follow me via twitter

Selasa, 10 Desember 2013

ALIRAN INJILI



ALIRAN INJILI
 
Dalam tulisan ini, pembahasan akan dimulai dengan penjelasan terhadap penyebab kemunculannya dalam sejarah dan dilanjutkan dengan perkembangannya di tempat di mana ia muncul. Pada bagian berikutnya akan diuraikan pengaruh dan kehadiran gerakan ini di Eropa, yang juga hadir di sana. Sebagaimana orang-orang kadang menyamakan gerakan ini dengan gerakan Karismatik, maka akan dibahas juga secara sederhana perbedaan gerakan ini dengan gerakan Karismatik. Setelah itu akan diuraikan awal kehadiran gerakan ini di Indonesia serta perkembangannya. Sebagaimana GKY merupakan salah satu buah yang dihasilkan oleh gerakan Injili, maka pada bagian berikutnya akan diuraikan secara sederhana tentang GKY sampai pada kehadirannya di Nias (yang merupakan fokus kecil dari makalah ini). Pada bagian berikutnya akan disajikan keyakinan dan ajaran dari gerakan ini yang dilanjutkan dengan melihat/mengevaluasi  gerakan ini. Pada bagian terakhir, akan ditarik kesimpulan dari seluruh uraian dalam buku ini. Selain itu, tulisan ini juga dilampiri beberapa hal (misalnya, hasil wawancara dengan gembala/pemimpin GKY di Nias) pada bagian belakangnya.


Untuk lebih jelasnya, baca selengkapnya di sini atau di sini
»»  Lanjutkan Membaca...........

Kamis, 24 Oktober 2013

Tata Gereja & Peraturan BNKP

Tata Gereja & Peraturan BNKP

 
Dalam mengelola perkehidupan BNKP, perangkat peraturan merupakan sebuh keniscayaan. Usia pelayanannya yang sudah begitu lama, hampir 150 tahun (peringatan kedatangan Berita Injil di Kepulauan Nias sejak tanggal 27 September 1867), seluruh proses pelayanan diatur dalam berbagai jenis peraturan seperti namun tidak terbatas pada Ketetapan dan Keputusan Majelis Sinode, Peraturan BPMS dan BPHMS, Keputusan BPHMS, dan lain-lain.

Dengan adanya Tata Gereja BNKP Tahun 2007, yang memberikan paradigma baru terhadap perkehidupan BNKP, diperlukan jenjang peraturan, yang kemudian diatur dalam Keputusan BPMS No 10 Tahun 2008, tentang Tata Urutan (Jenjang) Peraturan Di BNKP.



Berikut perangkat peraturan yang telah disahkan di BNKP:

25. Lamp- keuangan 1 dan

Ya'ahowu.

Sumber: Sinode BNKP
»»  Lanjutkan Membaca...........

Rabu, 23 Oktober 2013

Logo BNKP & Pengertiannya

Logo BNKP & Pengertiannya

 
  1. Salib sebagai simbol Yesus Kristus. Ini menyatakan bahwa BNKP mengaku Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat dunia, serta Kepala  Gereja, itulah yang telah memanggil suku Nias dan suku-suku lainnya dari dunia ke dalam terang-Nya yang ajaib untuk beroleh pengampunan dan keselamatan.
  2. Tulisan BNKP yang mengitari salib, merupakan pengakuan bahwa kehidupan BNKP secara total adalah dari, oleh dan untuk Yesus Kristus.
  3. Bola Bumi sebagai simbol dunia ini menyatakan bahwa BNKP sebagai gereja telah diutus kembali ke dalam dunia untuk memberitakan salib Kristus dalam menyatakan pembebasan, pengampunan, perdamaian dan berkat bagi segala makhluk.
  4. Mahkota sebagai simbol kemuliaan, menyatakan bahwa BNKP sebagai gereja berpengharapan akan kehidupan yang kekal yang telah dipersiapkan oleh Yesus Kristus bagi orang yang percaya dan setia kepada-Nya.

Sumber: Sinode BNKP
»»  Lanjutkan Membaca...........

Visi, Misi & Struktur BNKP

Visi, Misi & Struktur BNKP

 
Visi
BNKP Teguh dalam Persekutuan dan menjadi Berkat bagi Dunia

Misi
  1. Meningkatkan kualitas spiritual warga jemaat yang menjiwai nilai-nilai dan iman kekristenan dalam seluruh dimensi kehidupan.
  2. Meningkatkan jumlah dan mutu para pelayan di BNKP, sehingga menjadi agen pembaharu, baik di dalam gereja maupun dalam masyarakat.
  3. Menata dan membangun persekutuan yang indah dan teguh di BNKP, berdasarkan kasih Kristus, yang menampakan kehidupan yang seia-sekata, sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, dan satu tujuan, baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
  4. Memberdayakan warga jemaat, agar lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan, serta memperoleh hidup dalam sejahtera (syalom/howu-howu).
  5. Mengupayakan kemandirian dana di BNKP.

Struktur Organisasi:

struktur-organisasi-bnkp

SUmber: Sinode BNKP
»»  Lanjutkan Membaca...........

Sejarah BNKP Part III

Denninger, Tentang Kemandirian Gereja

 
Konsep Denninger

Konsep kemandirian yang sangat populer pada masa zending adalah Konsep Three-self (Self-propagating, Self-supporting dan Self-governing). Konsep ini merupakan pegangan umum yang terkenal di kalangan para Zendeling dalam melaksanakan Pekabaran Injil di daerah Misi. Konsep tersebut juga telah mempengaruhi Zendeling pertama di Nias, yakni E.L. Denninger. Konsep tersebut dijadikan sebagai prinsip dalam melakukan Pekabaran Injil. Gustav Manzel mengatakan bahwa dalam catatan Denninger, ia menyatakan:

Dalam melakukan Pekabaran Injil, perlu menentukan semacam pusat pelayanan. Untuk penyebaran ke tempat-tempat lain, perlu membina tenaga pribumi yang telah menjadi Kristen, agar mereka yang menyebarkannya. Orang-orang yang telah menjadi Kristen digembalakan agar dari hasil ladang atau ternak, mereka membantu kebutuhan para pelayan. Setelah jumlah mereka banyak, pada akhirnya di-harapkan merekalah yang mengadakan seluruh pembiayaan pelayanan.

Dari kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa Missionaris Denninger, rasul Nias terebut mempunyai konsep memandirikan gereja di daerah Pekabaran Injil, yakni mengupayakan agar orang Nias sendiri yang melakukan Pekabaran Injil dan membiayai sendiri pelayanan dalam penumbuhan gereja.

Latar Belakang Konsep

Gagasan L.E. Denninger tentang pemandirian gereja hasil misi ini, dipengaruhi oleh dosen-dosennya ketika dibina di Seminari Barmen. Ada dua orang dosennya yang memiliki gagasan tentang pemandirian gereja, yaitu: Pertama: Gustav Warneck (1834-1910). Ia mengajar di Seminari Barmen hanya sebentar karena gangguan kesehatannya, namun ia mempunyai pengaruh besar dengan karya-karya tulisanya. Ia juga dilatar-belakangi oleh apa yang disebut neo-pietisme, sehingga menolak teologi liberal-sionalistis, walaupun di dalam teologianya muncul garis pemikiran rasionalistis yang cukup jelas. Bagi Warneck, missi adalah tugas rohani untuk mengalirkan hidup yang telah dimiliki gereja atau orang Kristen sejati kepada dunia kekafiran. Ini dilaksanakan dengan mengirimkan para zendeling, mendidik pengerja pribumi dan akhirnya mengkristenkan seluruh bangsa. Konsep ini disebut "Volkchristianisierung" dan bertolak dari Matius 28:19. Gagasan ini diteruskan/dikembangkan nantinya oleh anaknya yang juga missionaris di Tanah Batak, yakni J. Warneck. Johannes Warneck begitu antusias mengumandangkan soal "Gereja rakyat". Sehingga, dengan mengambil contoh Indonesia, ia berkata bahwa yang terdapat hanyalah "gereja Batak", "Gereja Jawa", "gereja Minahasa" , "Gereja Nias", dll. Subjek missi adalah gereja, sebab gereja adalah gereja yang missioner. Warneck yang juga mendalami gagasan Henry Venn dan Rufus Anderson, menekankan bahwa tugas mission adalah pengkristenan bangsa-bangsa, dan tujuan akhirnya adalah perwujudan Gereja Rakyat yang mandiri, hanya saja baginya jangan terburu-buru menyerahkan kepemimpin an kepada pengerja pribumi. Kemandirian ini tidak hanya sekedar memenuhi cita-cita Tri-Mandiri, melainkan mempunyai makna bahwa pengaruh kristianinya telah meresapi dan menguasai seluruh kehidupan bangsa.

Tokoh yang kedua yang mempengaruhi Denninger adalah A. Schreiber (1839-1903). Ia adalah teolog lulusan Universitas yang pertama di jajaran zendeling RMG. Ia dididik di lingkungan yang sangat diwarnai Pietisme dan teologia kebangunan. Baginya sangat penting pengkristenan seluruh bangsa dan dengan dipengaruhi oleh hasil stuidinya tentang teori mision, khususnya teori Tri-mandiri dari Henry Venn dan Rufus Anderson ketika ia belajar di Inggeris, maka ia melihat pentingnya membentuk Gereja Rakyat yang Mandiri, dan salah satu syaratnya adalah perlu mendidik para pengerja pribumi, serta menyarankan agar kepemimpinan Gereja, sekurang-kurangnya di tingkat setasi, harus diserahkan kepada pengerja pribumi.

Darimana sesungguhnya konsep tersebut, serta bagaimana gagasan Three-self tersebut ?

Konsep Three-self muncul dari pergumulan tentang pentingnya indigenisasi (pempribumian). Dalam indigenisasi ditekankan suatu kenyataan bahwa teologi dilakukan oleh dan untuk suatu wilayah geografis tertentu - oleh warga setempat untuk wilayah mereka.

Dari konsep "indigenisasi", terformulasi suatu konsep yang disebut konsep "Three-self", yakni Self-propagating, self-supporting dan self-governing (Memberitakan sendiri, membiayai sendiri dan memerintah sendiri). Gagasan Three-self tersebut dilahirkan oleh Henry Venn dan Rufus Anderson. Untuk memahami pengertian, ketika konsep ini dilahirkan, penting melihat gagasan pencetusnya (Henry dan Anderson).

Henry adalah anak dari John Venn (Rektor of Clapham, England). Pada tahun 1841 s.d. 1872 Henry menjadi Sekretaris Church Missionary Society, dari gereja Anglican. Gagasannya yang tertuang dalam surat-surat dan dokumen-dokumen diedit oleh Max Warren. Didorong oleh ketidak-setujuannya atas paternalistik missionaris Barat atau sikap 'supervisors', 'director' dan 'paymaster' terhadap orang-orang Asia, Afrika dan Caribbean, maka Henry Venn memformulasikan secara baru goal missi dengan menekankan three-self. Bagi Henry, tujuan missi yang paling istimewah hendaknya dipandang dari hasilnya, yakni melahirkan gereja pribumi di bawah pelayanan dan kepemimpinan pendeta pribumi dan mampu membiayai diri sendiri. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka para missionaris hendanya memberi perhatian pada pelatihan terhadap pribumi agar menjadi pendeta. Sedangkan pembinaan jemaat setempat biarlah dilakukan oleh para pendeta pribumi. Merupakan "euthanasia missi" bila tugas pembinaan jemaat diambil-alih oleh para missionaris. Lebih jauh, Henry mengharapkan agar pada akhirnya, para missionaris dan badan-badan missi ditransfer pada gereja setempat. Henry sendiri sangat bersemangat mengimplementasikan gagasan tersebut, misalnya dengan pengangkatan Bishop pribumi di gereja Nigeria, penyerahan kuasa dan administrasi dalam pengelolaan sekolah kepada pribumi, serta penempatan pelayan pribumi pada posisi-posisi penting dalam gereja. Apakah Henry Venn berhasil? Verkuyl mencatat bahwa upaya Henry Venn menerapkan gagasannya tersebut belum begitu berhasil saat itu, karena keterbatasan kaum pribumi menjabarkan ide Henry Venn tersebut.

Tokoh kedua pencetus ide three-self adalah Rufus Anderson (1796-1880). Dia pernah menjadi sekretasi badan missi, yakni: American Board of Commissionars for Foreign Mission (tahun 1826-1866). Bila Henry Venn seorang Anglican, maka Anderson adalah Congregationalist. Mereka memang berbeda dalam hal sistem pemerintahan gereja, namun keduanya memiliki persepsi yang sama dalam memandirikan atau mempribumikan gereja-gereja yang telah tumbuh dari pekerjaan zending Barat.

Anderson yang memberi penekanan pada three-self, mengemukakan bahwa missi adalah lembaga bagi penyebaran Injil, yang pemberitaannya dilakukan oleh orang-orang kristen sendiri (Missions are instituted for the spread of a scriptural, self propagating christianity). Dalam hal itu ada empat unsur penting lainnya yang menunjang pekabaran Injil, yakni: (1) menobatkan orang-orang yang hilang (Converting of lost human beings), (2) mengorganisir mereka dalam gereja (Organizing them into churches) (3) Memampukan gereja-gereja dengan melatih pelayan-pelayan pribumi agar mereka mempunyai kecakapan (Providing the churches with competent native ministers, dan 4) memimpin gereja pada tingkat kemandirian dan memberitakan sendiri (Conducting the church to the stage of independence and (in most cases) of self-propagating.

Gagasan-gagasan Anderson ini, mula-mula disodorkan untuk zending Amerika, agar di dalam menanam dan menumbuhkan gereja pribumi menggunakan prinsip self-governing (Memerintah sendiri), Self-supporting (membiayai sendiri) dan self-propagating (memberitakan sendiri). Gagasan Anderson ini dikembangkan oleh John Nevius pada tahun 1880-an, dalam pengembangan missi Presbyterian di Korea. Nevius menggambarkan metode pempribumian gereja dalam enam prinsip penting, yakni: Pertama, setiap orang tetap tinggal dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Mereka hidup dan membiayai hidup seperti sebelumnya. Kedua, percaya akan tenaga sukarela untuk tugas perintisan. Ketiga, menempatkan gereja dalam kehidupan rumah tangga. Keempat, supervisi gereja dilakukan oleh evangelis bayaran. Kelima, memperluas pelatihan pengkhotbah, pengajar katekisasi, pemimpin Penelaah Alkitab. Keenam, gereja yang dibangun hendaknya membiayai diri sendiri.

Itulah konsep dari Three-self yang dilahirkan oleh Venn dan Andreson. Konsep tersebut memberi pengertian bahwa menjadi tugas panggilan setiap individu untuk bersekutuan dengan umat Allah, dan kemudian membentuk dan memperlengkapi mereka sebagai jemaat. Dan menurut pencetus konsep Three-self bahwa aspek tersebut di atas sangat diperlukan dalam tugas panggilan Pekabaran Injil. Namun demikian, pada pihak lain konsep three-self ini mempunyai kelemahan. Menurut evaluasi Verkuyl, ada empat kelemahan dari konsep three-self, yakni (1) Terlalu berpusat pada gereja (ecclesiocentric) dari pada Kerajaan Allah. Padahal pusat kesaksian Alkitab adalah Kerajaan Allah. (2) Dalam konsep three-self memberi kesan bahwa ciri gereja yang benar adalah yang mampu membiayai sendiri (self-supporting), padahal gereja dipanggil dendam dan celaan terhadap gereja yang miskin yang tidak dapat membiayai sendiri. (3) Bahwa konsep Three-self dapat membongkar dan memutuskan hubungan antar gereja. (4) Kelahiran konsep Three-self adalah di Barat, dimana yang melakukan Pekabaran Injil bukan lembaga gereja, melainkan missionary societies. Ini berbeda dengan di daerah missi, sehingga dapat menimbulkan perdebatan.

Walaupun konsep three-self dalam perdebatan, namun gagasan tersebut, ternyata mendapat respons dari kalangan missionaris. Konsep Three-self dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam memandirikan "gereja muda", hasil pelayanan para Missionaris di daerah missi. Terlebih-lebih setelah digumuli tentang kegiatan missi dalam beberapa konferensi, seperti: Konferensi Edinburgh tahun 1910, di Yerusalem 1928 dan di Tambaran tahun 1938. Walaupun Zending masih mempertahankan soal superiority barat, namun gagasan three-self dijadikan sebagai prinsip dan pedoman Pekabaran Injil dalam memandirikan gereja-gereja yang tumbuh oleh pekerjaan Missionaris. Formulasi inilah yang mempengaruhi para missionaris/teolog melihat kemandirian gereja pada pelembagaan suatu gereja (berdirinya sinode yang dipimpin oleh pribumi).

Konsep dan Implementasinya: Zaman Zending?

Bila melakukan pengkajian secara umum, dapat disimpul¬kan bahwa pada masa zending terlihat para misionaris berupaya memandirikan gereja di Nias, baik di bidang teologi, maupun bidang daya dan dana. Dalam kurun waktu 75 tahun (1865 - 1940), gereja-gereja di Nias yang lahir dari pekerjaan Zending, telah ditata seoptimal mungkin oleh para misionaris, baik pengajaran, peribadatan, tenaga, sumber dan sistem keuangan, maupun sistem pengorganisasiannya, sehingga melembaga dengan nama Banua Niha Keriso Protestan, disingkat BNKP.

Merupakan hal yang penting dan memberi ciri khas dari gereja BNKP adalah gerakan yang disebut "Fangesa dodo“ (Gerakan Pertobatan Massal). Gerakan ini yang mempercepat penginjilan, yang memberi warna teologi, sistem dan yang menggerakkan daya dan dana dari Ono Niha dalam pengembangan Pekabaran Injil dan pemandirian BNKP. Gerakan ini yang membuat gereja Nias, oleh Walter Lempp menyebutnya dengan "Gereja rakyat". Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran dan upaya menuju kemandirian BNKP harus dilihat dalam gerakan pertobatan massal yang disebut Fangesa dodo sebua.

Hanya yang menjadi soal pada masa zending adalah isi dari Teologi yang dikembangkan melalui pengajaran dan dengan pendekatan terjemahan. Dalam kancah "Fangesa dodo", terlihat jiwa dan ciri dari "pietisme" yang juga melatar-belakangi para misionaris yang sebelumnya dididik di sekolah zending di Barmen. Hal itu terungkap dalam menyingkapi problema aktual yang dihadapi oleh masyarakat pada waktu itu, yakni kemiskinan, keterbelakangan dan dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Bidang ini masih belum banyak disentuh. Hal lain adalah dalam hubungan dengan budaya. Memang misionaris menggunakan unsur budaya, khususnya bahasa, baik dalam komunikasi maupun dalam terjemahan (Alkitab, Buku zinuno, Liturgi, dan buku-buku pengajaran), namun banyak unsur budaya yang dieliminir, apalagi yang berkaitan dengan "agama suku Ono Niha". Hal itu terungkap dalam "Amakhoita" dan Tata Gereja. Akibatnya terjadi tarik-menarik yang terus menerus dalam hubungan Injil dan Budaya Nias.

Mengenai kemandirian daya. Kita melihat bahwa para misionaris telah berupaya mengembangkan pendidikan di Nias. Bahkan gerejalah yang pertama membuka sekolah di Nias, baik sekolah umum (sekolah zending) maupun pembinaan, kursus para pelayan gereja. Sehingga dalam kurun waktu 75 tahun telah banyak orang Nias yang menjadi pelayan, yang dapat memberitakan sendiri (Self-propagadin). Artinya kebaktian di jemaat-jemaat dapat berjalan dengan baik di bawah pelayanan dan kepemimpinan para Sinenge dan Guru, serta dukungan dari para Satua Niha Keriso dan para Salawa atau Tuhe¬ori. Tenaga pendeta pribumi, pada tahun 1939 telah 20 orang yang aktif melayani. Mereka ditempatkan sebagai pendeta Distrik.

Tenaga pelayan yang telah dipersiapkan itulah merupakan pendukung utama dalam pelayanan di BNKP pada masa zending. Artinya, kelangsungan kegiatan peribadatan, pembinaan atau pengajaran, serta kegiatan pendidikan tidak hanya dikerjakan oleh para misionaris, melainkan didukung oleh warga dan tenaga pelayan pribumi yang ada. Hanya saja, hingga tahun 1939, pelayan pribumi belum menem¬pati kedudukan sebagai Praeses atau pada tingkat sinodal. Artinya mereka belum dipersiapkan untuk kepemimpinan (Self-governing).
Mengenai upaya kemandirian dana (Self-supporting), kita melihat bahwa para misionaris telah berusaha menciptakan keman¬dirian dana. Tidaklah beralasan bila dikatakan bahwa tidak ada usaha misionaris menciptakan kemandirian dana pada masa zending. Justru dengan dukungan besar dari Ono Niha yang menjadi Kristen, maka pelayanan gereja di Nias dapat tercipta. Memang mulanya terlihat praktek "memberi dengan cuma-cuma", tetapi kemudian justru mereka mengupayakan dukungan dana dari warga jemaat, misalnya: dalam pembangunan gedung gereja, sekolah, pengumpulan persembahan dan sumbangan, aksi u'alui dalifusogu, pengangkatan sinenge guna memperkecil pembiayaan dan menata adminitrasi keuangan dengan sistem sentralisasi di aras ressort.

Hanya yang menjadi persoalan adalah bahwa penggalian dana dari warga jemaat harus diikuti dengan pengembangan ekonomi jemaat. Hal ini belum banyak disentuh oleh misionaris, kecuali dengan pendekatan mentalitas, yakni mengajak orang Nias agar jangan terlalu besar "mas kawin" pada pesta perkawinan, karena itu dapat memiskinkan. Selanjutnya sistem pengelolaan keuangan yang menciptakan ketergantungan. Pada masa zending, segenap uang masuk disetor ke Ressort, baru kemudian Ressortlah yang bertanggung-jawab membayar biaya pelayan dan pelayanan. Hal ini telah menciptakan ketergantungan. Juga pendekatan Pekabaran Injil yang pada awalnya diumpan dengan pemberian-pemberian, dapat menjadi penghalang dalam menggali swadaya.

Dengan mengemukakan simpul-simpul tersebut di atas, maka telah memberi potre kemandirian BNKP pada masa zending, baik di bidang teologi, maupun daya dan dana, dengan segala bentuk, keunggulan dan kelemahannya.

Kemandirian Gereja: Pergumulan Oikumenis

Pada dekade 80-an, muncul kembali kesadaran kuat akan pentingnya pempribumian Injil, sehingga gereja-gereja di Indonesia memunculkan gagasan dengan istilah Kemandirian Gereja di bidang Teologi, Daya dan Dana. Itulah salah satu keputusan Sidang Raya X DGI tahun 1984 di Ambon dengan dihasilkannya Lima Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia (LDKG). Dokumen V dari LDKG tersebut adalah "Menuju Kemandirian Theologia, Daya dan Dana". Dokumen I-IV merupakan pernyataan dan pengakuan, sedangkan dokumen V lebih bersifat gagasan dan pedoman untuk dikembangkan oleh gereja-gereja. Gagasan tersebut berisikan kesadaran akan ketergantungan, dan pokok-pokok pikiran, pokok-pokok program untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan menuju kemandirian, baik menyangkut Teologi, daya maupun dana.

Konsep kemandirian itu sendiri telah lama muncul dalam istilah yang berbeda, seperti Penatalayanan, Berdikari, Theologia In Loco, dan sebagainya. Akan tetapi baru mulai terungkap secara sistematis pada Sidang Raya IX DGI 1980 di Tomohon. Sidang Raya IX tersebut memperbahaui tekad bersama gereja-gereja Indonesia, yakni agar gereja-gereja meningkatkan upaya untuk "membaharui, membangun dan mempersatukan gereja dengan kemandirian gereja di bidang Teologi, daya dan dana, demi tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia. Pemunculan gagasan kemandirian tersebut adalah dalam rangka mewujudkan keesaan dengan saling menopang atau mendukung, serta sebagai ungkapan kedesawaan. Gereja-gereja di Indonesia menyadari akan keter-gantungannya pada badan zending atau gereja-gereja di luar negeri. Dengan jelas ditegaskan:

Pada permulaan gereja-gereja di Indonesia, yaitu dalam zaman zending, maka 'pangkalan' bagi teologi, daya dan dana berada di gereja-gereja luar negeri yang mengutus para missionaris ke Indonesia. Sekarang, 'pangkalan' itu harus dikembangkan di Indonesia sendiri secara kontekstual dengan tetap memelihara hubungan saling melayani dengan gereja-gereja di luar negeri sebagai ungkapan dari keuniversalan gereja.

Dengan memahami masalah tersebut di atas (masalah ketergantungan), maka gereja-gereja di Indonesia merasa bertanggung-jawab untuk menuju kemandirian. Pengertian kemandirian gereja menurutdokumen V adalah suatu upaya bersama terus-menerus memperkembangkan semua kemampuan (potensi) dan pemberian Tuhan secara bebas dan bertanggung-jawab bagi persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Melalui proses kebersamaan itu gereja menuju kedewasaan penuh dan tingkapertumbuhan sesuai dengan kepenuhan Kristus (Efesus 4:23). Di sisi lain dinyatakan bahwa gereja-gereja di Indonesia harus/mutlak mandiri mengingabahwa gereja-gereja berada di tengah-tengah dan adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang tengah mempersiapkan diri menuju tinggal landas, yang berarti menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta melaksanakan pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila.

Untuk mencapai cita-cita kemandirian, maka dalam dokumen V telah disusun kerangka dasar dalam menyusun program yang menyang kubeberapa faktor, yaitu :
  1. Pola-pola pelayanan, kepemimpinan, keteladanan dalam pembinaan kemandirian.
  2. Faktor-faktor sosial budaya yang mendorong maupun yang menghambat pertumbuhan kemandirian.
  3. Bentuk-bentuk persembahan maupun yang menghambat pertumbuhan kemandirian.
  4. Pemanfaatan bantuan luar negeri, baik tenaga, dana maupun pandangan teologi.
  5. Pendayagunaan milik-milik gereja secara tepat, agar dapat mendukung kemandirian.
  6. Dampak modernisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, sambil memperhatikan kondisi yang dihadapi dan menghitung potensi yang ada termasuk soal struktur, disusun program menyangkukemandiri an Teologi, daya dan dana. Program menuju kemandirian di bidang teologi menurut dokumen lima LDKG menyangkupenyediaan bahan-bahan dan bimbingan pembacaan Alkitab serta meningkatkan berteologi dengan kemampuan merumuskan jawaban atas persoalan-persoalan konkri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan bergereja. Dalam hal ini penting melibatkan warga jemaa dari semua lapisan. Program menuju kemandirian daya, menyangkupeningkatan kualitas, mutu para pelayan dan warga jemaat, demi menjalankan tugas kesaksian dan pelayanan gereja dalam konteksnya. Dalam rangka peningkatan kualitas (dewasa dalam iman, mental, pengetahuan dan ketrampilan), maka pendidikan merupakan hal yang penting. Sedangkan program menuju kemandirian dana menyangku penalayanan dan pengelolaan keuangan/harta benda, peningkatan kesadaran memberi (persembahan), dan peningkatan pendapatan masyaraka dengan program-program di bidang perkoperasian, pertanian, kewiraswastaan dan lain-lain.

Kalau kita berbicara tentang dokumen V dari LDKG (Menuju Kemandirian Teologi, daya dan dana), maka pada satu pihak dapat dikatakan bahwa gereja-gereja di Indonesia telah menghasilkan dokumen yang berharga yang lahir dari pergumulan yang dihadapi kontemporer serta dalam pergumulan bersama dibawah tekad membangun, membaharuai dan mempersatukan. Akan tetapi pada pihak lain, ada yang melihabahwa dokumen-dokumen tersebut belum terumus dengan baik dan serta belum mengakar dalam konteksnya. John Titaley dengan gigih menjelaskan bahwa LDKG yang telah dihasil kan oleh gereja-gereja di Indonesia telah salah metodologis dalam berteologi, yaitu melalaikan konteksnya, realitas nasional bangsa Indonesia. John Titaley meliha gereja-gereja hanya memberi perhatian pada realitas primodial, seperti denominasi, suku, daerah, golongan dan sebagainya, dan itulah suatu metodologis berteologi yang kurang tepat. Karenanya Titaley mengusulkan perlunya berteologi kontekstual dalam merumuskan LDKG dengan memperhatikan realitas Nasional, yakni bangsa Indonesia yang telah merdeka 17 Agustus 1945 dan berdasarkan Pancasila. Dengan demikian Titaley mengusulkan pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia (GKEI), serta melengkapi GKEI tersebutdengan PBIK, Tata Dasar dan PTPB, dan inilah upaya berteologi dalam konteks Indonesia. Pada pihak lain, gereja-gereja justru masih mempertahankan LDKG ini, karena melihabahwa dengan lima dokumen tersebut merupakan kemajuan dalam gerakan oikumenis di Indonesia. Dalam Sidang Raya 12, tahun 1994 di Jayapura, justru LDKG tersebutlah yang digumuli dan terus dikembangkan, sesuai dengan pergumulan yang dihadapi.

Itulah sepintas latar-belakang kelahiran, konsep dasar menyusun program serta pokok-pokok program menuju kemandirian teologi, daya dan dana dari dokumen V Lima Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia.
Persoalan lanjutan adalah sejauh mana gereja-gereja di Indonesia menggumuli permasalahan yang dialaminya sehingga tetap berada dalam ketergantungan, serta penyusunan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menuju kemandirian gereja, sesuai konteks dimana gereja itu berada. Kapan?

Ya'ahowu

Sumber: Sinode BNKP
»»  Lanjutkan Membaca...........

Sejarah BNKP Part II

Ono Niha

 
Dua tahun setelah Denninger berada di Nias, berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar, maka sejak tahun 1867 ia mengirimkan surat kepada Direktur RMG di Barmen, dan menjelaskan tentang Nias. Ia melaporkan apa yang telah ia lihat, ketahui dan dengar dari para Salawa, Balugu, dan tokoh-tokoh Adat di beberapa desa yang telah ia kunjungi.

Istilah
Denninger menuturkan bahwa leluhur Nias adalah “tuada Hia” atau niha yang dalam dialek “sumbawa” adalah nikha. Istilah manusia ditemukan dengan ungkapan manusy yang rumpun katanya nusy dan dapat dibandingkan dengan nicha. Mungkin ada hubungan kata-kata ini, ungkap Denninger.

Orang Nias menyebut dirinya sebagai “Ono Niha”, sehingga mereka sulit menerjemahkan Tuhan Yesus sebagai anak manusia yang dalam bahasa Nias “Ono Niha”. Sebab bila demikian diterjemahkan, maka itu berarti bahwa Yesus adalah orang Nias, Ono Niha.

Sebenarnya kata Nias tidak mempunyai arti. Itu mungkin diciptakan oleh melayu atau orang Eropa. Namun demikian, karena sudah umum dipakai, maka istilah ini tetap dapat dipertahankan, ungkapnya.

Asal Usul

Sebutan untuk Tanõ Niha diambil-alih dari “tuada Hia” atau “Tanõ Hia”. Sehingga Istilah Ono Niha, bisa mungkin menyatakan “Ono Hia” di “Tanõ Hia”, ungkap Denninger.

Darimanakah “ono niha” (Ono Hia di Tanõ Hia) tersebut ?

Ada yang pernah beranggapan bahwa bila berdasarkan wilayah, maka mungkin itu berasal dari Batak. Karena pada tahun ± 1100, pernah orang Aceh melancarkan serangan, termasuk ke daerah Batak. Sehingga mereka melarikan diri, dan bisa jadi ada yang lari ke Nias. Tapi Denninger berkomentar: “tetapi di antara orang Batak dan orang Nias kelihatan lain sekali, sehingga sulit melihat hubungannya.” Lebih lanjut Denninger mencatat bahwa waktu itu orang-orang Melayu sering menghina orang-orang Nias dengan mengatakan bahwa Ono Niha berasal dari Batak. Mereka mengarang cerita bahwa ada wanita hamil dari Batak, lalu diusir dengan dinaikkan dalam perahu dan itulah yang tiba di Nias. Dengan cerita ini, orang Melayu hendak menyatakan bahwa Ono Niha berasal dari Sumatera. Bagi Ono Niha, hal tersebut dianggap sebagai penghinaan besar. Barangsiapa yang menyatakan penghinaan ini, harus dihukum mati.

Asumsi lain menyatakan bahwa mungkin leluhur Nias berasal dari Birman. Sebab sehubungan dengan serangan yang dilancarkan oleh orang Aceh, diduga bahwa serangan tersebut sampai ke Birma. Sehingga orang Birma ada yang lari dan kemungkinan ada yang datang ke Pulau Nias. Dalam beberapa hal, terlihat memang kesamaan dan hubungan antara orang Nias dengan orang Birma. Sekaitan dengan ini ada keterangan pendukung berdasarkan penuturan para Salawa dan Bagulu kepada Denninger, yang memperkirakan bahwa berdasarkan silsilah, generasi Ono Niha ini sudah yang ke-10 setelah tuada Hia. Jadi sekitar 700 tahun yang lalu Hia datang. Sebelum itu mereka tinggal di negeri yang lain.

Denninger juga mencatat Mitos Nias yang menyatakan bahwa Tuada Hia dan Isterinya turun dari langit. Setelah melahirkan 1 anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan, lalu mereka kembali ke langit, tanpa meninggal di dunia ini. Menurut mitos, baru generasi yang ke-10 yang tinggal di dunia ini. Generasi tersebut pertama-tama tinggal di Gomo di atas Batu besar, dibawah pohon tinggi, yang berasal dari langit. Batu/pohon tersebut masih ada sampai sekarang, tetapi orang banyak tidak dapat melihat, kecuali Ere yang dapat melihatnya.

Ada mitos lain tentang pencipta bumi, yakni Lowalangi (God). Ia punya 4 putra yang turun ke bumi. Ini leluhur-leluruh. Anak Sulung adalah Luo Wemona. Seharusnya ia turun, tetapi tidak mau. Ia menikah dengan “si alawe Ina zareta”. Sebelum penciptaan mereka telah ditentukan sebagai orang tertinggi. Ia melahirkan anak bernama Tuada Hia. Inilah yang kemudian mau turun ke bumi bersama dengan isterinya.

Catatan tentang Geografi

Dalam perjalanan Denninger ke bagian Selatan, ia tiba di pelabuhan Balaekha dan Sumbawa. Di Balaekha, para Balugu menerima Orang Inggris dan tunduk kepada Inggris pada tahun 1820. Denninger mencatat bahwa Balaekha, selain untuk pelabuhan juga cocok untuk perdagangan.

Sumbawa berada di arah utara Balaekha. Sejak dahulu daerah tersebut merupakan pasar budak yang utama untuk seluruh pantai barat Sumatera. Dari sini kebanyakan orang Nias dibawa ke Padang dan karena itu juga ada dialek Sumbawa. Dialek inilah yang banyak mempengaruhi Denninger ketika belajar bahasa Nias di Padang. Daerah Sumbawa ini disegani, sehingga para pedagang Aceh, Melayu dan Cina sangat hati-hati bila berdagang ke sana.

Beberapa jarak ke bagian utara Sumbawa ada pelabuhan “Gunung Lembu”. Ini baik untuk perdagangan beras. Di sini ada banyak orang melayu. Orang Nias menjual beras, dan menukarkannya dengan emas (mutiara), pakaian, peralatan pertanian, tembakau yang dikenal dengan nama “Bago Jawa” (sebutan yang terkenal di Nias adalah bago jao), dan sebagainya.

Gunung Lembu tidak jauh tempatnya dari Gunung Umbaru, dan sedikit ke Utara kita bertemu dengan Gunung Gido Gedang, atau Gido Kete. Kemudian di bagian utaranya lagi kita temukan pelabuhan Larugo. Ini dipakai juga oleh Inggris hingga tahun 1824.

Gunungsitoli adalah pusat sipil dan militer Belanda, serta pengadilan. Di lembaga pengadilan ini ada beberapa Salawa Nias dan melayu di bawah pimpinan Kolonial.

Di Gunungsitoli sudah ada 3 Mesjid dan satu buah sekolah Islam. Ada penjara dan ada juga Dermaga untuk kapal besar. Gunungsitoli terdiri dari 5 kampung (4 kampung melayu dan 1 kampung Nias yang disebut dengan Onozitoli). Dari kata Onozitoli inilah istilah Gunungsitoli yang diganti oleh orang Eropah, karena sulit bagi mereka menyebut Onozitoli.

Di sebelah utara Pantai timur, orang Aceh aktif mencuri, membeli orang Nias sebagai Budak. Selain itu, mereka juga menekan para salawa di sekitar pantai tersebut untuk memberi upeti. Pelabuhan mereka adalah Gelora, Baluku, Damate, Fofola, Unge. Semua daerah ini mayoritas dihuni oleh “Melayu”, demikian dicatat oleh Denninger.

Selain itu, di Muzõi dan Lafau merupakan pasar budak terbesar bagi orang Aceh. Harga seorang budak pada waktu itu adalah F 100 perak (mata uang belanda).

Selanjutnya di bagian barat ada tempat bernama Afulu, lalu Hinako. Di Hinako ini adalah Maras (Maru - Bugis). Lalu ada Lagundri di bagian selatan belahan barat. Pernah di sini dijadikan Pos Jaga (benteng) oleh Belanda, tetapi pada tahun 1863 dihancurkan oleh orang Nias.

Pada akhirnya, Denninger menyatakan bahwa kemungkinan Pulau Nias terbentuk karena adanya Gunung berapi dari bawah laut, dan mengangkat karena Gempa. Hal itu terbukti dengan adanya pasir.

Dawa

Salah satu suku yang cukup lama berinteraksi dengan Ono Niha adalah suku Aceh atau orang Aceh, terutama dalam soal jual-beli budak. Denninger menyatakan bahwa Ono Niha kurang senang dengan orang-orang Sumatera, terutama orang-orang Aceh. Mereka sebut Dawa, yang mungkin berasal dari kata “dakwa”. Lebih dari itu, dengan ungkapan dawa, mereka menganggap orang-orang Aceh sebagai Unmenschen (Nir-manusia). Ono Niha sendiri menganggap diri sebagai “Ono Niha” (manusia). Hal ini dilatar-belakangi oleh praktek orang-orang Aceh sering memperlakukan “Ono niha” secara tidak manusiawi (hulo zi tenga niha). Tetapi anehnya, sebutan untuk orang-orang Cina justru “kehai” dan bukan Dawa. Ungkapan Dawa tidak hendak menyatakan bahwa hanya Ono Niha yang benar-benar manusia, melainkan pada sikap dan perbuatan orang-orang Aceh “yang dianggap tidak manusiawi” terhadap masyarakat setempat waktu itu. Selain itu, mereka menganggap dirinya Ono Niha, dalam arti Ono Hia, sedang orang-orang sumatera, termasuk Aceh, tidak tergolong dalam kelompok Ono Hia. Lebih lanjut Denninger mencatat bahwa sebagai tanda bahwa mereka Ono Niha (Ono Hia), maka mereka menerima Roh ayah yang meninggal.

Der cultus der Niasser

Apa tujuan kultus Nias? Untuk memulihkan hubungan asli mereka dengan dunia atas, melalui penyembahan. Penyembahan ini dilaksanakan melalui persembahan dan seruan doa. Maksudnya untuk mendapat kuasa dan kebijaksanaan bagi mereka untuk kehidupan di dunia ini.

Siapa yang “di atas” itu? Pertama-tama leluhur-leluhur purba yang dianggap/dijadikan kekal. Mereka berasal dari Lowalangi (God) dan anak sulungnya. Leluhur-leluhur itu (Lowalangi) tetap bersama-sama dengan mereka. Mereka (leluhur) menjaminkan kesejahteraan di dunia akhirat.

Ada pendapat menyatakan bahwa orang Nias tidak kenal hal-hal rohani dan hanya menyembah angin. Pendapat ini ditolak oleh Denninger , sebab menurutnya justru orang-orang Nias sangat memahami hal rohani dan hal jasmani. Kalau orang Nias bicara tentang yang rohani, maka mereka maksudkan kehidupan real di tingkat adikodrati dan itu tidak sama dengan “angin” sebab angina itu lebih di dunia ini. Semua ini sangat nampak dalam kultus, sebab kultus menyangkut dunia Roh-roh, yang memiliki kehidupan yang meluap, yang diberikan kepada anak-anak mereka di bumi kalau diminta.

Selain itu, orang Nias juga mengenal adanya angkatan Roh-roh jahat yang selalu mengancam kehidupan manusia. Namun, orang Nias memahami bahwa manusia dapat berlindung pada Roh-roh lain yang lebih berkuasa.

Dalam kegiatan kultus keagamaan orang Nias, mereka belum punya bait, hanya ada tempat kecil dekat kampong dengan nama “osali”. Ini ditahbiskan sebagai tempat Roh-roh dan Adu. Dipahami bahwa setiap Adu merupakan tempat kehadiran Roh. Setiap orang bisa berhubungan dengan Roh-roh, baik laki-laki maupun perempuan. Namun mereka memiliki Ere (‘imam”), baik ere laki-laki maupun ere perempuan. Mereka inilah yang bertugas sebagai pemimpin berbagai upacara dan berfungsi sebagai penengah.

Ere memiliki hubungan yang sangat istimewah dan dipengaruhi oleh Adu Gere. Jiwa si Ere adalah Bihara yang memberikan wahyu kepadanya. Para Ere juga berfungsi sebagai tabib. Dalam hal ini Ere laki-laki melayani kaum laki-laki dan Ere perempuan melayani kaum perempuan. Hanya ere yang tahu pengobatan khusus.

Dalam pemahaman ono niha, semua penyakit berasal dari Roh-roh jahat yang senantiasa mau menyerang manusia, untuk merebut jiwanya. Untuk itu, dalam pengobatan, Ere harus tahu Roh jahat mana yang telah menyerang si sakit. Bagaimana ia tahu hal ini ? Yaitu melalui Wahyu. Ere dapat melakukan diagnosa untuk menentukan jenis Roh Jahat yang menyerang manusia. Untuk penyembuhan, si Ere melalui mantra-mantra memanggil Roh yang baik, untuk penyembuhan si sakit. Selain mengucapkan mantra, si Ere juga memotong ayam sebagai persembahan kepada Roh yang baik tersebut. Ayam ini merupakan persembahan penebusan. Pada saat persembahan itulah jiwa si sakit dibebaskan dari kekuatan Roh jahat.

Mengenai persembahan ayam, orang Nias memahami bahwa yang terbaik adalah bila tidak potong ayam, melainkan dicekik. Ayam tersebut tidak dimakan, melainkan dibuang. Akan tetapi ayam yang dipotong, biasanya dimasak dan dimakan. Pada umumnya, ayam yang dipersembahkan adalah harus milik si sakit. Ayam milik si sakit itulah yang seolah-olah menggantikan si sakit.

Kalau Lowalangi atau kuasa adikodrati menerima persembahan, maka ada “tanda” yang datangnya dari atas. Hanya saja yang dapat melihat tanda tersebut hanyalah “Ere”, yang bentuknya seperti “löfölöfö zibongi”. Bila tanda itu dating, maka Ere menangkapnya dengan kain. Lalu ia meletakkan kain itu di dahi si sakit. Pada saat itu, si sakit kembali menjadi kuat dan terbebas dari pengaruh roh jahat yang telah menyerangnya.

ADU. Adu yang dibuat melambangkan Roh-roh yang baik. Biasanya Adu ada dalam jenis laki-laki dan ada dalam bentuk perempuan. Bila dipakai dalam upacara, maka Adu biasanya dihias.

Adu sangat penting dalam kehidupan orang Nias. Bila tidak ada Adu, maka dirasakan kehidupan gersang dan menakutkan. Itulah sebabnya, bila Ono Niha bekerja kepada orang Eropa, Cina atau Melayu dan mereka tidak diizinkan membawa Adu, maka di sini Ere datang mengunjungi mereka dan membuat Adu bagi mereka. Tidak dipentingkan indah atau tidak, yang penting ada “Adu” yang diyakini sebagai lambang kehadiran Roh-roh yang baik.

Mengenai Adu ini, hanya memiliki fungsi bila ada upacara. Ia merupakan lambang kehadiran Roh. Adu adalah lambang “Citra Asli” di dunia Adikodrati. Yang disembah bukanlah Adunya, melainkan Roh-Roh yang baik tersebut. Di luar upacara Adu tidak memiliki keistimewaan.
Lebih lanjut Denninger menuturkan cara Ere melakukan penyembuhan:
  • Ere memanggil Roh-roh yang baik, yaitu Roh-roh dari Banua atau Roh-roh dari garis keturunan (leluhur) si sakit. Dia memanggil mereka, sebab Ere punya hubungan dengan mereka. Lalu, ia memberkati si sakit. Tangan kanan Ere diletakkan di atas kepala si sakit, sedangkan tangan kirinya memegang tangan kanan si sakit. Ere mengucapkan mantra-mantra, bahkan kadang-kadang berteriak memanggil Roh-roh yang baik. Hal ini sangat mempengaruhi si sakit, sehingga ia dapat kerasukan. Suatu krisis terjadi. Namun, si sakit punya keyakinan yang mendalam. Mereka percaya pada Ere dapat membebaskan mereka dari pengaruh Roh-roh jahat tersebut. Sehingga orang sakit terus memohon berkat dari Ere.
  • Ere juga memberi berkat. Sering kali mengatakan bahwa Adu telah menolongnya. Si sakit pasti sembuh. Akan sejahtera, akan dapat penghormatan, akan menikmati masakan yang lezat, akan punya banyak babi dan Emas, dll.
  • Demikian melekatnya hati orang Nias pada Ere, bila ada yang sakit, dan menerima obat-obatan dari dokter Eropa, namun si sakit tersebut malah memuji Ere, seakan itu yang menyembuhkan mereka.
  • Cara lain adalah: Ere mempersembahkan “jiwa babi”. Ini terkait dengan pemeliharaan jiwa. Cara ini dilakukan, apabila cara di atas tidak mampan. Roh jahat masih menyerang. Atau Afokha, iblis utama yang tinggal di pohon-pohon atau di udara telah turut menghalangi kegiatan Ere. Biasanya melalui Bihara, Ere dapat Wahyu, tetapi Afokha dapat menggelapkan wahyu tersebut, atau wahyu itu direkayasa oleh Afokha, sehingga Ere tidak mengenal jenis Roh jahat yang menjadi sumber penyakit tersebut.
  • Untuk menghadapi hal tersebut di atas, maka dipahami ada Roh yang Baik yang duduk di puncak rumah, yang disebut ADU BA MBUMBU. Adu ini yang bisa melihat kejahatan Afokha. Sehingga Adu ini dapat diminta nasehat. Caranya ialah, Ere naik ke atas atap, membuat Adu dan membawa babi yang masih hidup dan di atap tersebut babi tadi disembelih. Setelah babi tersebut jantungnya ditusuk dengan pisau, maka dibiarkan babi itu meluncur ke bawah. Pada waktu meluncurnya babi tersebut dari atas ke bawah, maka lewat “tuwu-tuwu” Roh jahat tersebut keluar mau menangkap “jiwa babi” yang telah dipotong tadi. Setelah babi tersebut jatuh ke tanah, maka adu dibawa dekat babi tersebut, agar Roh Jahat tidak mendekat lagi.
  • Cara lain lagi adalah: Perang di kodrat Roh-roh. Ini dipakai bila gerombolan para roh jahat sedang menyerang, yang mengakibatkan Kolera, cacar, dan menyakit wabah lainnya. Untuk ini harus dilawan dengan perang. Orang-orang dewasa harus ikut perang. Apa maksudnya perang ? Dipandu oleh Ere yang telah menerima wahyu dari Roh yang baik, maka semua wanita diusingkan ke suatu tempat. Pintu dan jendela rumah harus terbuka. Lalu semua laki-laki dewasa tadi berteriak sambil memukul dengan ritme apa saja yang dapat dipukul. Ataupun dilaksanakan hiwo atau maena, atau tari-tarian yang dimulai dari belakang kampung menuju perkampungan. Ini dianggap mengancam Roh-roh jahat, sehingga keluar dari si sakit, dan menyebabkan si sakit sembuh. Sebenarnya, orang Nias memahami bahwa yang mengalahkan Roh-roh jahat bukanlah karena perang tersebut, melainkan pada Roh Baik yang telah bekerja mengusir roh jahat dalam kehidupan manusia.
Ya'ahowu

Sumber: Sinode BNKP
»»  Lanjutkan Membaca...........