follow me via twitter

Rabu, 23 Oktober 2013

Sejarah BNKP Part I

Ludwich Ernst Denninger

 
Denninger adalah sebuah nama yang sangat familiar dengan Ono Niha, secara khusus di kalangan umat Kristiani. Kedatangannya di Nias tanggal 27 September selalu dirayakan dengan meriah di kalangan gereja-gereja Protestan di Nias. Bahkan bulan September disebut dengan nama “Bulan Mission”, sebab Ludwich Ernst Denninger adalah Rasul pertama yang datang membawa Berita Injil kepada Ono Niha pada bulan tersebut.

Walaupun nama Denninger sangat terkenal di kalangan Ono Niha, namun masih banyak yang belum mengenal gambaran umum tentang diri dan pelayanannya. Tulisan singkat ini akan memberi informasi umum tentang Denninger.

Pembersih Cerobong Asap menjadi Missionaris

Nama lengkapnya adalah Ludwich Ernst Denninger. Ia lahir pada tanggal 4 Desember 1815 di kampung halamannya di Berlin – Jerman. Ia memiliki tubuh yang tidak begitu tinggi, tetapi kuat dan lincah. Setelah ia menamatkan sekolah yang kini setara dengan Senior high school, ia memasuki ketrampilan teknis, yakni “teknik pembersihan Cerobong Asap”. Sehingga dengan bekal teknik yang dimiliki, pada masa mudanya, ia mencoba mandiri dengan pekerjaan yang sangat dibutuhkan di Eropa, yakni membersihkan Cerobong Asap. Ini sebuah pekerjaan sulit, apalagi kalau rumah-rumah yang tinggi versi rumah bangsawan, dan sulitnya lagi bila musim dingin tiba.
Ternyata masa mudanya tidaklah dimanfaatkan dalam kesia-siaan. Ia tertarik pada kegiatan gerejawi, terlebih-lebih karena waktu itu di daerahnya terjadi semacam “kebangunan rohani” oleh gerakan Pietisme. Hatinya terus bergolak, karena merasa terpanggil untuk pergi kepada bangsa-bangsa di luar Jerman, khususnya suku bangsa yang belum mendengar berita tentang Yesus. Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya ia mengambil keputusan meninggalkan pekerjaan di bidang “teknik pembersih cerobong asap” dan menyerahkan diri menjadi “pemberita Injil”.

Sebelum diutus menjadi missionaris, Denninger mengikuti pendidikan Missionaris di Seminari Barmen di Wuppertal, Jerman. Umumnya yang diterima di seminari ini adalah yang memiliki kualifikasi intelektual dan mental-spritual. Seminari ini sangat ketat dengan kedisplinan dan ketertiban dan mendidik zendeling selama 3 tahun. Selain dibelaki pengetahuan Teologi dan ketrampilan dalam penginjilan, juga mereka dilengkapi dengan berbagai ketrampilan teknis, teristimewah menjadi guru di sekolah rakyat atau sekolah Zending.

Missionaris di Borneo
Setelah menamatkan pendidikan di Seminari Barmen, maka pada tahun 1847 di suatu kebaktian pengutusan yang bertempat gereja besar yang ada di Barmen (sampai sekarang gereja itu masih ada), ia dilantik dan diutus menjadi missionaris di Borneo (Kalimantan). Pada waktu itu ia berumur 30 tahun. Ia sungguh bersemangat melaksanakan tugas tersebut. Ia pergi dan bergabung dengan missionaris lainnya di Kalimantan. Ia tak peduli harus melintasi sungai yang panjang di daerah hilir sekitar sungai-sungai murung, Kapuas, Kahayan dan Barito. Pada waktu itu Gohong merupakan Pusat Pekabaran Injil dari RMG. Walaupun banyak tantangan, terlebih karena suku Dayak yang kurang tertarik dengan Injil dan benci terhadap “orang asing”, namun para missionaris terus melakukan pelayanan Pekabaran Injil.

Setelah 12 tahun Denninger melayani di Borneo, perkembangan misi sudah mulai menunjukkan kemajuan. Akan tetapi pada tahun 1859 terjadi suatu peristiwa berdarah dengan adanya “Pemberontakan Hidayat”, yang menyerang seluruh orang asing, tanpa kecuali, baik kolonial maupun missionaris. Denninger dan keluarganya bersama dengan missionaris lainnya harus melarikan diri karena dikejar dan nyaris dibunuh oleh penduduk Dayak. Di antara mereka ada 4 orang Mision¬aris, 3 orang isteri misionaris dan 2 orang anak - sempat dibunuh pada peristiwa pemberontakan penduduk Dayak tersebut. Ini merupakan peristiwa berdarah, bencana yang melanda badan misi RMG.

Antara Jawa atau Batak

Karena peristiwa “perang Hidayat” tersebut, maka pada tahun 1860 Denninger bertolak meninggalkan Banjarmasin menuju Semarang, Jawa Tengah. Ia mencoba memikirkan ladang pelayanan baru di Jawa Tengah, membawa Injil di tengah-tengah orang Jawa. Akan tetapi, belum membuahkan hasil, Denninger menerima perintah dari pusat RMG di Wuppetal bahwa ia harus pergi segera membantu pelayanan Pekabaran Injil di Tanah Batak yang dimulai oleh Nommensen (Tiba di Tanah Batak tanggal 7 Oktober 1861). Denninger direncanakan melayani di daerah Barus. Sehingga pada tanggal 20 Oktober 1861 ia bertolak dari Batavia menuju Padang dan tiba di Padang pada tanggal 21 November 1861.

Sayangnya ia tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Tanah Batak, dan harus tinggal di Padang untuk beberapa lama, karena istrinya “sakit keras, terkena racun”. Mereka mengalami kesulitan yang cukup berat, selain isteri sakit, dua orang anaknya jauh dari mereka, yakni tinggal di Wuppertal (Carolinna Denninger dan Elias Denninger), dan mengalami kesulitan karena keterbatasan biaya. Namun, Denninger tetap tabah. Ia hanya berserah diri dalam tangan pengasihan Tuhan. Ia menghadapi semuanya dengan tenang. Dalam kondisi seperti itu, ia menyewah rumah sangat sederhana (berdindingkan Bambu dan atap rumbia) milik orang Cina di daerah Kampung Cina. Inilah rumah yang sewanya tidak begitu besar. Di sanalah mereka tinggal. Di sanalah isterinya berbaring di lantai. Di sanalah Denninger merawat isterinya. Ketika I.L. Nommensen datang ke Padang tahun 1862, ia mengunjungi keluarga Denninger dan melihat penderitaan mereka yang cukup berat, sampai berkata: Sangat berat salib yang harus ia pikul. Ini ungkapan keprihatinan dan solidaritas dari sesama hamba Tuhan, atas derita yang dialami, terlebih karena penyakit isteri Denninger, tetapi juga karena keterbatasan keuangan, karena belum jelasnya daerah misi yang hendak dilakukan.
Tetapi, rupanya ada kehendak Allah di balik semua peristiwa itu. Peristiwa di Borneo dan penderitaan di Padang – telah membawa “berkat” bagi Ono Niha. Semua yang dialami oleh Denninger merupakan tanda dari Allah (Fingerzeige des Hern), tanda keselamatan bagi orang Nias. Sebab setelah beberapa tahun di Padang, ia melihat dengan jelas kondisi dan penduduk daerah Padang, dan melihat golongan yang berbeda dari umumnya, yakni Ono Niha yang ada di Padang. Pada waktu itu, Denninger memperkirakan jumlah Ono niha di Padang sekitar 3000 orang. Suatu jumlah yang cukup besar, karena jauh sebelumnya telah terjadi urbanisasi serta adanya praktek “jual-beli tenaga kerja” dari Nias. Sejarah mencatat bahwa Orang Aceh dan Melayulah yang datang ke Nias untuk berdagang tenaga kerja tersebut dengan “kaum bangsawan” Nias.

Denninger tertarik dan melihat hal tersebut sebagai ladang penginjilan yang disediakan oleh Allah. Sehingga, sambil merawat isterinya, Denninger melakukan percakapan dan belajar bahasa Nias kepada Ono Niha yang ada Padang. Ia menganggap pelayanan tersebut sebagai permulaan Pekabaran Injil di Nias. Dari pelayanan yang dilaksanakannya di Padang, dilaporkan bahwa Denninger membaptis 1 orang melayu pada akhir tahun 1862 bernama Karl Bidin.& Setahun kemudian, yakni pada tahun 1863, ia berhasil membaptis orang Nias pertama, yakni seorang perempuan bernama Ara (tidak ada data tentang marganya) yang nama baptisnya Gertruida Christina.*

Setelah dua tahun berada di Padang untuk merawat isterinya, sambil melakukan pelayanan Pekabaran Injil, Denninger merasa bahwa sangat lebih baik apabila pelayanan missi dilaksanakan langsung kepada Ono Niha di Nias. Sehingga ia mengarahkan perhatian untuk ke Nias. Dalam upaya ini, ia mengajukan permohonan kepada RMG di Barmen dan juga kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Upaya itu semakin memberi titik terang karena pemerintah Belanda di Den Haag telah meminta kepada RMG untuk mengutus missionaris ke Pulau Nias. Semakin melegakan hatinya, bahwa pada tahun 1864, anak-anaknya dapat berkumpul dengan mereka di Padang. Putrinya Carolinna Denninger yang setelah selesai Sidi di Barmen, ia datang ke Padang untuk membantu ibunya yang sakit, demikian juga Elias Denninger ikut bersama orangtuanya. Denninger ingin cepat-cepat ke Nias, tetapi masalahnya pimpinan pusat RMG di Jerman belum memberi persetujuan, demikian juga dari pemerintah Kolonial.

Denninger di Pulau Nias

Denninger didukung oleh pemerintah Hindia Belanda karena berpendapat bahwa penginjilan akan memajukan penegakkan “pax Neerlandica”. Sehingga, walau belum mendapat surat persetujuan dari pimpinan RMG di Jerman, namun karena motivasi yang sangat kuat dan bermodalkan izin dari Gubernur Jenderal dari Batavia tertanggal 13 Augustus 1865, maka Denninger dan keluarganya bertolak dari Padang menuju Nias. Ia tiba di Nias dengan kapal kayu pada tanggal 27 September 1865. Inilah yang dijadikan sebagai awal kedatangan Berita Injil di Pulau Nias. Gereja-gereja di Nias, merayakan kedatangan berita Injil ini setiap tahun, dengan nama “Yubileum” (dari kata Yovel (Ibrani), Jubilee (Inggris), Yubilate (Latin) yang mengandung arti sorak-sorai karena keselamatan, pembebasan, kemerdekaan yang datang dari pada Tuhan).

Memang, pada tahun 1822/1823 pernah datang utusan Mission Etrangers (badan Misi Katolik Roma), yakni Pere Wallon dan Pere Barart, tetapi baru tiga hari setelah berada di Lasara, Gunungsitoli salah seorang meninggal dunia dan tiga bulan kemudian yang seorang lagi meninggal dunia, sehingga belum sempat ada buah pelayanan mereka, itulah sebabnya tanggal 27 September dijadikan hari kedatangan berita Injil di Nias, sebab zending dari RMG tersebut yang dapat berakar dan bertumbuh serta menghasilkan buah. Pada mulanya, ketika Denninger dan keluarganya tiba di Gunungsitoli, ia tinggal di rumah “sekretaris pemerintah” (Gouvermentsscretars) atau yang sering dikenal dengan “kumandru Balanda”. Ia tidak lama tinggal di sana, sebab ia membeli sebuah rumah seharga 600 perak (mata uang Belanda) di Gunungsitoli. Di sanalah Denninger dan keluarganya tinggal.

Pekerjaan Pekabaran Injil di Nias awalnya sangatlah sukar. Memang pada tahun 1825 Nias dikusai oleh Belanda, namun hanya satu tahun bekerja “Posthouder”, kemudian ditinggal begitu saja. Pada tahun 1864 s/d 1902 pemerintahan hanya di sekitar Gunungsitoli, yang disebut dengan “Rapatgebied” (16 Km ke Utara, 16 Km ke Selatan dan 16 Km ke barat). Baru mulai tahun 1902 pemerintah Kolonial mengefektifkan pemerintahan dan penguasaan Nias. Sekian lama, Nias terisolir dan terbelakang. Aceh dan Bugis telah berdatangan untuk berdagang, termasuk memperdagangkan “tenaga kerja”, yakni membeli para budak dan menjualnya di dataran Sumatera. Itulah sebabnya banyak orang Nias berada di Padang, selain yang datang merantau.

Pada waktu Denninger tiba, masyarakat masih tertinggal. Mereka belum mengenal pakaian dan mereka hanya mengenakan yang disebut “Saombo”. Makanan pokok masyarakat adalah ubi dan sagu. Ada banyak rakyat yang meninggal dunia akibat penyakit. Pada waktu itu, merajalela penyakit Malaria, dan penyakit yang disebut Talu soyo, Fogikhi/sitesafo, eha simiwo, nira’u mbekhu, dan sebagainya. Pada waktu itu peranan Ere (dukun) sangat besar untuk penyembuhan penyakit dengan mantra-mantra serta obat-obatan tradisionil. Selain itu, belum ada kesatuan masyarakat Nias secara menyeluruh, bahkan sering terjadi peperangan antar banua. Dan hal yang menaktukan lagi adalah beroperasinya yang disebut “Emali”, yakni pemenggal kepala. Dari segi kepercayaan, masyarakat Nias saat itu memiliki banyak patung di setiap rumah yang dipercayai sebagai “wujud Allah” yang menyalurkan berkat, terlebih berkat dari “arwah nenek moyang”. Selain itu, mereka juga mengenal Lowalangi yang bersemayam di Teteholi Ana’a. Di lain pihak, mereka juga mengenal banyak Allah di dalam bidang kehidupan. Misalnya, pemilik ternak di Hutan disebut “Bela”, pemilik ternak piaraan disebut “Sobawi”, pemilik ladang dan sawah adalah “Sibaya Wakhe”, penguasa di arena perang disebut “so’aya”, penguasa di Sungai disebut “Tuha Zangarõfa”, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti itu, Denninger dan Missionaris lainnya melakukan pelayanan. Mereka mengalami kesulitan, karena selain kekurangan mereka menguasai bahasa dan budaya Nias, juga karena sifat orang Nias yang waktu itu kurang tertarik pada Injil. L. E. Denninger pernah mengeluh:


"Fa’atebakha Nono Niha ba gefe ba ba hare, da’õ zi mõi bõrõ wa’alua ngawalõ zi lõ sõkhi, samõbõ ba samesu ya’ira, da’õ zamõnui tõdõ ba era’erara, irege lõ tesõndra nahia Daroma Li Lowalangi khõra"

---(Ketamakan akan uang dan untung, itulah akar segala kejahatan yang mengikat dan memenuhi hati mereka, sehingga tiada tempat bagi Injil)


Namun demikian, Denninger terus gigih melakukan pelayanan. Ia mencintai Ono Niha. Walaupun ada kesan bahwa RMG lebih besar perhatiannya di Tanah Batak, namun Denninger tidak putus asa. Ketika Missionaris Wilhelm Kõdding dan August Mohri meninggalkan Pulau Nias karena alasan “sakit” dan “mereka dibutuhkan di Tanah Batak”, Denninger memang sangat sedih, dan mengeluh, katanya:


"Irege da’e no tegaõlõ manõ Lazaro-Ono Niha andrõ fõna mbawandruhõ zebua ana’a andrõ. Omasi ia abuso ia ba mbungombungo gõ sagatoru moroi ba meza zo’ana’a andrõ. Hadia akha telõgu manõ ia ba da’õ, lõ mutolo?"
---(Hingga sekarang, Lazarus-Ono Niha telah terhempas lemas di depan rumah orang kaya itu. Ia ingin makan dan kenyang dari sisasisa makanan yang jatuh dari meja orang kaya tersebut. Apakah dibiarkan begitu saja ia terhempas lemas, tanpa pertolongan?)


Denninger tak terus melaksanakan kunjungan dan percakapan dengan orang-orang Nias. Ia melaksanakan pelayanan dengan berbagai cara, sehingga setelah kurang lebih sembilan tahun, baru ada yang tergerak hatinya dan menerima Yesus sebagai juruslamat mereka.

Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan

Denninger dan juga missionaris lainnya menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci pembangunan manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, ia dan didukung oleh pemerintah Belanda yang ada di Gunungsitoli memulai pelayanannya dengan membuka sekolah. Muridnya sangat sedikit. Pada awalnya hanya 6 orang, termasuk di antaranya anak seorang balugu/salawa yang bernama “Kaneme”. Anak-anak mau sekolah hanya untuk mencari “pemberian” dari Denninger dan bila tidak ada hadian maka merekapun tidak mau datang belajar. Pengkaderanpun dilakukan oleh Denninger dengan mempersiapkan tenaga guru sebanyak 2 orang dan inilah nanti yang merupakan cikal-bakal dibukanya Seminari yang dimulai di Dahana oleh Sundermann, lalu diformalkan oleh W.J. Thomas di Humene dan dikembangkan di Ombôlata. Selain itu, Denninger juga menyusun dan mencetak bahan pengajaran untuk sekolah rakyat. Sejarah mencatat bahwa para missionarislah yang memulai pendidikan di Nias, dan baru nanti pada tahun 1930-an Belanda membuka sekolah di Gunungsitoli.

Selain pelayanan pendidikan dan diakonia (membagi-bagikan pakaian, tembakau, dll), para Missionaris juga berusaha merespon permasalahan yang terjadi di Nias. Berhubung pada waktu itu meraja-lela berbagai penyakit, terlebih malaria, maka missionaris membagi-bagikan obat. Ini sangat membantu karena para dukun yang disebut “ere” tidak lagi mampu mengobati dengan cara tradisionil, sehingga ada banyak yang meninggal dunia. Namun dengan obat-obatan dari Missionaris, masyarakat dapat terbantu dari penyakit yang mewabah melanda mereka. Pelayanan ini dikemudian hari ditingkatkan dengan membuka Pos Pelayanan kesehatan, bahkan Gerejalah yang memulai membuka Rumah Sakit dan itulah cikal-bakal Rumah Sakit Umum Gunungsitoli sekarang ini. Denninger termasuk seorang tokoh pembaharu (reformasi) dan Pembangunan Nias.

Paskah 1874: Baptisan Pertama
Selain pelayanan pendidikan, diakonia dan kesehatan, Denninger dan dibantu oleh isterinya terus melakukan pelayanan dan kunjungan dari rumah ke rumah di desa-desa sekitar Gunungsitoli. Mereka bercakap-cakap dengan masyarakat, memberitakan keselamatan dan hidup yang kekal.

Setelah 6 tahun melakukan pelayanan, maka pada suatu minggu di bulan april 1871 – terdapat sekitar 140 orang yang datang mengikuti kebaktian minggu yang dipimpin oleh L.E. Denninger. Orang Nias mau datang, tetapi dengan harapan bahwa selesai kebaktian mereka akan mendapat tembakau, obat-obatan dan uang sebesar 3 rimis.

Sedikit melegakan hati Denninger bahwa RMG mulai memberi perhatian ke Nias dengan mengutus Wihlem Thomas yang tiba di Nias tanggal 14 Februari 1872 dan disusul oleh Friedrich Kramer pada tanggal 1 April 1873. Inilah yang membantu Denninger, baik di sekolah maupun di pelayanan Pekabaran Injil. Memang sulit, tetapi pada akhirnya, hati orang Nias terbuka untuk Injil. Masyarakat asal Hilina’a dan Onozitoli sebanyak 25 orang (termasuk keluarga Salawa Yawaduha) memberi diri dibaptis pada kebaktian Paskah, tanggal 5 April 1874 di Gereja (Lods) Gunungsitoli. Pembaptisan ini dilaksanakan oleh Denninger (untuk 12 orang) dan oleh Kramer (bagi 13 orang). Inilah orang Nias yang ada di Nias yang pertama sekali menerima Injil dan memberi diri dibaptis menjadi Kristen. Tidak berhenti sampai di sana, semasih Denninger berada di Nias, pada tanggal 23 Agustus 1874 terdapat 19 orang yang telah mengikuti katekisasi, memberi diri dibaptis. Peristiwa ini menyukakan hati Denninger, sehingga ia mendesak RMG untuk meningkatkan jumlah missionaries yang diutus melayani di Nias. Denninger dengan mengutip informasi dari pejabat pemerintah Belanda menyatakan bahwa terdapat sekitar 800.000 orang di Pulau Nias. Mereka membutuhkan kasih dan pelayanan. Mereka perlu diselamatkan. Denninger mengatakan:


"Da’õ halõwõ sinangea muhalõ ba halõwõ famatenge khõda, ya’ia wamazaewe awõ wamõnui niha sato sibai andre faoma Turia somuso dodo."

---(Pokok utama pekerjaan misi ialah menyebarkan dan memenuhi orang banyak ini (Nias) dengan Kabar baik, kabar keselamatan)


Walaupun Denninger dan missionaris lainnya turut bersedih bersama dengan jemaat asal Hilina’a Karena pada tanggal 10 Mei 1875, namun suatu sukacita lain, dimana Denninger punya kesempatan terakhir mengikuti sakramen Baptisan kudus yang dipersiapkan oleh Friedrich Kramer adalah 27 Juni 1875. Itu berarti sebelum ia berangkat ke Batavia. Pada waktu itu Denninger yang melayani Pemberitaan Firman Tuhan, Kramer yang melaksanakan ujian katekisasi dan mereka berdua bersama-sama melaksanakan pembaptisan. Setelah acara Baptisan Kudus, mereka makan bersama di rumah Denninger. Berkumpul lebih 100 orang. Ini semacam perjamuan terakhir. Pada acara tersebut, pejabat pemerintah, Gouvermentsscretars memberikan kata sambutan. Ia mengatakan:


"Ahõli dõdõgu, wa no tola musindro mbanua niha Keriso (Jemaat) andre, ba zi lõmanõ fanolo si oroi zamatõrõ".

---(Sungguh menakyubkan bahwa dapat berdiri jemaat di sini, walaupun tidak ada bantuan pemerintah)


Selain Baptisan yang telah terlaksana, hal lain yang menyukakan hati L.E. Denninger adalah bahwa pada akhir tahun 1874, berhasil tercetak Injil Lukas yang diterjemahkan oleh Denninger dan dicetak serta diperbanyak (500 buah) oleh The British and Foreign Bible Society. Walaupun Thomas dan Kramer mengkritik terjemahan tersebut karena menurut mereka banyak yang tidak sesuai dengan bahasa Nias, namun harus dicatat bahwa Injil itulah yang pertama diterjemahkan, dan bahasanya lebih merupakan campuran antara logat Nias Utara dengan Logat “sumbawa”, bagian Nias Selatan (yang dipelajari Denninger di Padang).

Kembali Ke Batavia

Setelah itu baptisan pertama itu, Denninger yang sudah berumur 60 tahun mulai menderita penyakit, sehingga ia pergi cuti ke Batavia pada tahun 1875. Ia tinggal di rumah menantunya (suami Lina, seorang pegawai pemerintah Belanda yang sudah pindah dari Nias ke Bogor). Pada awalnya hanya rencana cuti dan masih ada keinginan melanjutkan pelayanan Missi, namun karena penyakit yang parah dan tak terobati, akhirnya L.E. Denninger meninggal dunia pada tanggal 22 Maret 1876, serta dikebumikan di kuburan dekat anaknya tinggal, yakni di wilayah Bogor.

Denninger, sebuah nama yang tidak asing bagi Nias. Sayangnya, kita tidak memiliki fotonya dan kita tidak mengenal tempat kuburannya. Namun, namanya dan pelayanannya tetap melekat dalam lubuk hati orang Kristen di Nias. Firman Tuhan mengatakan: “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan Firman Allah kepada kamu” [Ibrani 13:7a]. Dia adalah rasul orang Nias. Dia adalah pelopor reformasi dan pembangunan Nias.

Ya’ahowu!

Sumber: Sinode BNKP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar