follow me via twitter

Rabu, 23 Oktober 2013

Sejarah BNKP Part II

Ono Niha

 
Dua tahun setelah Denninger berada di Nias, berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar, maka sejak tahun 1867 ia mengirimkan surat kepada Direktur RMG di Barmen, dan menjelaskan tentang Nias. Ia melaporkan apa yang telah ia lihat, ketahui dan dengar dari para Salawa, Balugu, dan tokoh-tokoh Adat di beberapa desa yang telah ia kunjungi.

Istilah
Denninger menuturkan bahwa leluhur Nias adalah “tuada Hia” atau niha yang dalam dialek “sumbawa” adalah nikha. Istilah manusia ditemukan dengan ungkapan manusy yang rumpun katanya nusy dan dapat dibandingkan dengan nicha. Mungkin ada hubungan kata-kata ini, ungkap Denninger.

Orang Nias menyebut dirinya sebagai “Ono Niha”, sehingga mereka sulit menerjemahkan Tuhan Yesus sebagai anak manusia yang dalam bahasa Nias “Ono Niha”. Sebab bila demikian diterjemahkan, maka itu berarti bahwa Yesus adalah orang Nias, Ono Niha.

Sebenarnya kata Nias tidak mempunyai arti. Itu mungkin diciptakan oleh melayu atau orang Eropa. Namun demikian, karena sudah umum dipakai, maka istilah ini tetap dapat dipertahankan, ungkapnya.

Asal Usul

Sebutan untuk Tanõ Niha diambil-alih dari “tuada Hia” atau “Tanõ Hia”. Sehingga Istilah Ono Niha, bisa mungkin menyatakan “Ono Hia” di “Tanõ Hia”, ungkap Denninger.

Darimanakah “ono niha” (Ono Hia di Tanõ Hia) tersebut ?

Ada yang pernah beranggapan bahwa bila berdasarkan wilayah, maka mungkin itu berasal dari Batak. Karena pada tahun ± 1100, pernah orang Aceh melancarkan serangan, termasuk ke daerah Batak. Sehingga mereka melarikan diri, dan bisa jadi ada yang lari ke Nias. Tapi Denninger berkomentar: “tetapi di antara orang Batak dan orang Nias kelihatan lain sekali, sehingga sulit melihat hubungannya.” Lebih lanjut Denninger mencatat bahwa waktu itu orang-orang Melayu sering menghina orang-orang Nias dengan mengatakan bahwa Ono Niha berasal dari Batak. Mereka mengarang cerita bahwa ada wanita hamil dari Batak, lalu diusir dengan dinaikkan dalam perahu dan itulah yang tiba di Nias. Dengan cerita ini, orang Melayu hendak menyatakan bahwa Ono Niha berasal dari Sumatera. Bagi Ono Niha, hal tersebut dianggap sebagai penghinaan besar. Barangsiapa yang menyatakan penghinaan ini, harus dihukum mati.

Asumsi lain menyatakan bahwa mungkin leluhur Nias berasal dari Birman. Sebab sehubungan dengan serangan yang dilancarkan oleh orang Aceh, diduga bahwa serangan tersebut sampai ke Birma. Sehingga orang Birma ada yang lari dan kemungkinan ada yang datang ke Pulau Nias. Dalam beberapa hal, terlihat memang kesamaan dan hubungan antara orang Nias dengan orang Birma. Sekaitan dengan ini ada keterangan pendukung berdasarkan penuturan para Salawa dan Bagulu kepada Denninger, yang memperkirakan bahwa berdasarkan silsilah, generasi Ono Niha ini sudah yang ke-10 setelah tuada Hia. Jadi sekitar 700 tahun yang lalu Hia datang. Sebelum itu mereka tinggal di negeri yang lain.

Denninger juga mencatat Mitos Nias yang menyatakan bahwa Tuada Hia dan Isterinya turun dari langit. Setelah melahirkan 1 anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan, lalu mereka kembali ke langit, tanpa meninggal di dunia ini. Menurut mitos, baru generasi yang ke-10 yang tinggal di dunia ini. Generasi tersebut pertama-tama tinggal di Gomo di atas Batu besar, dibawah pohon tinggi, yang berasal dari langit. Batu/pohon tersebut masih ada sampai sekarang, tetapi orang banyak tidak dapat melihat, kecuali Ere yang dapat melihatnya.

Ada mitos lain tentang pencipta bumi, yakni Lowalangi (God). Ia punya 4 putra yang turun ke bumi. Ini leluhur-leluruh. Anak Sulung adalah Luo Wemona. Seharusnya ia turun, tetapi tidak mau. Ia menikah dengan “si alawe Ina zareta”. Sebelum penciptaan mereka telah ditentukan sebagai orang tertinggi. Ia melahirkan anak bernama Tuada Hia. Inilah yang kemudian mau turun ke bumi bersama dengan isterinya.

Catatan tentang Geografi

Dalam perjalanan Denninger ke bagian Selatan, ia tiba di pelabuhan Balaekha dan Sumbawa. Di Balaekha, para Balugu menerima Orang Inggris dan tunduk kepada Inggris pada tahun 1820. Denninger mencatat bahwa Balaekha, selain untuk pelabuhan juga cocok untuk perdagangan.

Sumbawa berada di arah utara Balaekha. Sejak dahulu daerah tersebut merupakan pasar budak yang utama untuk seluruh pantai barat Sumatera. Dari sini kebanyakan orang Nias dibawa ke Padang dan karena itu juga ada dialek Sumbawa. Dialek inilah yang banyak mempengaruhi Denninger ketika belajar bahasa Nias di Padang. Daerah Sumbawa ini disegani, sehingga para pedagang Aceh, Melayu dan Cina sangat hati-hati bila berdagang ke sana.

Beberapa jarak ke bagian utara Sumbawa ada pelabuhan “Gunung Lembu”. Ini baik untuk perdagangan beras. Di sini ada banyak orang melayu. Orang Nias menjual beras, dan menukarkannya dengan emas (mutiara), pakaian, peralatan pertanian, tembakau yang dikenal dengan nama “Bago Jawa” (sebutan yang terkenal di Nias adalah bago jao), dan sebagainya.

Gunung Lembu tidak jauh tempatnya dari Gunung Umbaru, dan sedikit ke Utara kita bertemu dengan Gunung Gido Gedang, atau Gido Kete. Kemudian di bagian utaranya lagi kita temukan pelabuhan Larugo. Ini dipakai juga oleh Inggris hingga tahun 1824.

Gunungsitoli adalah pusat sipil dan militer Belanda, serta pengadilan. Di lembaga pengadilan ini ada beberapa Salawa Nias dan melayu di bawah pimpinan Kolonial.

Di Gunungsitoli sudah ada 3 Mesjid dan satu buah sekolah Islam. Ada penjara dan ada juga Dermaga untuk kapal besar. Gunungsitoli terdiri dari 5 kampung (4 kampung melayu dan 1 kampung Nias yang disebut dengan Onozitoli). Dari kata Onozitoli inilah istilah Gunungsitoli yang diganti oleh orang Eropah, karena sulit bagi mereka menyebut Onozitoli.

Di sebelah utara Pantai timur, orang Aceh aktif mencuri, membeli orang Nias sebagai Budak. Selain itu, mereka juga menekan para salawa di sekitar pantai tersebut untuk memberi upeti. Pelabuhan mereka adalah Gelora, Baluku, Damate, Fofola, Unge. Semua daerah ini mayoritas dihuni oleh “Melayu”, demikian dicatat oleh Denninger.

Selain itu, di Muzõi dan Lafau merupakan pasar budak terbesar bagi orang Aceh. Harga seorang budak pada waktu itu adalah F 100 perak (mata uang belanda).

Selanjutnya di bagian barat ada tempat bernama Afulu, lalu Hinako. Di Hinako ini adalah Maras (Maru - Bugis). Lalu ada Lagundri di bagian selatan belahan barat. Pernah di sini dijadikan Pos Jaga (benteng) oleh Belanda, tetapi pada tahun 1863 dihancurkan oleh orang Nias.

Pada akhirnya, Denninger menyatakan bahwa kemungkinan Pulau Nias terbentuk karena adanya Gunung berapi dari bawah laut, dan mengangkat karena Gempa. Hal itu terbukti dengan adanya pasir.

Dawa

Salah satu suku yang cukup lama berinteraksi dengan Ono Niha adalah suku Aceh atau orang Aceh, terutama dalam soal jual-beli budak. Denninger menyatakan bahwa Ono Niha kurang senang dengan orang-orang Sumatera, terutama orang-orang Aceh. Mereka sebut Dawa, yang mungkin berasal dari kata “dakwa”. Lebih dari itu, dengan ungkapan dawa, mereka menganggap orang-orang Aceh sebagai Unmenschen (Nir-manusia). Ono Niha sendiri menganggap diri sebagai “Ono Niha” (manusia). Hal ini dilatar-belakangi oleh praktek orang-orang Aceh sering memperlakukan “Ono niha” secara tidak manusiawi (hulo zi tenga niha). Tetapi anehnya, sebutan untuk orang-orang Cina justru “kehai” dan bukan Dawa. Ungkapan Dawa tidak hendak menyatakan bahwa hanya Ono Niha yang benar-benar manusia, melainkan pada sikap dan perbuatan orang-orang Aceh “yang dianggap tidak manusiawi” terhadap masyarakat setempat waktu itu. Selain itu, mereka menganggap dirinya Ono Niha, dalam arti Ono Hia, sedang orang-orang sumatera, termasuk Aceh, tidak tergolong dalam kelompok Ono Hia. Lebih lanjut Denninger mencatat bahwa sebagai tanda bahwa mereka Ono Niha (Ono Hia), maka mereka menerima Roh ayah yang meninggal.

Der cultus der Niasser

Apa tujuan kultus Nias? Untuk memulihkan hubungan asli mereka dengan dunia atas, melalui penyembahan. Penyembahan ini dilaksanakan melalui persembahan dan seruan doa. Maksudnya untuk mendapat kuasa dan kebijaksanaan bagi mereka untuk kehidupan di dunia ini.

Siapa yang “di atas” itu? Pertama-tama leluhur-leluhur purba yang dianggap/dijadikan kekal. Mereka berasal dari Lowalangi (God) dan anak sulungnya. Leluhur-leluhur itu (Lowalangi) tetap bersama-sama dengan mereka. Mereka (leluhur) menjaminkan kesejahteraan di dunia akhirat.

Ada pendapat menyatakan bahwa orang Nias tidak kenal hal-hal rohani dan hanya menyembah angin. Pendapat ini ditolak oleh Denninger , sebab menurutnya justru orang-orang Nias sangat memahami hal rohani dan hal jasmani. Kalau orang Nias bicara tentang yang rohani, maka mereka maksudkan kehidupan real di tingkat adikodrati dan itu tidak sama dengan “angin” sebab angina itu lebih di dunia ini. Semua ini sangat nampak dalam kultus, sebab kultus menyangkut dunia Roh-roh, yang memiliki kehidupan yang meluap, yang diberikan kepada anak-anak mereka di bumi kalau diminta.

Selain itu, orang Nias juga mengenal adanya angkatan Roh-roh jahat yang selalu mengancam kehidupan manusia. Namun, orang Nias memahami bahwa manusia dapat berlindung pada Roh-roh lain yang lebih berkuasa.

Dalam kegiatan kultus keagamaan orang Nias, mereka belum punya bait, hanya ada tempat kecil dekat kampong dengan nama “osali”. Ini ditahbiskan sebagai tempat Roh-roh dan Adu. Dipahami bahwa setiap Adu merupakan tempat kehadiran Roh. Setiap orang bisa berhubungan dengan Roh-roh, baik laki-laki maupun perempuan. Namun mereka memiliki Ere (‘imam”), baik ere laki-laki maupun ere perempuan. Mereka inilah yang bertugas sebagai pemimpin berbagai upacara dan berfungsi sebagai penengah.

Ere memiliki hubungan yang sangat istimewah dan dipengaruhi oleh Adu Gere. Jiwa si Ere adalah Bihara yang memberikan wahyu kepadanya. Para Ere juga berfungsi sebagai tabib. Dalam hal ini Ere laki-laki melayani kaum laki-laki dan Ere perempuan melayani kaum perempuan. Hanya ere yang tahu pengobatan khusus.

Dalam pemahaman ono niha, semua penyakit berasal dari Roh-roh jahat yang senantiasa mau menyerang manusia, untuk merebut jiwanya. Untuk itu, dalam pengobatan, Ere harus tahu Roh jahat mana yang telah menyerang si sakit. Bagaimana ia tahu hal ini ? Yaitu melalui Wahyu. Ere dapat melakukan diagnosa untuk menentukan jenis Roh Jahat yang menyerang manusia. Untuk penyembuhan, si Ere melalui mantra-mantra memanggil Roh yang baik, untuk penyembuhan si sakit. Selain mengucapkan mantra, si Ere juga memotong ayam sebagai persembahan kepada Roh yang baik tersebut. Ayam ini merupakan persembahan penebusan. Pada saat persembahan itulah jiwa si sakit dibebaskan dari kekuatan Roh jahat.

Mengenai persembahan ayam, orang Nias memahami bahwa yang terbaik adalah bila tidak potong ayam, melainkan dicekik. Ayam tersebut tidak dimakan, melainkan dibuang. Akan tetapi ayam yang dipotong, biasanya dimasak dan dimakan. Pada umumnya, ayam yang dipersembahkan adalah harus milik si sakit. Ayam milik si sakit itulah yang seolah-olah menggantikan si sakit.

Kalau Lowalangi atau kuasa adikodrati menerima persembahan, maka ada “tanda” yang datangnya dari atas. Hanya saja yang dapat melihat tanda tersebut hanyalah “Ere”, yang bentuknya seperti “löfölöfö zibongi”. Bila tanda itu dating, maka Ere menangkapnya dengan kain. Lalu ia meletakkan kain itu di dahi si sakit. Pada saat itu, si sakit kembali menjadi kuat dan terbebas dari pengaruh roh jahat yang telah menyerangnya.

ADU. Adu yang dibuat melambangkan Roh-roh yang baik. Biasanya Adu ada dalam jenis laki-laki dan ada dalam bentuk perempuan. Bila dipakai dalam upacara, maka Adu biasanya dihias.

Adu sangat penting dalam kehidupan orang Nias. Bila tidak ada Adu, maka dirasakan kehidupan gersang dan menakutkan. Itulah sebabnya, bila Ono Niha bekerja kepada orang Eropa, Cina atau Melayu dan mereka tidak diizinkan membawa Adu, maka di sini Ere datang mengunjungi mereka dan membuat Adu bagi mereka. Tidak dipentingkan indah atau tidak, yang penting ada “Adu” yang diyakini sebagai lambang kehadiran Roh-roh yang baik.

Mengenai Adu ini, hanya memiliki fungsi bila ada upacara. Ia merupakan lambang kehadiran Roh. Adu adalah lambang “Citra Asli” di dunia Adikodrati. Yang disembah bukanlah Adunya, melainkan Roh-Roh yang baik tersebut. Di luar upacara Adu tidak memiliki keistimewaan.
Lebih lanjut Denninger menuturkan cara Ere melakukan penyembuhan:
  • Ere memanggil Roh-roh yang baik, yaitu Roh-roh dari Banua atau Roh-roh dari garis keturunan (leluhur) si sakit. Dia memanggil mereka, sebab Ere punya hubungan dengan mereka. Lalu, ia memberkati si sakit. Tangan kanan Ere diletakkan di atas kepala si sakit, sedangkan tangan kirinya memegang tangan kanan si sakit. Ere mengucapkan mantra-mantra, bahkan kadang-kadang berteriak memanggil Roh-roh yang baik. Hal ini sangat mempengaruhi si sakit, sehingga ia dapat kerasukan. Suatu krisis terjadi. Namun, si sakit punya keyakinan yang mendalam. Mereka percaya pada Ere dapat membebaskan mereka dari pengaruh Roh-roh jahat tersebut. Sehingga orang sakit terus memohon berkat dari Ere.
  • Ere juga memberi berkat. Sering kali mengatakan bahwa Adu telah menolongnya. Si sakit pasti sembuh. Akan sejahtera, akan dapat penghormatan, akan menikmati masakan yang lezat, akan punya banyak babi dan Emas, dll.
  • Demikian melekatnya hati orang Nias pada Ere, bila ada yang sakit, dan menerima obat-obatan dari dokter Eropa, namun si sakit tersebut malah memuji Ere, seakan itu yang menyembuhkan mereka.
  • Cara lain adalah: Ere mempersembahkan “jiwa babi”. Ini terkait dengan pemeliharaan jiwa. Cara ini dilakukan, apabila cara di atas tidak mampan. Roh jahat masih menyerang. Atau Afokha, iblis utama yang tinggal di pohon-pohon atau di udara telah turut menghalangi kegiatan Ere. Biasanya melalui Bihara, Ere dapat Wahyu, tetapi Afokha dapat menggelapkan wahyu tersebut, atau wahyu itu direkayasa oleh Afokha, sehingga Ere tidak mengenal jenis Roh jahat yang menjadi sumber penyakit tersebut.
  • Untuk menghadapi hal tersebut di atas, maka dipahami ada Roh yang Baik yang duduk di puncak rumah, yang disebut ADU BA MBUMBU. Adu ini yang bisa melihat kejahatan Afokha. Sehingga Adu ini dapat diminta nasehat. Caranya ialah, Ere naik ke atas atap, membuat Adu dan membawa babi yang masih hidup dan di atap tersebut babi tadi disembelih. Setelah babi tersebut jantungnya ditusuk dengan pisau, maka dibiarkan babi itu meluncur ke bawah. Pada waktu meluncurnya babi tersebut dari atas ke bawah, maka lewat “tuwu-tuwu” Roh jahat tersebut keluar mau menangkap “jiwa babi” yang telah dipotong tadi. Setelah babi tersebut jatuh ke tanah, maka adu dibawa dekat babi tersebut, agar Roh Jahat tidak mendekat lagi.
  • Cara lain lagi adalah: Perang di kodrat Roh-roh. Ini dipakai bila gerombolan para roh jahat sedang menyerang, yang mengakibatkan Kolera, cacar, dan menyakit wabah lainnya. Untuk ini harus dilawan dengan perang. Orang-orang dewasa harus ikut perang. Apa maksudnya perang ? Dipandu oleh Ere yang telah menerima wahyu dari Roh yang baik, maka semua wanita diusingkan ke suatu tempat. Pintu dan jendela rumah harus terbuka. Lalu semua laki-laki dewasa tadi berteriak sambil memukul dengan ritme apa saja yang dapat dipukul. Ataupun dilaksanakan hiwo atau maena, atau tari-tarian yang dimulai dari belakang kampung menuju perkampungan. Ini dianggap mengancam Roh-roh jahat, sehingga keluar dari si sakit, dan menyebabkan si sakit sembuh. Sebenarnya, orang Nias memahami bahwa yang mengalahkan Roh-roh jahat bukanlah karena perang tersebut, melainkan pada Roh Baik yang telah bekerja mengusir roh jahat dalam kehidupan manusia.
Ya'ahowu

Sumber: Sinode BNKP

1 komentar: