Ini disebut dengan Hightech
Worship(Ibadah yang menggunakan tegnologi tinggi). Kelemahan high-tech
worship adalah ketergantungannya pada aliran listrik dan alat-alat
elektronik. Jika tidak bekerja dengan baik, kebaktian menjadi kacau. Oleh sebab
itu, gereja dengan high-tech worship harus benar-benar mempersiapkan
peralatannya sebelum ibadah dimulai.
3.4.Faktor Pelayan
Seindah dan seteratur-aturnya gedung gereja, dan
dihadiri oleh banyak warga gereja, dan adanya tata ibadah yang menarik, tetapi
kalau para pelayannya tidak siap dan tidak terampil, maka ibadah yang baik dan
hidup juga sulit diperoleh. Para petugas
ibadah (Pengkhotbah, Liturgos, Pemusik, Paduan Suara, dll) sangat mempengaruhi
tercipta atau tidaknya ibadah yang hidup.
- Pemusik yang keliru memainkan tempo atau gaya lagu dapat menghambat jemaat bernyanyi dengan sepenuh hati.
- Liturgos yang memandu rangkaian acara, dan membaca Alkitab dengan kurang baik (vocal, cara membaca, nada suara, dll), maka dapat membuat ibadah tidak mengalir lancar dan jemaat merasa bosan.
- Kolektor yang tidak dipersiapkan atau tidak melayani dengan ramah, dapat membuat jemaat kurang bersukacita dalam memberi.
- Paduan Suara yang menyanyikan lagu yang tidak sesuai dengan tema ibadah atau tahun gerejani dapat mengacaukan fokus ibadah.
- Pengkhotbah yang tidak siap, bisa mengacaukan ibadah dan membuat jemaat bosan, tertidur, dan untuk minggu-minggu berikut kurang tertarik datang beribadah.
Disini diperlukan kerjasama yang baik antar
pelayan ibadah, agar segala unsur yang terlibat dapat berpadu menjadi kesatuan
yang sinergis. Oleh karena itu, amatlah penting persiapan dalam memimpin
ibadah, baik liturgos, organis, kolektor, penyambut tamu, dan juga pengkhotbah.
Persiapan kemampuan dan ketrampilan harus juga didasarkan pada persiapan hati
atau spiritual. Pelayan ibadah haruslah seorang pelayan yang telah terpanggil
dan hidup dalam Kristus serta berbuah dalam iman.
4. Apa yang
perlu diketahui dalam menata ibadah di BNKP?
Ada
beberapa hal yang penting dalam menata persekutuan ibadah di BNKP, yakni:
v Memahami arti dan makna unsur-unsur
Liturgi (Artikel lain)
v Memahami arti dan makna tahun gerejawi
(Artikel lain)
v Memahami model penataan interior dan
ekterior gereja (Artikel lain)
v Memahami model dan teknik nyanyian jemaat
dan peranan musik gerejawi (Artikel lain)
v Memahami arti dan makna kain liturgi, dan
sebagainya (Artikel lain)
Berhubung karena keterbatasan waktu, maka saya
hanya menguraikan dua pokok saja dalam makalah ini, yakni ARTI DAN MAKNA
UNSUR-UNSUR LITURGI BNKP dan PADUAN SUARA (Lihat Lampiran 1 dan 2).
5. Penutup
Demikianlah catatan pengantar ini sebagai bahan
diskusi dalam pembinaan pelayan, dan diharapkan dapat diperdalam melalui
diskusi.
TUHAN MEMBERKATI
Ya’ahowu!!!