PEGAWAI NEGERI ADALAH EBED YAHWE ?
(Oleh Pdt. Tuhoni Telaumbanua, M.Si, Ph.D[1])
1. Catatan Pengantar:
Saya diminta untuk mendampingi pembicara utama pada sesi ini (Pdt.
Otoli Zebua) yang membahas topic: “Melayani bukan dilayani”. Ketika
mempersiapkan tulisan ini saya sedikit ragu karena dua hal: (1) Belum
mengetahui bidang dan dimensi apa yang hendak dikaji oleh pembicara
utama; dan (2) takut terjebak dalam “khotbah”, padahal sesi ini adalah
“seminar”. Namun demikian, sebagai penghargaan kepada panitia dan
penghormatan kepada peserta seminar, saya memberanikan diri menuliskan
makalah ini.
Dalam makalah ini, tema sesi ini yang cenderung bersifat rumusan
teologis-dogmatis - justru saya tidak mulai pada pembahasan teologis, melainkan melakukan pendekatan praxis, bertolak dari realita, dan pada akhirnya melakukan refleksi dari sudut pandang Iman Kristen
.
2. Sekolah Untuk Menjadi Pegawai Negeri
Para misionaris RMG yang pertama membuka sekolah di Nias[2],
dengan tujuan utama agar melalui pendidikan “Berita Injil” semakin
tersebar-luaskan. Bagi Orang Nias sendiri datang ke sekolah merupakan
hal yang “aneh”. Pada awalnya, setiap mereka diundang oleh misionaris
untuk belajar, maka mereka meminta “upah” dari misionaris, baik berupa
uang maupun makanan atau pakaian. Tetapi secara bertahap orang Nias
menyadari bahwa dengan belajar, banyak yang diketahui dan dapat membaca
sendiri Alkitab dan buku mata pelajaran lainnya, baik menyangkut
ceritera Alkitab, maupun pengetahuan umum.[3]
Perobahan pola pandang tentang sekolah di Nias terjadi ketika pemilihan para penatua
di dalam gereja, yang lebih diutamakan adalah yang sudah sekolah dan
dapat membaca dan menulis. Terlebih-lebih ketika para misionaris mulai
membuka Seminari yang membina para calon Guru, dimana “Guru” yang
bekerja sebagai pengajar di sekolah dan Pembina/pelayan di jemaat –
dianggap memiliki “status” (bosi) yang baru
yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Mereka dianggap sebagai sumber
pengetahuan, dan dipandang terhormat karena “penghargaan/honor” mereka
datang dari para misionaris. Pakaian merekapun tidak lagi dengan
“saombö”, tetapi pakaian yang diberikan oleh para misionaris. Perobahan
social terjadi dalam bidang stratifikasi sosial. Bila sebelumnya, “bosi”
yang tinggi (pemimpinan, pengajar) dicapai dengan melakukan serangkaian
adat-istiadat dengan urutan pesta yang membutuhkan dana yang besar —–
sekarang melalui sekolah, yang miskinpun (dari kalangan “kaum
kebanyakan”) kalau pintar dan mau sekolah dapat menjadi GURU, dan dengan
demikian terjadi perobahan status social. Sejak itu, peningkatan
status social seseorang tidak hanya diperoleh melalui tahapan adat,
tetapi juga melalui pendidikan (menjadi SNK, Guru; Sinenge; atau
Pendeta).
Pada Perang Dunia II, terjadi pemisahan antara petugas gereja dengan
pemerintah. Satua Niha Keriso, Sinenge dan Pendeta menjadi personil
pelayan Gereja, sedangkan “Guru” menjadi pekerja khusus di sekolah yang
dikelola bukan lagi oleh misionaris, tetapi oleh pemerintah colonial
(Belanda dan kemudian Jepang). Setelah Indonesia merdeka, tenaga guru
diangkat langsung menjadi pegawai negeri yang diberi gaji oleh
pemerintah Republik Indonesia. Status pegawai negeri mendapat tempat di
tengah masyarakat.
Dewasa ini, walaupun masih ada peran ‘tua-tua adat”, khusus pada
acara adat-istiadat selingkaran hidup, namun tidak bisa dipungkiri bahwa
telah terjadi perobahan status, peranan dan bentuk dari kebudayaan Ono
Niha. Nilai lakhömi masih hidup, tetapi wahana memperoleh LAKHÖMI
tersebut tidak lagi di dalam adat-istiadat (sosial), melainkan dalam
bidang POLITIK (pengurus partai politik, PNS, TNI/Polri, Hakim/jaksa,
legislative, NGO/Ornop, dll), EKONOMI (pengusaha) dan RELIGI (pelayan di
gereja atau di agama lain). Salah satu yang terbanyak jumlahnya adalah
Pegawai Negeri Sipil. Ini menjadi tujuan, apalagi karena wadah Industri
untuk berkarya dan berkreatifitas tak ada di Nias. Sehingga
tersosialisasilah dalam kehidupan bahwa tujuan sekolah/pendidikan adalah
untuk menjadi Pegawai Negeri; dan kalau tidak ada jalan ke sana, masuk
jalur “pelayan”, dan baru yang lain-lain. Indikasi untuk ini dapat
dilihat pada pilihan sekolah, baik di tingkat SLTA (lebih memilih SMK
dengan alasan antara lain: “ada lowongan pada penerimaan CPNS”); IKIP
(karena lowongan guru masih tersedia), dan barulah program studi
lainnya.
3. Melamar Menjadi Pegawai!
Di kepulauan Nias sekarang ini ada banyak para “Sarjana pencari
kerja”. Mereka menunggu pengumuman penerimaan calon pegawai negeri.
Demam “menjadi pegawai” tumbuh bagaikan jamur di seantero pulau ini. Hal
tersebut merupakan implementasi dari pemahaman bahwa PNS adalah salah
satu yang memberi status bagi seseorang dalam masyarakat, serta sebagai sumber penghasilan
yang menjanjikan hingga hari tua; maka di kepulauan Nias, masyarakat
berlomba-lomba mau menjadi pegawai negeri. Kondisi ini dipicu oleh belum
adanya lowongan kerja lain (selain pertanian), misalnya industri yang
dapat menampung tenaga kerja.
Permasalahannya ialah demi mencapai tujuan menjadi PNS, ditempuh
berbagai cara mulai dari “doa” sampai pada pencarian “deking” dan
memberi “dana pelancar”, walau harus menjual tanah atau kebun warisan
orang tua. Siapa yang menerima “suap” ini adalah mereka yang berada di
“pintu” penerimaan pegawai dan sasarannya semua adalah kepala daerah.
Bila melacak di internet berita tentang penerima pegawai negeri sipil,
ternyata kasus suap, korupsi dan penipuan terdapat di seantero negeri
ini. Beberapa tahun yang lain, kasus penerimaan CPNS di kepulauan ini
tampil ke permukaan bahkan sampai di meja hijau, karena orang-orang yang
merasa mampu dan menang – merasa dirugikan dalam pengumuman hasil CPNS.
Apabila menjadi pegawai di negeri ini, termasuk di pulau ini diawali
dengan “dana pelancar”, maka akan berlanjut dengan usaha mencari
pengganti kerugian, sehingga berbagai cara dilakukan, walaupun
bertentangan dengan hati nurani dan ajaran moral serta iman
kepercayaannya. Inilah yang kemudian – akar diabaikannya/dilanggar
janji/sumpah pegawai negeri dan ketidak-taatan pada “etos kerja PNS”.
4. Pegawai Negeri dalam Lingkup Birokrasi
Para CPNS atau PNS yang memulai pekerjaan dengan latar-belakang
“hutang” atau “warisan telah terjual” ketika melamar —- memang akan
memulai pekerjaannya di unit ia ditempatkan – dengan nyanyian: “Padamu
negeri kami mengabdi…..” Tetapi di balik nyanyian itu tersimpan rapih
tekad “mencari pengganti yang hilang”. Sehingga setelah ada pengalaman
dan menemukan “kesempatan dalam kesempitan”, maka muncul niat untuk
berbuat yang melanggar janji, disiplin dan etika Pegawai Negeri sipil.
Kesempatan dalam kesempitan muncul apabila dalam pemilukada mencuat
yang disebut dengan “money politics” ataupun “cost politics” dimana
pasangan yang menang menjadi Kepala Daerah telah mengeluarkan dana yang
banyak — maka upaya mencari pengganti juga muncul. Akibatnya, dari unsur
pimpinan muncul perintah tak tertulis kepada “bawahan” untuk
“mengamankan kebijakan”. Sehingga terdengarlah istilah “dana siluman”,
“dana taktis”, “pago-pago”, “biaya administrasi”, dll —- dan yang
mengamankan kebijakan ini adalah para eselon dan staf bawahan (yang nota
bene tadinya telah mengeluarkan uang ketika melamar jadi pegawai).
Rantai KKN tidak hanya berada di arah kabupaten/kota, sering
terdengar ungkapan: “perlu colokan untuk menjatuhkan buah di atas
pohon”; maksudnya agar dana pembangunan yang ada level propinsi dan
pusat, dibutuhkan “colokkan” berupa “pelancar”. Dari mana dana untuk
colokkan tersebut? Apakah dari uang kantong kepala daerah di
kabupaten/kota? Ya….diambil dari dana-dana siluman tadi. Celakanya,
kejahatan berbuahkan kejahatan – tidak hanya dalam proses menjatuhkan
bantuan dan proses pelaksanaan program; tetapi juga dalam membuat
pertanggung-jawaban. Berbagai cara ditempuh, berbagai kebohongan
dilakukan untuk yang namanya SPJ, walaupun bukti-bukti dari SPJ tersebut
sering ASPAL (asli tetapi palsu).
Rantai KKN tidak hanya dalam hubungan ke level atas atau yang
sifatnya birokrasi vertical, tetapi juga dengan pihak legislative dan
berbagai elemen lainnya yang sifatnya horizontal. Masalahnya ialah pada
pemilu legislative dengan system yang ada sekarang, gampang terjadi yang
disebut dengan istilah “1 dollar 1 vote” – atau istilah yang sering
terdengar di Nias: “Tuko Be”. Artinya para calon legislative berlomba
untuk memperoleh suara rakyat melalui pemberian, entah itu atribut
kampanye (baru kaos, topi, rompi, dll) ataupun dengan uang dengan nama
“pengganti minyak, pengganti pendapatan sehari karena harus meninggalkan
pekerjaan untuk memberi suara di TPS”. Kondisi ini semakin
terkondusifkan dengan uangkan yang muncul dari masyarakat: “khoma zima’okho, akha khomi zi 5 fakhe”.
Sehingga caleg yang berhasil duduk di kursi terhormat — atas nama wakil
rakyat — memikirkan bagaimana cara mengembalikan dana yang sudah habis.
Maka terdengarlah ungkapan: “pago-pago” atau para wakil rakyat menjadi
“pemborong tersembunyi” dengan tekanan terhadap pemerintah agar diberi
“jatah” …… dan semua ini adalah untuk mencari pengganti kerugian, dan
lebih dari itu untuk memperkaya diri dan menghimpun dana untuk pemilu
berikutnya. Sasaran empuk dari para wakil rakyat ini adalah mitra
kerjanya pihak eksekutif.
Kondisi tersebut di atas akan membentuk pola kerja dan pola pikir
para pegawai yang bekerja di birokrasi bahwa bekerja adalah untuk
mencari kesempatan demi semua pihak yang terkait, dan demi menyelamatkan
diri dari berbagai jeratan yang mungkin ada (misalnya dari KPK, BPK,
Kejaksaan, dll). Dengan demikian, semakin banyak system yang diciptakan
untuk “menjerat”, semakin banyak cara ditemukan untuk “lepas dari
jeratan”, walaupun di balik semua ada pepatah mengatakan:
“Sepandai-pandai tupai melompat, tetapi jatuh juga”.
Selain kondisi internal dengan segala macam latar-belakang yang
terkait, factor yang juga mencekoki kehidupan manusia dewasa ini adalah
godaan dari dunia global. Selain tantangan kemiskinan dan
keterbelakangan, juga dewasa ini muncul tantangan dari nilai-nilai baru
dari globalisasi. Ada banyak yang berpendapat bahwa globalisasi yang
lebih cenderung pada pasar bebas dan diwarnai dengan neo-liberalis dan neo-kapitalis
– hanya dirasakan oleh kota metropolitan, hal tersebut kuranglah tepat.
Sebab pasar bebaspun turut mempengaruhi produksi petani, di tempat yang
paling terisolir sekalipun. Lebih dari itu, kemajuan teknologi dengan
sistem digital yang semakin canggih telah merambat ke seluruh pelosok
dunia, misalnya melalui televisi, internet, dan Hand Phone. Dampaknya
sangat luar biasa. Sikap hidup liberal (kebebasan),
pergaulan bebas, hidup glamor, dan sebagainya semakin meracuni
kehidupan. Dewasa ini semakin meluasnya berbagai bentuk kemerosotan
nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spriritual, hasrat/ambisi melampauhi batas terhadap kebebasan, terciptanya sikap a-sosial dan nihilisme, yang membuat manusia “mati rasa, mati hati nurani” (lö fa’aila). Semua itu merupakan manifestasi dari krisis yang dialami manusia modern yang hidup dalam peradaban serba materialistis, konsumeris, individualis dan sekularis. Itulah nilai-nilai yang sedang merajai hidup manusia, yang telah menjadi falsafah hidup, sistem nilai dan gambar dunia (world-view/weltanshauung) yang mendasari kebudayaan modern.
Dari seluruh narasi tersebut di atas, terungkap bahwa “ikan membusuk
dimulai dari kepala”, dan kalau masuk lingkaran birokrasi dengan motiv
mencari pengganti kerugian, maka akan terjebak dalam system yang
cenderung korupt dengan mata rantai yang panjang dan tak berujung.
5. Pegawai Negeri dan Integritas diri
Realita yang sering terjadi hingga sekarang ini adalah belum adanya
“nilai-nilai” dan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas. Kinerja,
etos kerja dan kompetensi PNS sering dianggap tidak sesuai dengan
“jargo” abdi Negara dan abdi masyarakat. Sehingga muncul tudingan
terhadap PNS yang dianggap “sakit kronis”, yang diungkapkan dengan
berbagai kata-kata prokem untuk mengkritisi para pegawai negeri, yang
menyebar di berbagai situs internet, misalnya:
- KUDIS (Kurang Disiplin),
- KUTIL (Kurang Teliti)
- KURAP (Kurang Rapi)
- KUTU (Kurang Tulus)
- KRAM (Kurang Trampil),
- TBC (Tidak Bisa Computer),
- GINJAL (Gaji Ingin Naik tapi kinerJa Lamban),
- ASMA (Asal Mengisi Absen),
- ASAM URAT (Asal Sampai Kantor Uring-uringan atau tidur)
- PUCAT PASI (Pulang cepat padahal masih pagi),
- FLU (Facebook-an melulu),
- BATUK (bawaannya ngantuk).
- Mual (Mutu Amat Lemah)
- JANTUNG (Jalankan asal nanti ada untung)
- WTS (Wawasan Tidak Luas)
Masih dapat diperpanjang kritikan terhadap PNS, walaupun harus diakui
bahwa ada banyak juga yang memiliki kinerja, etos kerja dan
profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya. Sekali lagi dibutuhkan
pembaharuan bagi semua, tidak hanya staf melainkan dimulai oleh
pemimpin.
Kita bersyukur bahwa akhir-akhir ini, pembangunan kinerja birokrasi
dan aparat terus dilakukan oleh pemerintah, dan termasuk dalam agenda
reformasi. Hal tersebut sangat tampak dalam PP Nomor 53 Tahun 2010
tentang Disiplin PNS (yang merupakan amandemen dari PP Nomor 30 Tahun
1980). Bila mencermati peraturan pemerintah tersebut, maka terlihat
konsep yang jelas pembinaan PNS yang berdisiplin dan professional dalam
melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai abdi Negara dan
masyarakat.
Urgensinya pembuatan dan penerapan PP tersebut adalah karena hingga
sekarang kinerja dan kedisiplinan PNS masih menjadi sorotan tajam di
tengah masyarakat, walaupun dakam PP 30 tahun 1980 (juga PP 53 tahun
2010[4])
sebagai penggantinya, telah diatur secara tegas dan eksplisit apa dan
bagaimana seharusnya seorang Abdi Negara berkinerja. Ini menyangkut
integritas diri seorang pegawai, yang diberi label abdi Negara dan
masyarakat, tetapi keteladanan, kedisplinan, kerja keras dan pelayanan
justru belum terlihat.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa “ruh” dan semangat yang
diusung dalam penerbitan peraturan pemerintah disiplin pegawai ini
adalah dalam rangka mewujudkan PNS yang handal, professional,
dan bermoral sebagai penyelenggara pemerintahan yang menerapkan
prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), (sesuai yang
tertuang dalam penjelasan PP 53 tahun 2010). Peraturan
disiplin pegawai dirancang sedemikian rupa untuk membantu pegawai dalam
menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas
serta dapat mendorong PNS untuk lebih produktif berdasarkan sistem
karier dan sistem prestasi kerja.
Namun, seberapa efektifkah sistem dan peraturan disiplin yang ada
sekarang, terlebih bila kita hubungkan dengan visi mulai yang hendak
dicapai tersebut? Dalam prakteknya, seperti yang telah dialami oleh PP
terdahulunya PP 30 tahun 1980, di lapangan masih banyak kita temukan
berbagai bentuk pelanggaran, baik yang terang-terangan, maupun
sembunyi-sembunyi. Persoalannya ialah bahwa musuh bersama penegakan PP
53 tahun 2010 tersebut adalah masih bersarangnya bahaya laten
sifat-sifat seperti KKN, tahu sama tahu, aksi diam sama diam di antara
staf dan pimpinan, sehingga banyak pelanggaran yang ada terkubur dengan
nyaman. Semua pihak yang berkepentingan melakukan usaha dengan semangat simbiosis mutualisme
atas dasar prinsip “yang penting semuanya selamat”. Kondisi ini perlu
ditransformasi, dan dibutuhkan langkah-langkah manajemen yang baik dan
tepat agar pegawai memiliki rasa kedisiplinan atas dasar nilai pribadi,
bukan hanya kepatuhan nisbi semata.
Inilah ranah etos kerja, seperti yang dikemukakan Sinamo, dimana
spirit, semangat, dan mentalitas yang mewujud menjadi seperangkat
perilaku kerja yang positif seperti: rajin, bersemangat, teliti, tekun,
ulet, sabar, akuntabel, responsibel, berintegritas, hemat, menghargai
waktu, dan sebagainya. Semuanya berada dalam diri manusia yang tersimpan
dalam berbagai bentuk kompetensi, keahlian, dan kemampuan insani
operasional. Dan apabila kesemuanya digunakan di dalam dan melalui
kerja, ia akan keluar dalam bentuk kinerja, prestasi, dan produksi.
Dengan etos kerja, para pegawai akan bekerja dengan penuh dedikasi
dan pengabdian diri karena dalam jiwa mereka telah tertanam nilai-nilai
bahwa bekerja adalah sebuah anugerah, bekerja adalah ibadah,
bekerja adalah panggilan, bekerja adalah pelayanan, bekerja adalah
aktualisasi, bekerja adalah seni, bekerja adalah kehormatan. Bekerja dengan penuh disiplin dan tanggung jawab adalah representasi dari kemulian diri atau integritas diri.
Maka, dalam rangka mengusung suatu tata nilai aturan kepegawaian yang
lebih komprehenship, diperlukan sebuah terobosan baru dalam merumuskan
peraturan khususnya yang berkaitan dengan disiplin PNS. Terobosan
tersebut berkenaan dengan bagaimana sebuah peraturan disiplin pegawai
mampu mengakomodir secara baik unsur-unsur nilai bagi para pegawai itu
sendiri. Unsur nilai yang mampu memberi stimuli (rangsangan) bagi para
pegawai untuk mampu mengembangkan nilai dan karya mereka berdasarkan
prinsip “etos kerja” mereka bukan sebaliknya hanya kepatuhan
administratif semata. Kita tidak akan bisa menjamin suksesnya sebuah
peraturan disiplin PNS apabila semangat yang diusung hanya dalam kisaran
normatif yang mendasarkan pada pola aturan nilai legal formal
kepegawaian semata.
Melalui etos kerja, para pegawai akan melakukan pekerjaan serta
mematuhi peraturan yang ada secara totalitas atas dasar kesadaran dan
ketulusan budi, bukan hanya atas dasar kepatuhan untuk tidak dikenai
hukuman semata. Melalui sebuah peraturan yang didalamnya terdefinisikan
nilai-nilai yang dapat merangsang nilai etos kerja pegawai, visi mulia
dari diterbitkannya peraturan disiplin PNS yakni menjadikan pegawai yang
Handal, Profesional dan Bermoral akan dapat kita wujudkan bersama.
6. Bagaimana konsep “kerja” dalam sudut pandang Kristen?
Dalam Alkitab, sejak awal penciptaan Tuhan telah memberikan mandat dan tanggung-jawab
bagi manusia untuk bekerja menata, mengolah dan memelihara dunia ini
agar tetap utuh dan indah sebagaimana pada awalnya, yaitu “sungguh amat
baik” (Kejadian 1-2). Dalam melaksanakannya, manusia diberi kebebasan
dan kemandirian; tetapi pada pihak lain diminta pertanggung-jawaban oleh
Allah.
Pekerjaan sebagai Pegawai Negara adalah sebuah panggilan dan pengutusan, dan dalam Perjanjian Lama mereka disebut dengan “ebed Yahwe” (hamba Allah)[5]
yang terpanggil dan diutus melayani masyarakat (umat Tuhan) dan menjaga
kesatuan serta kemandirian Negara. Para pemimpin (terutama Raja) sering
disapa sebagai “hamba” bahkan dalam mazmur 2 disebut sebagai “anak
Allah”. Mereka dipanggil dan diutus untuk memimpin umat agar tetap setia
kepada Tuhan dan beroleh “Damai sejahtera”. Untuk itu maka Taurat dan
berbagai hukum diberikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dan
dalam menegakkan kebenaran serta keadilan di tengah masyarakat. Itulah
sebabnya, rakyat diminta untuk memberikan dukungan dan kesetiaan kepada
pemerintah. Bahkan ketika mereka dalam pembuanganpun, rakyat dan
pemimpin dipanggil untuk bekerja mengusahakan kesejahteraan kota dimana
mereka berada (Yeremia 29).
Dalam Perjanjian Baru, Yesus banyak mengecam para pegawai Negara
(pegawai kekaisaran Romawi, termasuk para penguasa local seperti Herodes
hingga ke pemungut cukai), dan juga para pegawai agama (imam, farisi,
ahli Taurat, Saduki, dll) – karena dalam praktek mereka justru tidak
menjadi pembawa damai dan keadilan, melainkan sebaliknya (bnd Matius
23). Itulah sebabnya – Yesus memberitakan bahwa dalam Kerajaan Allah, bukan kuasa yang dipentingkan, melainkan pelayanan. Bukan dilayani, melainkan untuk melayani (Markus 10:35-45).
Namun, kita juga membaca dalam Alkitab bahwa ada Pegawai Negara, yang
bekerja sebagai tentara dengan pangkat perwira yang oleh Yesus sendiri
menyebutnya sebagai seorang yang memiliki iman yang besar (Lukas 7:9).
Apa dan bagaimana profil yang bersangkutan sehingga disebut “perwira
yang beriman”? Dalam Lukas 7:1-10 kita menemukan 5 hal, yakni: Pertama,
Seorang yang hidup dalam Kasih (tanpa membeda-bedakan, bahkan
pembantunyapun dia kasihi – ayat 2, dan mengasihi orang Israel – ayat
5); Kedua, meminta pertolongan Tuhan dalam persoalan yang dihadapinya (ayat 3-4). Ketiga, menggunakan hartanya untuk persembahan kepada Tuhan (membangun rumah ibadah – ayat 5). Keempat, memiliki
“kerendahan hati” (menyadari diri tidak layak menyambut Yesus, sang
Mesias, dan juga tidak layak datang di hadapan Tuhan – ayat 6-7). Kelima, Taat, percaya dan setia (Ayat-8).
Dalam surat-surat Paulus kita membaca bahwa nasehat kepada jemaat,
baik yang pegawai negeri maupun yang non-pegawai negeri untuk hidup
kudus di hadapan Tuhan, taat kepada pemerintah yang adalah diangkat dan
ditetapkan oleh Allah, serta diminta untuk melakukan segala pekerjaan di
dalam Tuhan Yesus (Kolose 3:17); dan apapun yang dilakukan seolah-olah
dilakukan bagi Tuhan, dan bukan untuk manusia (Kolose 3:22).
Dalam perkembangan kekristenan, pekerjaan sebagai panggilan belumlah
sebuah konsep yang umum bagi masyarakat kita. Konsep kita terhadap
pekerjaan masih bersifat tradisional seperti yang umum dijumpai di
negara-negara yang belum atau sedang berkembang. Kita bertani,
memelihara ternak, berdagang, mengelola hutan, mengelola perkebunan,
menangkap ikan, membangun gedung, menata kota, berpolitik, menjadi
pegawai negeri, menjadi tentara atau polisi, menjadi jaksa atau hakim,
ataupun sebagai pencipta lagu, dan berbagai pekerjaan lainnya –
konsepnya masih tradisionil. Sikap yang menonjol masih ‘yang-penting-ada’, tanpa memikirkan akibat dari setiap tindakan atau pekerjaan terhadap bidang-bidang lain.
Oleh karena itu, mari kita belajar dari Etika Protestan yang melihat pekerjaan sebagai baruf, calling (panggilan).
Max Weber, seorang keturunan Yahudi berhasil menemukan penghayatan dan
pelaksanaan konsep tersebut dalam pandangan Martin Luther yang melihat beruf sebagai
tugas yang diberikan sebagai anugerah, dan dikehendaki oleh Tuhan yang
harus dikerjakan dan dipertanggung-jawabkan. Bagi Luther umat percaya
harus memenuhi kewajiban atau tugas yang diberikan kepada setiap
individu dengan tingkat kedudukannya masing-masing di dunia. Lebih
lanjut Luther mendasari pelaksanaan “panggilan itu” pada Sola Fide, sehingga
“kerja dipahami sebagai panggilan hidup.” Selanjutnya, Weber melihat
bahwa komunitas Protestan yang Calvinis Puritan tidak menerima konsep
tradisionil terhadap pekerjaan. Mereka tidak menerima pekerjaan begitu
saja dan tidak berhenti sampai pada pekerjaan secara alami. Mereka tidak
berhenti pada pikiran ‘yang-penting-punya-pekerjaan’. Mereka memikirkan
apa yang harus mereka kerjakan dan mempertimbangkan apa yang dapat
dilakukan dengan bakat yang dimiliki. Mereka menggumuli pekerjaan yang
dapat berbuah banyak.
Bagi Kaum Puritan, mengikuti ajaran Luther, pekerjaan adalah
panggilan hidup, yang harus diraih dan harus dilakukan dengan
usaha-usaha yang serius dan keras. Mereka menerima keyakinan bahwa
eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk melaksanakan kehendak Tuhan
Yang Maha Esa. Bagi
orang Puritan mereka adalah buatan Allah, diciptakan untuk melakukan
pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya dan mereka berusaha
hidup di dalam rencana Allah. Oleh sebab itu, konsep
spesialisasi sangat berkembang di kalangan orang Puritan. Mereka
mengembangkan bakat-bakat mereka sampai mencapai kesempurnaan. Mereka
berpikir bahwa hanya dengan spesialisasi mereka akan jauh lebih efektif,
lebih efisien dan lebih baik mengerjakan tugas; sebuah panggilan yang
mulia.
Pentingnya spesialisasi bagi orang Puritan terangsang oleh teks-teks
kuno seperti teks yang berbunyi, Pernahkah engkau melihat orang yang
cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di
hadapan orang-orang yang hina.” (Amsal 22:29). Bagi orang
Puritan, hanya mereka yang punya skill yang baik, khusus dan terlatih
yang akan mampu memberikan gagasan-gagasan dan karya-karya yang baik,
rasional dan jitu. Mereka punya keyakinan bahwa dengan
keahlian-keahlian yang sangat baik mereka dapat mempengaruhi
pejabat-pejabat yang duduk dalam posisi-posisi penting di pemerintahan
dan memimpin perbaikan-perbaikan dunia. Jadi, orang Puritan
terus-menerus mengembangkan kemampuan dan keahlian mereka di bidang yang
mereka minati untuk memperbaiki dunia secara berkelanjutan.
Pandangan dan sikap kaum Puritan ini perlu dikembangkan dalam diri
seorang Pegawai Negeri Sipil di Indonesia – sebab hanya dengan itu
kondisi khaos yang sedang melingkupi kehidupan dapat
diperbaharui. Membaharui dunia dapat dimulai dengan membaharui diri
sendiri. Sebab ada ungkapan mengatakan” “baharuilah dirimu untuk dapat
membaharui yang lain”.
7. Penutup
Jabatan politik sama mulianya dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh
agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan menuju surga kekal, jabatan
politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas dari belenggu
kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.
Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai suatu panggilan
(calling) untuk melayani. Mereka yang memahami dengan sungguh jabatan
sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah
politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi
tujuannya.
Mengutip tokoh Kristen yang telah bergelut dalam proses pendirian bangsa ini, TB Simatupang[6]
yang mengatakan bahwa dunia politik telah berperan besar dalam
perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas
memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan
pengakuan kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan
Negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses
pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik.
Dengan demikian, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara
melalui penyelenggaraan pemerintahan hendaknya didasarkan pada pemahaman
“mengabdi kepada Tuhan”.
Tulisan Max Weber tentang hubungan Etika Protestan dan kapitalisme
(yang menyatakan bahwa iman kristen (dalam hal ini Calvinisme) pernah
memberikan pengaruh yang besar dalam dunia ekonomi sehingga kekuatan ini
menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam arus pemikiran di dunia)
penting dikembangkan. Praktek kaum puritan yang
mengembangkan sikap Disiplin, kerja keras, menghemat, jujur, adil dan
bertanggung-jawab – hendaknya menjadi nilai-nilai hidup yang dimiliki
oleh setiap individu pegawai negeri Sipil di Kabupaten Nias.
Penting diingat bahwa tidak ada pekerjaan yang bebas dari pergumulan,
kesulitan, dan tekanan. Setiap saat kita dirongrong oleh kecenderungan
atau ajakan untuk melakukan yang tidak benar. Itulah sebabnya, Calvin
berkata bahwa setiap kali kita harus memasang telinga kepada suara
Tuhan. Karena yang paling penting dalam pekerjaan kita adalah kesadaran
akan “relatio ad Deum vocantem” kesadaran akan hubungan dengan Tuhan yang sudah memanggil kita
menjadi anak-anak-Nya. Bahkan Allah telah membenarkan kita yang berdosa
dengan memperhitungkan kebenaran Kristus bagi kita. Kita yang tidak
layak, telah dilayakkan oleh karena Kristus sudah mati menggantikan
kita. Untuk hubungan yang intim dengan Allah dipulihkan, Dia telah
mengorbankan Anak Tunggal-Nya bagi kita, supaya setiap kita yang percaya
kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Itulah
sebabnya, setiap kali, kita harus selalu bertanya, “Apakah yang saya
kerjakan hari ini memuliakan Dia? Jika iya, bersyukurlah atas kekuatan
dan pertolongan-Nya. Namun, jika tidak, maka bersegeralah menyesali dan
meninggalkan dosa itu lalu memohon belas kasihan Tuhan mengampuni kita.
Sertai permohonan itu dengan tekad dan komitmen untuk memulai suatu
tatanan relasi yang baru dengan Tuhan yang beralandaskan kebenaran,
keadilan, dan kasih. Dengan demikian, kita dapat mengekspresikan iman
yang tidak kelihatan menjadi nyata dalam setiap tugas, pekerjaan, dan
tanggung jawab yang kita emban. Tuhan memberkati.
[1] Pembicara adalah ketua STT-BNKP Sundermann/Kepala Departemen Pembinaan dan Pendidikan BNKP.
[2] Baca lebih lanjut: Tuhoni Telaumbanua, Cross and Adu, Utrecht, Bookencentrum, 2007.
[3] Bnd. Buku pelajaran yang dipakai waktu itu dengan judul Realiebook, yang diperbanyak oleh misionaris.
[4]
Dalam peraturan disiplin PNS telah diatur hal-hal yang memuat tentang
kewajiban, larangan, dan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan
kepada PNS yang telah terbukti melakukan pelanggaran, mulai dari jenis
hukuman disiplin ringan, sedang, hingga berat.
[5] Gagasan ini berbeda dengan konsep di Indonesia, yang melihat PNS sebagai hamba Negara dan hamba Masyarakat.
[6] TB Simatupang, Dari Revolusi ke Pembangunan, Jakarta, BPK-GM, 1987
Sumber: http://tuhony.wordpress.com/2012/09/07/pegawai-negeri-adalah-ebed-yahwe/
Sumber: http://tuhony.wordpress.com/2012/09/07/pegawai-negeri-adalah-ebed-yahwe/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar