SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA
A.
Pendahuluan
Beberapa ajakan dari PGI (dulunya DGI) pada bulan oikumene
2013 yang telah berusia 63 tahun adalah:
1.
Terus-menerus tanpa
mengenal lelah makin memperkuat persekutuan di dalam wadah PGI dan sekaligus
memperluas tekad kebersamaan dengan berbagai aliran dan denominasi untuk pada
akhirnya mewujud dalam Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
2. Terus
berkomitmen, bertekad dan melakukan aksi dalam upaya mewujudkan perdamaian dan
keadilan bagi keutuhan ciptaan. Gereja-gereja diminta untuk memberikan
sumbangan-sumbangan nyata bagi kehidupan masyarakat yang penuh damai tanpa
kekerasan, hidup dalam damai sejahtera dengan siapa saja tanpa memandang
perbedaan yang ada.
3.
Tak jemu-jemu untuk
menyuarakan keadilan, penegakan hukum dan keberpihakan kepada pelestarian alam.
Keadilan bagi gereja haruslah meliputi perjuangan untuk keadilan ekonomi, hak
asasi manusia dan keadilan lingkungan.
4. Berpartisipasi
secara penuh dalam gerakan kebersamaan Celebration of Unity yang akan
diselenggarakan 17-18 Mei 2013, sebagai komitmen bersama bagi keutuhan Tubuh
Kristus di Indonesia.[1]
Dari seruan PGI tersebut di atas, nyata bahwa PGI memiliki
pergumulan dan sekaligus telah melewati banyak pergumulan dalam “mewujudkan
dirinya” sebagai pembawa damai sejahtera, ketenangan dan ketenteraman di mana
dia berada,[2] dengan harapan utama keesaan gereja makin terwujud.
Sebagai lembaga yang telah melewati
banyak rintangan, termasuk waktu dirikan, dalam tulisan ini akan diuraikan
secara sederhana tentang “SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI
INDONESIA HINGGA TERBENTUKNYA DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA”.
B.
Latar Belakang Pendirian DGI Dari Kondisi Nasional dan Internasional
Beberapa usaha di Indonesia yang bertujuan untuk
menyatukan gereja-gereja di Indonesia sebelum tahun 1925 antara lain:[3]
1.
Pembentukan LAI di Jakarta tahun 1814,
(secara resmi tanggal 9 Februari tahun 1954[4]).
Suatu badan ekumenis karena menggabungkan dan melayani semua pihak dari
gereja-gereja dan badan-badan pekabaran Injil yang beraneka warna.
2.
Pembukaan pusat pendidikan yang diberi
nama Seminari Depok, tahun 1878, yang
bertujuan: “supaya selekas mungkin
sejumlah penginjil dapat dididik untuk dipekerjakan di daerah-daerah pekabaran
Injil”.
3.
Penerbitan majalah bulanan tahun 1855
oleh Ds. King (Majalah Bulanan Pembangunan) yang memungkinkan pertukaran
pemikiran di antara para pekabar Injil.
4.
Pendirian Perhimpunan Para Pekabar Injil di Indonesia (Nederlands Indische
Zendings Bond) tahun 1881.
5. Pembentukan
Perwakilan Pekabaran Injil (Zendingconsulaat) di Jakarta, tahun 1906. Christian
de Jonge menuliskan bahwa “Lembaga ini
memang bukan wadah ekumenis karena tidak bertujuan untuk membentuk gereja yang
esa, namun orang-orang di dalamnya mendukung usaha memajukan gerakan ekumenis
gereja”.[5]
Dari tahun 1925-1941, ada tiga peristiwa atau usaha yang
penting dalam lahirnya gerakan ekumenis, yaitu:
1.
Pekerjaan Dr. C. L. van
Doorn yang diutus oleh Nederlandse Christen Studenten Vereniging
(NSCV, Persatuan Mahasiswa Kristen Nederland) untuk melayani di kalangan
mahasiswa, pelajar dan muda/i pada umumnya. Tahun 1926, ia menetap di Kebon
Sirih. Dan di tahun ini juga dibentuk Christelijke
Studenten Vereniging (CSV, Perhimpunan Mahasiswa Kristen). Tempatnya sekaligus merupakan tempat berkumpulnya
orang-orang yang dilayaninya dari berbagai latar belakang (termasuk suku dan
daerah).
Pada waktu ini juga Federasi Wanita Kristen (Christen Jonge
Vrouwen Federatie) terbentuk di Kebon Sirih pada tahun 1928/1929 dengan bantuan
dari CJVF di Belanda. Federasi ini kemudian diterima sebagai anggota Wordls Young Womens Christian Federation
(Federasi Wanita Kristen se Dunia). Sampai masa perang, CJVF ini sudah bekerja
di seluruh Indonesia, dan terdiri dari wanita-wanita dan pemudi-pemudi dari
berbagai gereja, suku dan daerah terpencil. Ketika perang usai, federasi ini
yang berpusat di Batavia, hanya tinggal 2 anggota lagi (Ny. Mulia dan Nn.
Fransz). Dari segi tenaga dan dana mereka tidak bisa mengurus federasi ini.
Semangat perjuangan mereka membuat didirikannya PWKI ini lagi di Yogyakarta
sesudah proklamasi kemerdekaan, dan dinyatakan pula bahwa hanya WNI yang boleh
menjadi anggota PWKI.
2.
Pada waktu ini juga Sekolah
Teologia Tinggi yang didirikan tahun 1934 memainkan peran untuk mendidik kader
pribumi untuk gereja dan bakal gereja juga menjadi tempat pertemuan orang
dengan berbagai latar belakang, dan dengan harapan ketika mereka menjadi
pemimpin di gereja masing-masing tetap dipengaruhi oleh studi mereka (jiwa
ekumenis).[6]
Usaha-usaha ini memberikan warna bagi terciptanya DGI karena mahasiswa yang
terlibat dalam CSV konferensi se-Asia WSCF di Citeurup menjadi pengalaman yang
mendorong beberapa dari mereka untuk terlibat dalam gerakan ekumenis yang mulai
timbul di Indonesia.[7]
3.
Konferensi IMC-III di
Tambaram pada tahun 1938, yang dihadiri oleh Sembilan orang Indonesia, salah
satunya adalah Dr. T. S. Gunung Mulia.[8]
Para tokoh-tokoh ini dengan gigih mendukung pendirian DGI.
Selain hal tersebut di atas, Konferensi Pekabaran Injil
Sedunia di Edinburgh 1910 juga memainkan peran dalam pendirian DGI. Konferensi
Edinburgh ini bisa dikatakan titik mula lahirnya gerakan Oikumene
Internasional. Walaupun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman
Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan
pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih jauh,
sebenarnya sebelum konferensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis
oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Pada konferensi
Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai
negara di dunia dan diikuti oleh 1.335 utusan, dan 17 wakil dari Asia.[9]
C.
Proses
Pembentukan DGI
Pertemuan yang diprakarsai oleh
GPI, GKJW, Gereja Kristus dan GKI Jabar, yang dilaksanakan pada 12 Januari
1939, di Batavia, juga dihadiri oleh ke Sembilan tokoh yang menghadiri DGD-III
di Tambaran, diputuskan untuk membentuk suatu National Christian Council.
Panitia perancang anggaran dasar dewan ditunjuk, dan diketuai oleh Van
Randwijck. Pertemuan dari panitia ini berlangsung pada 23 Oktober 1939 di
Batavia menjelang sinode Am GPI (24-30 Okotber). Jabatan ketua kemudian
dipercayakan kepada Dr. T. S. G. Mulia; Van Randwijck menjadi
sekretaris-bendahara; dengan anggota: beberapa peserta IMC-III di Tambaran dan
tokoh-tokoh zending.[10]
Rencana pendirian DGI yang
dikehedaki pertengahan tahun 1940 tidak terlaksana. Pada pertemuan ketiga, 25
Oktober 1941, ada perbedaan pendapat tentang Anggaran Dasar antara wakil-wakil
zending dan wakil-wakil gereja menyangkut azas dewan yang hendak dibentuk.[11]
Ditambah lagi dengan PD-II, rencana ini tidak terwujud sama sekali.
Unsur / faktor lain yang
membuat gereja-gereja di Indonesia susah bersatu menurut Pilon ada dua hal[12],
yaitu:
1.
Gereja-gereja di
Indonesia umumnya adalah gereja-gereja daerah.
2.
Adanya perpecahan dan
kurangnya koordinasi gereja-gereja Belanda yang mengabarkan Injil di Indonesia.
T. B. Simatupang, sebagaimana
dikutip ulang oleh Christian de Jonde, menegaskan bahwa pengalaman gereja pada
masa Jepang juga mempengaruhi gerakan ekumenis. Jepang berusaha menggabungkan
gereja-gereja di Indonesia dalam organisasi-oraganisi persatuan[13].
Di bawah pimpinan Pdt. Shirato, GPM, GKR, Bala Keselamatan, Gereja Adven dan
Pentakosta terpaksa bergabung dalam Pergabungan
Geredja-geredja Masehi di Ambon-Syu. Di Minahasa, dewan serupa dibentuk dan
GMIM mempercayakan kepada Pdt. Rumambi dan Pdt. Luntungan untuk memimpin di
bawah pengawasan Jepang. Pdt. Myahira, ditunjuk sebagai pemimpin Persatoean Keristen Celebes di Makasar.
Namun, menurut Holtrop yang
dikutip ulang oleh Hartono, dikutip ulang oleh Christian de Jonge, badan ini
tidak begitu berfungsi, karena: pendeta-pendeta Jepang tidak hanya melaksanakan
perintah atasan mereka, tetapi juga sungguh-sungguh membantu gereja-gereja di Indonesia
yang kehilangan dukungan dari Barat[14]
dan sekaligus mau menyadarkan orang-orang Kristen di Indonesia bahwa agama
Kristen bukan hanya urusan Barat tapi juga urusan orang Asia.[15]
Akibat dari hasil kemerdekaan
pada 1945 dalam gereja-gereja yang ada di Indonesia adalah mencari orientasi /
cara kerja baru[16].
Sesudah PD-II, badan pengurus GPI, gereja-gereja Gereformeerd, Zendingconsulaat dan organisasi sekolah-sekolah
Kristen mendirikan panitia darurat untuk membenahi dan menolong gereja-gereja
yang menderita karena PD-II. Konferensi zending di Batavia, pada tanggal 10-20
Agustus 1946 memutuskan untuk menetukan kebijaksanaan-kebjaksanaan di masa
depan. konferensi atas prakarsa Zendingconsulat
yang membahas: tempat dan tugas misi dan para misionari dalam NKRI dan
rencana pendirian badan ekumene[17].
Dan satu hal yang perlu dilakukan adalah memberikan bentuk kepada dewan-dewan
gereja dan pekabaran injil yang direncanakan sebelum perang.[18]
Dalam konferensi ini, M. de Niet mengusulkan pendirian Balai Kristen untuk gereja-gereja dalam dan luar negeri yang
menjalankan evangelisasi di NKRI[19].
Kesimpulan dari konferensi ini antara lain:
1.
Ekumene di antara
gereja-gereja di Indonesia sebelum PD II harus dilanjutkan dan diperluas.
2.
Tujuan kerja sama
ekumene ini adalah pembentukan suatu gereja yang esa di Indonesia.
3.
Dewan gereja-gereja di
Indonesia dimaksudkan sebagai badan kerja sama gereja-gereja di Indonesia dan
gereja-gereja luar negeri yang mengirim zendingnya ke Indonesia.
Karena situasi politik
mempersulit pertemuan dewan gereja-gereja di Indonesia dan badan pekabaran
Injil Nasional, maka dianjurkan agar gereja dan bakal gereja-gereja di wilayah
tertentu membentuk dewan regional untuk melakukan dan mendukung tugas bersama[20].
D.
Pembentukan DGI
Pada tanggal 22 Mei 1946
didirikan Dewan Permoesjawaratan
Geredja-geredja di Indonesia (DGP) dengan beranggotakan 6 gereja. DGP ini
mengadakan konferensi dengan wakil dari gereja –gereja Belanda di Jakarta, yang
menghasilkan Kwitang Accoord
(Kesepakatan Kwitang, Mei 1947), yang mengatur hubungan ekumenis antara
gereja-gereja Belanda dan gereja-gereja Jawa.[21]
Pada 15-25 Maret 1947 juga diadakan konferensi di Malino (dekat Makasar) oleh
gereja-gereja dan pekabaran Injil untuk Indonesia bagian Timur. Konferensi ini
menghasilkan Madjelis Oesaha Bersama
Geredja-geredja Keristen (MOBGK) dengan pusat di Makasar. Tujuan akhir
MOBGK ini adalah pembentukan DGI. Pada 28 Oktober – 2 November 1949, diadakan
konferensi ke-2 yang membahas rencana pembentukan DGI. Sekretaris MOBGK, Pdt.
Rumambi, tahun 1948, dipilih jadi sekretari GPI, dan pindah ke Jakarta. Di
Jakarta, Pdt. Rumambi melanjutkan usaha pembentukan DGI.[22]
Selain itu usaha lain, berdasarkan laporan Hartono yang dikutip oleh Christian
de Jonge, pembentukan perhimpunan gereja-gereja lain juga terjadi, seperti: Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa
(1948) dan Madjelis Keristen di Medan
(1949).[23]
Pada Januari 1948, Pdt. Rumambi
menulis nota kepada panitia yang menyiapkan pembentukan Majelais Gereja-gereja
di Indonesia yang berisi beberapa usulan bagaimana pembentukan dewan dengan
menggunakan pengalaman keikutsertaanya dalam beberapa sidang (IMC di Whitby,
tahun 1947; konferensi pemuda di Oslo, tahun 1947).[24]
Pada tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi
East Asia Christian Conference di Bangkok,
namun tidak tercapai
karena:
“keadaan-suasana di
Indonesia belum memberi kesempatan untuk melancarkan niat itu. Ternyata bahwa
pada Konperensi Gereja-gereja di Indonesia yang pertama itu, belumlah dapat
diteruskan langkah kepada pembentukan resmi dari pada Dewan Gereja-gereja di
Indonesia ................ sesudah .............. gereja-gereja .............
beroleh kesempatan untuk mempelajari hasil-hasil ............. Konperensi
Persiapan ini, supaya pada konperensi yang akan diadakan kira-kira pada waktu
Pantekosta 1950, Dewan Gereja-gereja di Indonesia dengan resmi dapat
diperdirikan[25].
Jadi,
bisa dikatakan, kegagalan pembentukan DGI sebelum diadakannya konferensi di
Bangkok, sesuai dengan harapan Rumambi, dikarenakan:
1.
Keadaan
gereja masa pasca-kemerdekaan yang belum stabil.
2.
Gereja-gereja
otonom di tiap daerah yang belum mau menerima tujuan dewan yang dibentuk.
3.
Agenda
konferensi yang belum matang dan jelas.
Namun,
usaha itu tidak berhenti, sebagaimana dikatakan Rumambi[26],
pada tanggal 6-11 November 1949, diadakan
konferensi Persiapan Dewan
Geredja-geredja di Indonesia, yang dihadiri oleh 19 utusan mewakili 28 gereja di
seluruh Indonesia[27].
Hasil dari konferensi ini adalah, ditetapkannya kepastian pembentukan DGI pada
bulan Mei 1950. Seluruh persiapan pun dimatangkan. Dan akhirnya, dalam konferensi yang dilaksanakan tanggal
21-28 Mei 1950[28]
ini, membuahkan hasil. Pada tanggal 25 Mei 1950, DGI terbentuk. DGI bertujuan
untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Yang menjadi masalah
bukan keesaan, tapi bentuknya. Bentuk ini sering dikiaskan dengan: bentuk jeruk
(federasi[29])
atau mangga (keesaan total).[30]
E.
Kesimpulan
Dalam penguraian “SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA HINGGA TERBENTUKNYA
DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA” di dalam tulisan ini, terlihat faktor yang menyebabkan didirikannya DGI ada faktor dari dalam negeri Indonesia sendiri (khususnya dari
kekristenan) dan ada juga dari luar negeri. Dan juga terlihat bahwa DGI sampai
terbentuk menjadi lembaga yang disahkan dan diakui, dan yang sekarang terdiri
dari berbagai anggota gereja, telah melewati perjalanan yang cukup panjang dan
berat. Hendaklah kita, sebagai mahasiswa teologi mengambil hikmah dari semangat
juang para pendiri DGI ini yang tidak kenal lelah. Dan biarlah cita-cita
pendirian lembaga ini juga kita wujudkan di mana pun kita melayani.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cooley, Frank L., Bagaimana Terbentuknya D.G.I. – Majalah Peninjau, Jakarta: LPS – DGI,
tahun II, Nomor 4, 1975.
4.
Jonge, Christian de, Menuju Keesaan Gereja, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006.
5.
Kirchberger, Georg, Gerakan Ekumene: Suatu
Pendahuluan, Flores: Ledalero, cet., I, 2010.
6.
Pilon, P. K., Oikumenika: Bagian Sejarah, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1972.
[1] http://www.pgi.or.id/index.php/agenda-pgi/item/66-bulan-oikoumene-2013.
Diakses pada hari Rabu, tanggal 29 Mei 2013, pukul 18.34 WIB.
[3]
Ini berdasarkan laporan Muller-Kruger yang mencoba memaparkan beberapa usaha
yang dilaksanakan untuk menyatukan kekristenan yang bercorak Protestan sebelum
tahun 1925, dalam tulisan: Frank L. Cooley, Bagaimana
Terbentuknya D.G.I. – Majalah
Peninjau (Jakarta: LPS – DGI, tahun II, Nomor 4, 1975), hlm.303.
[4] Untuk tahun pendirian LAI ini secara
resmi, Pilon berpendapat bahwa ini terjadi tahun 1951. P. K. Pilon, Oikumenika: Bagian Sejarah (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1972), hlm.80.
[5] Christian de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 83.
[6] Christian de Jonge, hlm. 84.
[7] Ibid.
[8] Dr. T. S. Gunung Mulia sendiri juga
telah menghadiri konferensi sebelumnya yang dilaksanakan pada tahun 1928 di
Yerusalem. Ibid.
[9] Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene: Suatu Pendahuluan (Flores: Ledalero, cet., I,
2010), hlm. 90.
[11] Christian de Jonge, dengan merujuk
catata dari Hartono, menyatakan perbedaan pendapat ini tidak jelas tentang apa.
Ibid, hlm. 85.
[12] P. K. Pilon, Oikumenika: Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972),
hlm.79.
[13]
Menurut T. B. Simatupang faktor yang memicu pembentukan DGI adalah: Doa Yesus
dalam Alkitab (baca Yoh.17:21) dan Pengakuan Iman; Jiwa Nasionalisme menjelang
dan sesudah PD-II; Pengalam pemuda Kristen dalam Christelijke Studentenvereniging (CSV, Perhimpunan-perhimpunan
Mahasiswa Kristen) dan pada Sekolah Teologia Tinggi (sekarang: Sekolah Tinggi
Teologia) di Jakarta; Pengalaman pada masa Jepang; dan Pengaruh gerakan
oikumenis dari luar (IMC, WSCF, DGD) dan pengaruh dari tokoh-tokoh pekabaran
injil. Christian de Jonge, hlm. 85.
[14] Christian de Jonge, hlm. 85.
[15] Ibid.
[16] Georg Kirchberger, hlm. 133.
[17] Ibid, hlm. 134.
[18] Christian de Jonge, hlm. 85.
[19] Georg Kirchberger, hlm. 134.
[20] Diadaptasi dari Georg Kirchberger, hlm.
134-135.
[21] Christian de Jonge, hlm. 85.
[22] Ibid, hlm. 86.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] W. J Rumambi dalam Frank L. Cooley, Bagaimana Terbentuknya D.G.I. – Majalah
Peninjau (Jakarta: LPS – DGI, tahun II, Nomor 4, 1975), hlm.304.
[27] 13 dari gereja di Indonesia bagian
Timur, 3 dari Sumatera, 1 dari Kalimantan, dan 11 dari Jawa. Cooley menambahkan
bahwa, ada dua gereja non-pribumi yang menghadiri konferensi ini, yaitu: Gereja
Methodis dan Gereja-gereja Gereformeerde; penasehatnya ada 21 orang, yakni: 14
orang Indonesia dan 7 orang Belanda; dan ada 9 orang peninjau. Jadi semua ada
49 orang (termasuk 12 orang Barat). Ibid.
[28]
Ada 22 gereja yang hadir pada konferensi ini, Ketua Umum PGI
adalah Pdt. Dr. A.A. Yewangoe – dari Gereja Kristen Sumba – dan Sekretaris Umum
adalah Pdt. Dr. Gomar Gultom, M.Th – dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
– periode 2009-2014. Saat ini terdapat 89 sinode gereja yang menjadi anggota PGI. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
menjadi Anggota PGI:
- Mempunyai Tata gereja sendiri memberitakan Firman Allah dan melayani sakramen sesuai dengan kesaksian Alkitab.
- Mempunyai Anggota Dewasa yang sudah dibaptis/sidi sekurang-kurangnya 2.000 orang.
- Menunjukkan kerjasama yang baik dengan gereja-gereja tetangganya, terutama gereja anggota PGI.
- Menyatakan persetujuannya secara tertulis terhadap Dokumen Keesaan Gereja serta kesediaannya untuk melaksanakan semua hal dan kewajibannya sebagai gereja anggota dengan bersungguh-sungguh.
- Menyatakan kesediaan mencantumkan "ANGGOTA PGI" di belakang nama gereja yang bersangkutan.
Tokoh
penting DGI dari
BNKP adalah:
Yupiter Gulö. Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia.
Diakses pada hari Rabu, tanggal 29 Mei 2013, pukul 18.42 WIB.
[29] Federasi adalah gabungan
beberapa perhimpunan yang bekerja sama
dan seakan-akan merupakan satu badan, tetapi tetap berdiri sendiri.
Salam Kasih dalam Tuhan Yesus,saya yoseph marto,manggarai timur flores ntt,hp 081236947221,cundemarto@gmail.com,senang membaca tulisan anda tentang Gerakan Oikumene di Indonesia,karena sangat erat dengan karya arsitektur saya sebagai karya tugas akhir saya dalam rangka meraih gelar sarjana arsitektur tahun 1997 di Uivetsitas Katholik Widya Mandira Kupang.intinya bahwa saya ingin ntt yang kami cintai mempunyai ikon atau land mark yang membanggakan kita semua yaitu OIKUMENE CENTRUM,yang dibangun di sebuah pulau kecil di teluk Kupang ntt,semoga anda juga salah satu yg diutus untuk mewujudkan gagadan ini seperti yg diharapkan oleh Yesus sendiri UT OMNES UNUM SINT,semoga mereka bersatu ya Bapa seperti Aku dalam Dikau dan Dikasu dalam Aku (yoh:17:21)
BalasHapus