follow me via twitter

Sabtu, 16 Februari 2013

PENATAAN IBADAH DI BNKP


PENATAAN IBADAH DI BNKP 

Oleh: Pdt. Tuhoni Telaumbanua, M.Si, Ph.D 

1.     Pengantar 

Akhir-akhir ini ada banyak pertanyaan dan keluhan sehubungan dengan Agendre (tata ibadah/liturgi) di BNKP, yang disebabkan dengan munculnya berbagai model liturgi yang dianggap lebih gebiar dan menghebohkan. Ada jemaat yang merasa terganggu dengan kehadiran aliran lain dengan model ibadahnya yang berbeda dengan tradisi gereja BNKP; ada juga yang mencoba ikut-ikutan dengan model yang baru; tetapi tidak sedikit juga yang tetap bertahan dengan yang lama. Belakangan ini banyak orang mencoba membuat ibadah di jemaatnya agar ‘lebih hidup’ dengan mengganti liturgi yang ada dengan liturgi yang lebih populer atau trendy. Yang lainnya mengubah jenis nyanyian atau alat musik yang dipakai.


Cara tersebut memang bisa membuat ibadah lebih semarak, lebih ramai, lebih populer, namun belum tentu menjadi lebih hidup! Tentu setiap gereja ingin memiliki ibadah yang hidup dan menyegarkan. Tetapi sebenarnya sebuah ibadah baru dikatakan hidup jika melaluinya terjadi penyatuan dengan Allah (union with God), dan melalui komunikasi selama ibadah, jemaat menjadi “sehati sepikir” baik di antara mereka maupun dengan Allah. Jemaat menjadi sadar apa yang menjadi kehendak Allah bagi mereka. Apa hasilnya? Tuhan dimuliakan (glorification) dan orang percaya dikuduskan (sanctification). Jadi, ibadah yang hidup adalah ibadah yang melaluinya seseorang bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan perjumpaan itu mentransformasi hidupnya.

Memang benar Tuhan hadir dimana-mana, tidak hanya di gedung gereja saat ibadah berlangsung, tetapi ibadah bersama di gereja lebih dapat membawa umat merasakan kehadiran Allah, sebab pada saat itu kita benar-benar memfokuskan diri kepada Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan seperti selembar kertas yang tergeletak di sebuah lapangan parkir pada siang hari yang panas. Cahaya matahari bersinar merata di segala sudut, namun tidak dapat membakar kertas itu. Hanya jika ada orang membawa kaca pembesar lalu memfokuskan cahaya matahari ke atas kertas itu, kertas dapat terbakar. Begitu pula dalam ibadah. Saat jemaat sungguh mengarahkan hatinya kepada Tuhan, barulah mereka dapat merasakan kehadiran-Nya dan ditransformasi olehNya. Lebih dari itu, salah satu faktor penting dalam ibadah ialah persekutuan umat sebagai anggota tubuh Kristus. Ada banyak orang yang mengatakan bahwa tidak perlu ibadah di gereja, lebih baik ibadah di rumah melalui Televisi, dengan acara dan khotbah yang menarik. Pemikiran tersebut selain mengabaikan dimensi persekutuan, juga tidak ikut berpartisipasi dalam ibadah pada Tuhan. Apalagi, dalam ibadah bukan manusia yang menonton melainkan Allah dan manusia yang beraktifitas.

Pertanyaan lebih lanjut ialah bagaimana menata ibadah yang hidup dalam arti mewujudnya persekutuan yang indah dan mendalam dengan Tuhan dan sesama? Ada banyak faktor yang mempengaruhi “ibadah yang hidup”, baik dari pihak umat sendiri, tataan ibadahnya, pelayannya, tempat persekutuannya (gedung) dan sebagainya. Materi ini akan mencoba memberikan beberapa pokok pikiran, dengan lebih dahulu mengetengahkan secara singkat pemahaman tentang liturgi.

 2.     Apakah Liturgi itu?

Adakah hubungan antara ibadah dengan kehidupan sehari-hari?  Jawabnya dapat kita telusuri dari asal-muasal istilah liturgi. Menarik sekali, bahwa kata “liturgi’ berasal dari kata berbahasa Yunani: leitourgia. Asal katanya adalah laos (artinya rakyat) dan ergon (artinya pekerjaan/karya). Jadi, liturgi adalah pekerjaan publik atau pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat/jemaat secara bersama-sama. Dalam Perjanjian Baru, leitourgia diterjemahkan sebagai pelayanan (misal: 2 Kor 9:12 dan Fil 2:25).  Dalam Septuaginta (yaitu Perjanjian Lama yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani) kata leitourgia juga digunakan untuk menterjemahkan istilah Ibrani abodah (yang berarti ibadah).  Dalam pengertian yang sempit liturgi berarti ibadah, dalam pengertian yang luas liturgi berarti keseluruhan hidup orang Kristen di tengah masyarakat. Dengan demikian sangat jelas bahwa ibadah / liturgi tidak terbatas pada acara ceremonial, melainkan sangat berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari.  Ibadah yang tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari akan menjadi rutinitas yang kering, yang bahkan bisa mengarah kepada kemunafikan.  Sebaliknya, ibadah kita akan lebih hidup dan lebih bermakna bila terhubungkan pada kehidupan sehari-hari dalam segenap dimensi hidup manusia.  Bagaimana caranya? Kita bisa melakukannya dari dua arah.  Pertama, kita membawa pergumulan hidup kita sehari-hari ke dalam ibadah kita.  Ibadah adalah kesempatan terbaik untuk membawa seluruh pergumulan kita – dosa-dosa, ketakutan-ketakutan, kelemahan-kelemahan, dan rencana-rencana kita – di hadapan Tuhan.  Kedua, kita membawa apa yang kita terima di dalam ibadah – sabda Tuhan, motivasi, semangat, dan sukacita – ke dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, liturgi adalah kegiatan peribadahan dimana seluruh anggota jemaat harus terlibat secara aktif dalam pekerjaan bersama untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan. Dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa “liturgi” adalah “ibadah.” Setiap ibadah Kristen harus bersifat liturgis; artinya melibatkan setiap orang yang hadir didalamnya. Sekali lagi, ibadah dimana jemaat hanya menjadi penonton yang pasif bukanlah ibadah sesungguhnya. Oleh karena semua anggota jemaat harus terlibat aktif, perlu ditentukan kapan giliran mereka berpartisipasi dalam ibadah dan bagaimana bentuk partisipasinya (apakah menyanyi, berdoa, memberi persembahan, dll). Dari sini muncullah “tata ibadah”yang mengatur giliran partisipasi setiap orang dan Tata ibadah sering disebut liturgi dalam arti sempit.

Banyak orang memiliki konsep yang keliru tentang ibadah. Kita cenderung memandang ibadah seperti pertunjukan teater. Yang menjadi aktor adalah pendeta dan pelayan ibadah lainnya. Penontonnya adalah anggota jemaat yang hadir, sedangkan sutradaranya adalah Tuhan. Konsep ini keliru karena memandang jemaat hanya sebagai penonton! Soren Kierkegaard, seorang teolog Eropa abad ke-19, mengatakan bahwa dalam ibadah Kristen, aktornya adalah jemaat. Sutradaranya adalah para pelayan ibadah (pendeta, liturgos, pemusik), sedangkan penontonnya adalah Tuhan! Tata ibadah adalah skenario drama yang harus dimainkan oleh anggota jemaat sebagai para pemeran. Bagaimana agar hakekat dan makna ini sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan gereja? Perlu penataan ibadah/liturgi dengan baik.

 3.     Bagaimana Menata Liturgi yang baik?

Ada Empat faktor yang mempengaruhi hidup-tidaknya sebuah ibadah. (1) Faktor Pribadi; (2) Faktor Liturgi; (3) Faktor Sarana-Prasarana, dan (4) Faktor Pelayan. Jika keempat faktor ini bisa ditata dengan baik, terjadilah ibadah yang hidup. Sebaliknya, jika factor-faktor  di atas tidak tercipta dan tidak berkerjasama atau terjadi disintegrasi di antaranya, maka ibadah akan berjalan secara mekanis dan rutinitas saja.

3.1.Faktor Pribadi Warga

Kehadiran warga jemaat dalam ibadah (termasuk PA/PD) berhubungan dengan kesadaran dan kedewasaan iman warga. Tetapi ini juga berkaitan dengan: (1) kualitas dan kuantitas dari persekutuan, (2) ibadah, (3) pelayanan, pembinaan – pengajaran, pemberitaan/khotbah, serta (4) penggembalaan yang dilaksanakan. Tentu terlaksananya program tersebut berkaitan dengan keaktifan para pelayan, serta kualitas dan kuantitas para pelayan.

Setiap pribadi yang hadir dalam ibadah sangat menentukan tercapai atau tidaknya ibadah yang hidup. Sehebat apapun disain sebuah ibadah, serta kecanggihan sarana-prasarana, tetapi jika anggota jemaatnya tidak punya hati yang sungguh-sungguh ingin beribadah, tidak dapat menciptakan ibadah yang hidup.

Mari kita melihat hambatan-hambatan apa saja yang dapat menghalangi anggota jemaat beribadah bisa berpartisi secara penuh dalam ibadah.

1)      Adanya Masalah pribadi. Pergumulan hidup, kesehatan yang terganggu, rasa bersalah, krisis iman, semuanya dapat membuat seseorang tidak dapat berkonsentrasi dalam ibadah dan berpartisipasi sepenuhnya. Begitu pula jika seseorang datang beribadah dengan motivasi yang keliru (misalnya, untuk mencari jodoh, bertemu sahabat), maka hatinya menjadi tidak dapat sungguh-sungguh beribadah.

2)      Konsep yang keliru. Banyak orang datang ke gereja dengan pola pikir yang konsumtif. “Saya harus mendapat sesuatu” dalam ibadah, bukannya “saya harus menyumbangkan sesuatu.” Mereka menempatkan diri sebagai penonton, bukan sebagai pemain yang turut rnenentukan hidup-tidaknya ibadah.

3)      Hatinya belum diterangi, Ibadah Kristen hanya bisa bermakna bagi mereka yang sudah diterangi hatinya oleh Roh Kudus (illumination of the heart). Orang hanya bisa mengalami perjumpaan dengan Allah jika hatinya telah”diterangi” (2 Kor 13:14-16), dalam artian ia telah memiliki iman kepada Kristus (Kis 26:18, Rom 8:5, Why 21:5, Yoh 9:39). Jika anggota jemaat belum lahir baru, sulit baginya untuk dapat menikmati ibadah. Baginya, ritus-ritus ibadah hanyalah ritual kosong yang membosankan.

4)              Tidak memahami tata ibadahnya. Jemaat perlu memahami apa yang terjadi di dalam ibadah. Mengapa kita beribadah seperti sekarang ini? Bagaimana melakukannya dengan benar? Disini diperlukan penerangan pikiran (illumination of the mind). Mereka memerlukan pengetahuan tentang liturgi.
5)               
Untuk membantu warga jemaat dalam mengatasi hambatan-hambatan ini, maka gereja perlu melakukan pelayanan yang baik, misalnya:

1)      Menyambut Jemaat dengan sukacita dan persaudaraan. Penyambut umat atau penerima tamu merupakan unsur terpenting dalam menciptakan suasana hati umat. Umat yang datang dari rumah dengan hati gelisah, kesal atau sedih bisa menjadi tersenyum, tenang dan damai ketika mendapat sambutan hangat di depan pintu masuk gereja. Ia akan masuk dan mengikuti ibadah dengan senang dan suka cita. Sebaliknya, umat yang datang dari rumah dengan suka cita bisa menjadi kecewa, kesal bahkan marah karena disambut dengan dingin. Ia akan masuk dan mengikuti ibadah dengan marah dan tidak tenang, setiap unsur ibadah dikomentari secara negatif. Untuk itu, penyambut umat adalah orang yang ramah, suka bertegur sapa dan tidak harus mengenal semua orang. Penyambut umat bukan hanya memberikan tata ibadah atau warta gereja tetapi memberikan salam sejahtera, senyuman, dan tatapan penyambutan persekutuan.

2)      Menciptakan suasana gembira sebelum ibadah dimulai melalui nyanyian.

3)      Memberikan warga jemaat waktu untuk hening. Jika jemaat hadir dengan pikiran yang kusut atau hati yang jengkel, mereka perlu menenangkan diri lebih dulu agar dapat memasuki suasana ibadah. Kita dapat menolong dengan memberikan mereka kesempatan berdiam diri di hadapan Tuhan. Kesadaran dan kepekaan akan Tuhan bisa muncul di tengah keheningan. Suasana hening bisa kita sediakan sebelum ibadah dimulai, jika perlu diiringi musik lembut yang meneduhkan hati. Pada saat pelaksanaan Votum, kita juga dapat mengajak jemaat untuk mengarahkan hati, pikiran dan segenap hidup dalam menghadap Tuhan. Kesempatan lain bagi jemaat menghilangkan pikiran kusut dan hati jengkel atau perasaan tidak enak.

4)      Memberikan pendidikan/formasi liturgi pada jemaat. Untuk bisa beribadah dengan baik, jemaat harus familiar dan menguasai liturginya (predictable). Jika tidak, mereka akan merasa menjadi orang asing (outsider) dan tidak bisa menikmati ibadah. Menguasai liturgi sama seperti belajar sepeda, pertama-tama terasa kaku, namun pengulangan berkali-kali membuat kita makin mahir. Dengan mengulang ritus-ritus dari minggu ke minggu, liturgi akan menyatu dengan jemaat dan menjadi bagian dari gaya ibadah mereka. Oleh sebab itu, kepada anggota jemaat yang baru, perlu kita informasikan tata ibadah yang dipakai, agar mereka bisa mempelajarinya. Arti dan makna unsur liturgi dalam Tata ibadah hendaklah dimengerti oleh warga jemaat. Ingat bahwa ibadah bukanlah tontonan film di TV yang harus terus menerus diganti supaya orang tidak bosan. lbadah adalah sebuah ritual untuk menghadap Tuhan yang harus menyatu dengan jemaat.

3.2.Faktor Liturgi

  • Liturgi harus disusun sedemikian rupa sehingga berjalan dengan baik, memiliki makna dalam persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, setiap unsur dalam liturgy haruslah memiliki makna teologis. Tidak boleh menurut selera saja.
  • Selain itu, semua unsur liturgi hendaknya saling terpadu dan bersinergi, termasuk pemilihan lagu, nats, maupun doa-doa yang dinaikkan, semuanya harus berfokus pada tema ibadah atau menurut Tahun Gerejani.
  • Dapat menjadi hambatan bagi yang beribadah, apabila  Liturgi tidak dapat mengekspresikan dengan tepat apa yang menjadi pergumulan jemaat, sehingga jemaat tidak merasa terlibat didalamnya.
  • Rumusan-rumusan kata/kalimat Liturgi hendaknya dapat menyentuh pikiran dan hati warga jemaat, dan mempertimbangkan budaya setempat.

Oleh karena itu, gereja hendaknya “menyusun liturginya” dengan baik dengan melibatkan tenaga dari berbagai keahlian, baik bidang teologi, maupun bidang lain, seperti bahasa dan sastra serta social-budaya.

Dalam penyusunan liturgi dimaksud, penting dipertimbangkan soal keterlibatan jemaat, seperti system responsorial dalam unsur-unsur liturgi, termasuk dalam membaca Alkitab secara responsoria. Keterlibatan jemaat dapat juga dalam bentuk paduan suara, vocal grup atau menjadi pemimpin/pemandu nyanyian jemaat. Demikian juga factor gerakan tubuh dalam liturgi penting dipertimbangkan dan ditata, misalnya waktu berdiri, duduk atau aktifitas dalam liturgi sakramen atau upacara lainnya.

3.3.Faktor Sarana-prasarana.

Gedung Gereja tidaklah sama dengan aula. Penataan interior gereja memiliki prinsip-prinsip teologi, yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruangan, antara lain:

1)      Jemaat adalah jemaat yang bersekutu dan beribadah. Oleh karenanya ruangan sebagai tempat/ruangan jemaat harus ada dan ditata sehingga tercipta persekutuan indah dengan sesama anggota tubuh Kristus, dan membeda-bedakan tempat duduk karena status, etnis, ras, bahasa, Negara, dll …. sehingga umat dapat beribadah, memuliakan Allah dengan penuh hikmat.

2)      Dalam ibadah, Firman diberitakan. Bagi Gereja Lutheran dan Calvinis, ini adalah pusat ibadah. Oleh karenanya, mimbar adalah tempat menyaksikan atau memproklamirkan Kabar Baik. Sehingga ia harus mendapat tempat utama dan strategis. Bagi Lutheran, umumnya ia ada di depan (kiri atau Kanan), tetapi kadang tempatkan di tengah, lebih tinggi dengan ketentuan di depannya harus ada meja Altar besar (tempat Alkitab, Lilin dan alat perjamuan di tempatkan). Sedangkan pada gereja Calvinis, umumnya ditempatkan di tengah. Kadang ada yang memberi meja kecil di depannya, tetapi umumnya tidak.

3)      Dalam ibadah, Perjamuan Kudus dilayankan sebagai penyataan kasih Allah, dan sebagai simbol dari gereja yang menata persekutuan dalam Kristus Yesus. Oleh karenanya, meja Altar merupakan hal penting yang harus ada dalam ibadah. Bagi Lutheran, kalau pusat liturgi adalah Firman, maka Perjamuan Kudus adalah puncak. Sehingga meja Altar ditempatkan di tengah pada ruangan altar. Pada Calvinis, Firman adalah pusat dan puncak, walaupun penting Perjamuan dan Baptisan. Sehingga kadang Mimbar yang utama dan kadang tidak terlalu penting meja Altar. Kadang ada yang menempatkan Meja Altar di depan Mimbar, kadang ada yang menempatkan di sebagai kanan, sedang kirinya adalah tempat bejana baptisan.

4)      Dalam ibadah, Baptisan dilaksanakan. Ini merupakan unsur penting selain pemberitaan Firman. Bejana Baptisan merupakan simbol gereja yang membaptis dalam lingkaran liturgis gereja. Oleh karerena, bejana harus tampak dalam tata ruang gereja. Bagi gereja Lutheran, sering ditempatkan disebelah kanan meja Altar. Sedangkan bagi Calvinis ditempatkan disebelah kanan MIMBAR.

5)      Dalam ibadah, jemaat menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dengan harta milik. Meja tempat persembahan melambangkan gereja yang mengucap syukur kepada Tuhan. Oleh karenanya, ia ditempatkan di depan jemaat.

6)      Organ/pianis/prokantor sesuai fungsinya dalam liturgis, yakni pengiring dan pemandu pujian jemaat, maka posisinya harus berada di depan jemaat. Demikian juga dengan Paduan Suara, hendaknya mendapat tempat khusus. Selain berfungsi sebagai pemuja/pemuji, juga  sbg pemandu nyanyian jemaat, sehingga ia harus mendapat tempat juga di depan jemaat.

Selain prinsip di atas, perlu juga dipersiapkan hal-hal teknis yang dapat mendukung pelaksanaan ibadah. Akuistik ruang ibadah, pengaturan suara (sound system), maupun tata ruang bisa mempengaruhi suasana ibadah. Oleh sebab itu, perhatikan beberapa saran berikut ini.

Ciptakanlah “Suasana Gereja yang menyejukkan.” Ketahuilah bahwa ruang ibadah bagaikan “jendela sorga. “Ia adalah sanctuary: tempat berteduh bagi jiwa yang penat. Oleh sebab itu hindarilah ketidak-teraturan tempat duduk, kotoran, kabel-kabel yang berserakan, dan lain sebagainya. Tata cahaya, rangkaian bunga, tanaman, lilin, kaca patri berwarna, bendera dengan warna liturgis, suara lonceng, semuanya dapat menciptakan suasana religius yang menolong orang menyadari kehadiran Tuhan. Simbol-simbol dalam ruangan ibadah sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana ibadah. Simbol bukanlah hal yang dikatakan tetapi setiap umat dapat mengatakannya sendiri. Sehingga upayakan simbol yang mudah untuk dimengerti dan dikatakan oleh umat sendiri. Pengeras suara menjadi bagian yang penting dalam ibadah, khususnya bagi gereja yang memiliki ruang ibadah luas. Sehingga, umat tidak akan bermasalah untuk mendengar ketika ia duduk di bagian manapun dalam ruangan tersebut. Suara yang tidak terdengar dengan baik, akan membuat umat tidak mengikuti ibadah dengan baik. Dekorlah ruang ibadah sesuai dengan tema atau suasana yang ingin diciptakan dalam ibadah dan dengan memperhatikan warna liturgi menurut tahun gerejani.

Persiapkan segala peralatan sebelum ibadah. Saat ini banyak gereja mengandalkan alat elektronik (microphone, LCD proyektor, alat musik elektronik) dalam ibadah. Ini disebut dengan Hightech Worship(Ibadah yang menggunakan tegnologi tinggi). Kelemahan high-tech worship adalah ketergantungannya pada aliran listrik dan alat-alat elektronik. Jika tidak bekerja dengan baik, kebaktian menjadi kacau. Oleh sebab itu, gereja dengan high-tech worship harus benar-benar mempersiapkan peralatannya sebelum ibadah dimulai.

3.4.Faktor Pelayan 

Seindah dan seteratur-aturnya gedung gereja, dan dihadiri oleh banyak warga gereja, dan adanya tata ibadah yang menarik, tetapi kalau para pelayannya tidak siap dan tidak terampil, maka ibadah yang baik dan hidup juga sulit diperoleh. Para petugas ibadah (Pengkhotbah, Liturgos, Pemusik, Paduan Suara, dll) sangat mempengaruhi tercipta atau tidaknya ibadah yang hidup.

  • Pemusik yang keliru memainkan tempo atau gaya lagu dapat menghambat jemaat bernyanyi dengan sepenuh hati.
  • Liturgos yang memandu rangkaian acara, dan membaca Alkitab dengan kurang baik (vocal, cara membaca, nada suara, dll), maka dapat membuat ibadah tidak mengalir lancar dan jemaat merasa bosan.
  • Kolektor yang tidak dipersiapkan atau tidak melayani dengan ramah, dapat membuat jemaat kurang bersukacita dalam memberi.
  • Paduan Suara yang menyanyikan lagu yang tidak sesuai dengan tema ibadah atau tahun gerejani dapat mengacaukan fokus ibadah.
  • Pengkhotbah yang tidak siap, bisa mengacaukan ibadah dan membuat jemaat bosan, tertidur, dan untuk minggu-minggu berikut kurang tertarik datang beribadah.

Disini diperlukan kerjasama yang baik antar pelayan ibadah, agar segala unsur yang terlibat dapat berpadu menjadi kesatuan yang sinergis. Oleh karena itu, amatlah penting persiapan dalam memimpin ibadah, baik liturgos, organis, kolektor, penyambut tamu, dan juga pengkhotbah. Persiapan kemampuan dan ketrampilan harus juga didasarkan pada persiapan hati atau spiritual. Pelayan ibadah haruslah seorang pelayan yang telah terpanggil dan hidup dalam Kristus serta berbuah dalam iman.

 4.     Apa yang perlu diketahui dalam menata ibadah di BNKP?

Ada beberapa hal yang penting dalam menata persekutuan ibadah di BNKP, yakni:

v  Memahami arti dan makna unsur-unsur Liturgi (Artikel lain)
v  Memahami arti dan makna tahun gerejawi (Artikel lain)
v  Memahami model penataan interior dan ekterior gereja (Artikel lain)
v  Memahami model dan teknik nyanyian jemaat dan peranan musik gerejawi (Artikel lain)
v  Memahami arti dan makna kain liturgi, dan sebagainya (Artikel lain)

Berhubung karena keterbatasan waktu, maka saya hanya menguraikan dua pokok saja dalam makalah ini, yakni ARTI DAN MAKNA UNSUR-UNSUR LITURGI BNKP dan PADUAN SUARA (Lihat Lampiran 1 dan 2).

 5.   Penutup

Demikianlah catatan pengantar ini sebagai bahan diskusi dalam pembinaan pelayan, dan diharapkan dapat diperdalam melalui diskusi.

TUHAN MEMBERKATI
Ya’ahowu!!!

»»  Lanjutkan Membaca...........

PEGAWAI NEGERI ADALAH EBED YAHWE?

PEGAWAI NEGERI ADALAH EBED YAHWE ?

(Oleh Pdt. Tuhoni Telaumbanua, M.Si, Ph.D[1])

 1.    Catatan Pengantar:

Saya diminta untuk mendampingi pembicara utama pada sesi ini (Pdt. Otoli Zebua) yang membahas topic: “Melayani bukan dilayani”. Ketika mempersiapkan tulisan ini saya sedikit ragu karena dua hal: (1) Belum mengetahui bidang dan dimensi apa yang hendak dikaji oleh pembicara utama; dan (2) takut terjebak dalam “khotbah”, padahal sesi ini adalah “seminar”. Namun demikian, sebagai penghargaan kepada panitia dan penghormatan kepada peserta seminar, saya memberanikan diri menuliskan makalah ini.

Dalam makalah ini, tema sesi ini yang cenderung bersifat rumusan teologis-dogmatis -  justru saya tidak mulai pada pembahasan teologis, melainkan melakukan pendekatan praxis, bertolak dari realita, dan pada akhirnya melakukan refleksi dari sudut pandang Iman Kristen
.
2.    Sekolah Untuk Menjadi Pegawai Negeri

Para misionaris RMG yang pertama membuka sekolah di Nias[2], dengan tujuan utama agar melalui pendidikan “Berita Injil” semakin tersebar-luaskan. Bagi Orang Nias sendiri datang ke sekolah merupakan hal yang “aneh”. Pada awalnya, setiap mereka diundang oleh misionaris untuk belajar, maka mereka meminta “upah” dari misionaris, baik berupa uang maupun makanan atau pakaian. Tetapi secara bertahap orang Nias menyadari bahwa dengan belajar, banyak yang diketahui dan dapat membaca sendiri Alkitab dan buku mata pelajaran lainnya, baik menyangkut ceritera Alkitab, maupun pengetahuan umum.[3]

Perobahan pola pandang tentang sekolah di Nias terjadi ketika pemilihan para penatua di dalam gereja, yang lebih diutamakan adalah yang sudah sekolah dan dapat membaca dan menulis. Terlebih-lebih ketika para misionaris mulai membuka Seminari yang membina para calon Guru, dimana “Guru” yang bekerja sebagai pengajar di sekolah dan Pembina/pelayan di jemaat – dianggap memiliki “status” (bosi) yang baru yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Mereka dianggap sebagai sumber pengetahuan, dan dipandang terhormat karena “penghargaan/honor” mereka datang dari para misionaris. Pakaian merekapun tidak lagi dengan “saombö”, tetapi pakaian yang diberikan oleh para misionaris. Perobahan social terjadi dalam bidang stratifikasi sosial. Bila sebelumnya, “bosi” yang tinggi (pemimpinan, pengajar) dicapai dengan melakukan serangkaian adat-istiadat dengan urutan pesta yang membutuhkan dana yang besar —– sekarang melalui sekolah, yang miskinpun (dari kalangan “kaum kebanyakan”) kalau pintar dan mau sekolah dapat menjadi GURU, dan dengan demikian terjadi perobahan status social.  Sejak itu, peningkatan status social seseorang tidak hanya diperoleh melalui tahapan adat, tetapi juga melalui pendidikan (menjadi SNK, Guru; Sinenge; atau Pendeta).

Pada Perang Dunia II, terjadi pemisahan antara petugas gereja dengan pemerintah. Satua Niha Keriso, Sinenge dan Pendeta menjadi personil pelayan Gereja, sedangkan “Guru” menjadi pekerja khusus di sekolah yang dikelola bukan lagi oleh misionaris, tetapi oleh pemerintah colonial (Belanda dan kemudian Jepang). Setelah Indonesia merdeka, tenaga guru diangkat langsung menjadi pegawai negeri yang diberi gaji oleh pemerintah Republik Indonesia. Status pegawai negeri mendapat tempat di tengah masyarakat.

Dewasa ini, walaupun masih ada peran ‘tua-tua adat”, khusus pada acara adat-istiadat selingkaran hidup, namun tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjadi perobahan status, peranan dan bentuk dari kebudayaan Ono Niha. Nilai lakhömi masih hidup, tetapi wahana memperoleh LAKHÖMI tersebut tidak lagi di dalam adat-istiadat (sosial), melainkan dalam bidang POLITIK (pengurus partai politik, PNS, TNI/Polri, Hakim/jaksa, legislative, NGO/Ornop, dll), EKONOMI (pengusaha) dan RELIGI (pelayan di gereja atau di agama lain). Salah satu yang terbanyak jumlahnya adalah Pegawai Negeri Sipil. Ini menjadi tujuan, apalagi karena wadah Industri untuk berkarya dan berkreatifitas tak ada di Nias. Sehingga tersosialisasilah dalam kehidupan bahwa tujuan sekolah/pendidikan adalah untuk menjadi Pegawai Negeri; dan kalau tidak ada jalan ke sana, masuk jalur “pelayan”, dan baru yang lain-lain. Indikasi untuk ini dapat dilihat pada pilihan sekolah, baik di tingkat SLTA (lebih memilih SMK dengan alasan antara lain: “ada lowongan pada penerimaan CPNS”); IKIP (karena lowongan guru masih tersedia), dan barulah program studi lainnya.

3.    Melamar Menjadi Pegawai!

Di kepulauan Nias sekarang ini ada banyak para “Sarjana pencari kerja”. Mereka menunggu pengumuman penerimaan calon pegawai negeri. Demam “menjadi pegawai” tumbuh bagaikan jamur di seantero pulau ini. Hal tersebut merupakan implementasi dari pemahaman bahwa PNS adalah salah satu yang memberi status bagi seseorang dalam masyarakat, serta sebagai sumber penghasilan yang menjanjikan hingga hari tua; maka di kepulauan Nias, masyarakat berlomba-lomba mau menjadi pegawai negeri. Kondisi ini dipicu oleh belum adanya lowongan kerja lain (selain pertanian), misalnya industri yang dapat menampung tenaga kerja.
Permasalahannya ialah demi mencapai tujuan menjadi PNS, ditempuh berbagai cara mulai dari “doa” sampai pada pencarian “deking” dan memberi “dana pelancar”, walau harus menjual tanah atau kebun warisan orang tua. Siapa yang menerima “suap” ini adalah mereka yang berada di “pintu” penerimaan pegawai dan sasarannya semua adalah kepala daerah. Bila melacak di internet berita tentang penerima pegawai negeri sipil, ternyata kasus suap, korupsi dan penipuan terdapat di seantero negeri ini.  Beberapa tahun yang lain, kasus penerimaan CPNS di kepulauan ini tampil ke permukaan bahkan sampai di meja hijau, karena orang-orang yang merasa mampu dan menang – merasa dirugikan dalam pengumuman hasil CPNS.
Apabila menjadi pegawai di negeri ini, termasuk di pulau ini diawali dengan “dana pelancar”, maka akan berlanjut dengan usaha mencari pengganti kerugian, sehingga berbagai cara dilakukan, walaupun bertentangan dengan hati nurani dan ajaran moral serta iman kepercayaannya. Inilah yang kemudian – akar diabaikannya/dilanggar janji/sumpah pegawai negeri dan ketidak-taatan pada “etos kerja PNS”.

4.    Pegawai Negeri dalam Lingkup Birokrasi

Para CPNS atau PNS yang memulai pekerjaan dengan latar-belakang “hutang” atau “warisan telah terjual” ketika melamar —- memang akan memulai pekerjaannya di unit ia ditempatkan – dengan nyanyian: “Padamu negeri kami mengabdi…..” Tetapi di balik nyanyian itu tersimpan rapih tekad “mencari pengganti yang hilang”. Sehingga setelah ada pengalaman dan menemukan “kesempatan dalam kesempitan”, maka muncul niat untuk berbuat yang melanggar janji, disiplin dan etika Pegawai Negeri sipil.

Kesempatan dalam kesempitan muncul apabila dalam pemilukada mencuat yang disebut dengan “money politics” ataupun “cost politics”  dimana pasangan yang menang menjadi Kepala Daerah telah mengeluarkan dana yang banyak — maka upaya mencari pengganti juga muncul. Akibatnya, dari unsur pimpinan muncul perintah tak tertulis kepada “bawahan” untuk “mengamankan kebijakan”. Sehingga terdengarlah istilah “dana siluman”, “dana taktis”, “pago-pago”, “biaya administrasi”, dll —- dan yang mengamankan kebijakan ini adalah para eselon dan staf bawahan (yang nota bene tadinya telah mengeluarkan uang ketika melamar jadi pegawai).

Rantai KKN tidak hanya berada di arah kabupaten/kota, sering terdengar ungkapan: “perlu colokan untuk menjatuhkan buah di atas pohon”; maksudnya agar dana pembangunan yang ada level propinsi dan pusat, dibutuhkan “colokkan” berupa “pelancar”. Dari mana dana untuk colokkan tersebut? Apakah dari uang kantong kepala daerah di kabupaten/kota? Ya….diambil dari dana-dana siluman tadi. Celakanya, kejahatan berbuahkan kejahatan – tidak hanya dalam proses menjatuhkan bantuan dan proses pelaksanaan program; tetapi juga dalam membuat pertanggung-jawaban. Berbagai cara ditempuh, berbagai kebohongan dilakukan untuk yang namanya SPJ, walaupun bukti-bukti dari SPJ tersebut sering ASPAL (asli tetapi palsu).
Rantai KKN tidak hanya dalam hubungan ke level atas atau yang sifatnya birokrasi vertical, tetapi juga dengan pihak legislative dan berbagai elemen lainnya yang sifatnya horizontal. Masalahnya ialah pada pemilu legislative dengan system yang ada sekarang, gampang terjadi yang disebut dengan istilah “1 dollar 1 vote” – atau istilah yang sering terdengar di Nias: “Tuko Be”. Artinya para calon legislative berlomba untuk memperoleh suara rakyat melalui pemberian, entah itu atribut kampanye (baru kaos, topi, rompi, dll) ataupun dengan uang dengan nama “pengganti minyak, pengganti pendapatan sehari karena harus meninggalkan pekerjaan untuk memberi suara di TPS”. Kondisi ini semakin terkondusifkan dengan uangkan yang muncul dari masyarakat: “khoma zima’okho, akha khomi zi 5 fakhe”. Sehingga caleg yang berhasil duduk di kursi terhormat — atas nama wakil rakyat — memikirkan bagaimana cara mengembalikan dana yang sudah habis. Maka terdengarlah ungkapan: “pago-pago” atau para wakil rakyat menjadi “pemborong tersembunyi” dengan tekanan terhadap pemerintah agar diberi “jatah” …… dan semua ini adalah untuk mencari pengganti kerugian, dan lebih dari itu untuk memperkaya diri dan menghimpun dana untuk pemilu berikutnya. Sasaran empuk dari para wakil rakyat ini adalah mitra kerjanya pihak eksekutif.

Kondisi tersebut di atas akan membentuk pola kerja dan pola pikir para pegawai yang bekerja di birokrasi bahwa bekerja adalah untuk mencari kesempatan demi semua pihak yang terkait, dan demi menyelamatkan diri dari berbagai jeratan yang mungkin ada (misalnya dari KPK, BPK, Kejaksaan, dll). Dengan demikian, semakin banyak system yang diciptakan untuk “menjerat”, semakin banyak cara ditemukan untuk “lepas dari jeratan”, walaupun di balik semua ada pepatah mengatakan: “Sepandai-pandai tupai melompat, tetapi jatuh juga”.

Selain kondisi internal dengan segala macam latar-belakang yang terkait, factor yang juga mencekoki kehidupan manusia dewasa ini adalah godaan dari dunia global. Selain tantangan kemiskinan dan keterbelakangan, juga dewasa ini muncul tantangan dari nilai-nilai baru dari globalisasi. Ada banyak yang berpendapat bahwa globalisasi yang lebih cenderung pada pasar bebas dan diwarnai dengan neo-liberalis dan neo-kapitalis – hanya dirasakan oleh kota metropolitan, hal tersebut kuranglah tepat. Sebab pasar bebaspun turut mempengaruhi produksi petani, di tempat yang paling terisolir sekalipun. Lebih dari itu, kemajuan teknologi dengan sistem digital yang semakin canggih telah merambat ke seluruh pelosok dunia, misalnya melalui televisi, internet, dan Hand Phone. Dampaknya sangat luar biasa. Sikap hidup liberal (kebebasan), pergaulan bebas, hidup glamor, dan sebagainya semakin meracuni kehidupan. Dewasa ini semakin meluasnya berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spriritual, hasrat/ambisi melampauhi batas terhadap kebebasan, terciptanya sikap a-sosial dan nihilisme, yang membuat manusia “mati rasa, mati hati nurani” (lö fa’aila). Semua itu merupakan manifestasi dari krisis yang dialami manusia modern yang hidup dalam peradaban serba materialistis, konsumeris, individualis dan sekularis. Itulah nilai-nilai yang sedang merajai hidup manusia, yang telah menjadi falsafah hidup, sistem nilai dan gambar dunia (world-view/weltanshauung) yang mendasari kebudayaan modern.

Dari seluruh narasi tersebut di atas, terungkap bahwa “ikan membusuk dimulai dari kepala”, dan kalau masuk lingkaran birokrasi dengan motiv mencari pengganti kerugian, maka akan terjebak dalam system yang cenderung korupt dengan mata rantai yang panjang dan tak berujung.

5.    Pegawai Negeri dan Integritas diri

Realita yang sering terjadi hingga sekarang ini adalah belum adanya “nilai-nilai” dan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas. Kinerja, etos kerja dan kompetensi PNS sering dianggap tidak sesuai dengan “jargo” abdi Negara dan abdi masyarakat. Sehingga muncul tudingan terhadap PNS yang dianggap “sakit kronis”, yang diungkapkan dengan berbagai kata-kata prokem untuk mengkritisi para pegawai negeri, yang menyebar di berbagai situs internet, misalnya:
  • KUDIS (Kurang Disiplin),
  • KUTIL (Kurang Teliti)
  • KURAP (Kurang Rapi)
  • KUTU (Kurang Tulus)
  • KRAM (Kurang Trampil),
  • TBC (Tidak Bisa Computer),
  • GINJAL (Gaji Ingin Naik tapi kinerJa Lamban),
  • ASMA (Asal Mengisi Absen),
  • ASAM URAT (Asal Sampai Kantor Uring-uringan atau tidur)
  • PUCAT PASI (Pulang cepat padahal masih pagi),
  • FLU (Facebook-an melulu),
  • BATUK (bawaannya ngantuk).
  • Mual (Mutu Amat Lemah)
  • JANTUNG  (Jalankan asal nanti ada untung)
  • WTS (Wawasan Tidak Luas)
Masih dapat diperpanjang kritikan terhadap PNS, walaupun harus diakui bahwa ada banyak juga yang memiliki kinerja, etos kerja dan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya. Sekali lagi dibutuhkan pembaharuan bagi semua, tidak hanya staf melainkan dimulai oleh pemimpin.

Kita bersyukur bahwa akhir-akhir ini, pembangunan kinerja birokrasi dan aparat terus dilakukan oleh pemerintah, dan termasuk dalam agenda reformasi. Hal tersebut sangat tampak dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS (yang merupakan amandemen dari PP Nomor 30 Tahun 1980). Bila mencermati peraturan pemerintah tersebut, maka terlihat konsep yang jelas pembinaan PNS yang berdisiplin dan professional dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai abdi Negara dan masyarakat.
Urgensinya pembuatan dan penerapan PP tersebut adalah karena hingga sekarang kinerja dan kedisiplinan PNS masih menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat, walaupun dakam PP 30 tahun 1980 (juga PP 53 tahun 2010[4]) sebagai penggantinya, telah diatur secara tegas dan eksplisit apa dan bagaimana seharusnya seorang Abdi Negara berkinerja. Ini menyangkut integritas diri seorang pegawai, yang diberi label abdi Negara dan masyarakat, tetapi keteladanan, kedisplinan, kerja keras dan pelayanan justru belum terlihat.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa “ruh” dan semangat yang diusung dalam penerbitan peraturan pemerintah disiplin pegawai ini  adalah dalam rangka mewujudkan PNS yang handal, professional, dan bermoral sebagai penyelenggara pemerintahan yang menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), (sesuai yang tertuang dalam penjelasan PP 53 tahun 2010). Peraturan disiplin pegawai dirancang sedemikian rupa untuk membantu pegawai dalam menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas serta dapat mendorong PNS untuk lebih produktif berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja.

Namun, seberapa efektifkah sistem dan peraturan disiplin yang ada sekarang, terlebih bila kita hubungkan dengan visi mulai yang hendak dicapai tersebut? Dalam prakteknya, seperti yang telah dialami oleh PP terdahulunya PP 30 tahun 1980, di lapangan masih banyak kita temukan berbagai bentuk pelanggaran, baik yang terang-terangan, maupun sembunyi-sembunyi. Persoalannya ialah bahwa musuh bersama penegakan PP 53 tahun 2010 tersebut adalah masih bersarangnya bahaya laten sifat-sifat seperti KKN, tahu sama tahu, aksi diam sama diam di antara staf dan pimpinan, sehingga banyak pelanggaran yang ada terkubur dengan nyaman. Semua pihak yang berkepentingan melakukan usaha dengan semangat simbiosis mutualisme atas dasar prinsip “yang penting semuanya selamat”. Kondisi ini perlu ditransformasi, dan dibutuhkan langkah-langkah manajemen yang baik dan tepat agar pegawai memiliki rasa kedisiplinan atas dasar nilai pribadi, bukan hanya kepatuhan nisbi semata.

Inilah ranah etos kerja, seperti yang dikemukakan Sinamo, dimana spirit, semangat, dan mentalitas yang mewujud menjadi seperangkat perilaku kerja yang positif seperti: rajin, bersemangat, teliti, tekun, ulet, sabar, akuntabel, responsibel, berintegritas, hemat, menghargai waktu, dan sebagainya. Semuanya berada dalam diri manusia yang tersimpan dalam berbagai bentuk kompetensi, keahlian, dan kemampuan insani operasional. Dan apabila kesemuanya digunakan di dalam dan melalui kerja, ia akan keluar dalam bentuk kinerja, prestasi, dan produksi.

Dengan etos kerja, para pegawai akan bekerja dengan penuh dedikasi dan pengabdian diri karena dalam jiwa mereka telah tertanam nilai-nilai bahwa bekerja adalah sebuah anugerah, bekerja adalah ibadah, bekerja adalah panggilan, bekerja adalah pelayanan, bekerja adalah aktualisasi, bekerja adalah seni, bekerja adalah kehormatan. Bekerja dengan penuh disiplin dan tanggung jawab adalah representasi dari kemulian diri atau integritas diri.

Maka, dalam rangka mengusung suatu tata nilai aturan kepegawaian yang lebih komprehenship, diperlukan sebuah terobosan baru dalam merumuskan peraturan khususnya yang berkaitan dengan disiplin PNS. Terobosan tersebut berkenaan dengan bagaimana sebuah peraturan disiplin pegawai mampu mengakomodir secara baik unsur-unsur nilai bagi para pegawai itu sendiri. Unsur nilai yang mampu memberi stimuli (rangsangan) bagi para pegawai untuk mampu mengembangkan nilai dan karya mereka berdasarkan prinsip “etos kerja” mereka bukan sebaliknya hanya kepatuhan administratif semata. Kita tidak akan bisa menjamin suksesnya sebuah peraturan disiplin PNS apabila semangat yang diusung hanya dalam kisaran normatif yang mendasarkan pada pola aturan nilai legal formal kepegawaian semata.

Melalui etos kerja, para pegawai akan melakukan pekerjaan serta mematuhi peraturan yang ada secara totalitas atas dasar kesadaran dan ketulusan budi, bukan hanya atas dasar kepatuhan untuk tidak dikenai hukuman semata. Melalui sebuah peraturan yang didalamnya terdefinisikan nilai-nilai yang dapat merangsang nilai etos kerja pegawai, visi mulia dari diterbitkannya peraturan disiplin PNS yakni menjadikan pegawai yang Handal, Profesional dan Bermoral akan dapat kita wujudkan bersama.

6.    Bagaimana konsep “kerja” dalam sudut pandang Kristen?

Dalam Alkitab, sejak awal penciptaan Tuhan telah memberikan mandat dan tanggung-jawab bagi manusia untuk bekerja menata, mengolah dan memelihara dunia ini agar tetap utuh dan indah sebagaimana pada awalnya, yaitu “sungguh amat baik” (Kejadian 1-2). Dalam melaksanakannya, manusia diberi kebebasan dan kemandirian; tetapi pada pihak lain diminta pertanggung-jawaban oleh Allah.

Pekerjaan sebagai Pegawai Negara adalah sebuah panggilan dan pengutusan, dan dalam Perjanjian Lama mereka disebut dengan “ebed Yahwe” (hamba Allah)[5] yang terpanggil dan diutus melayani masyarakat (umat Tuhan) dan menjaga kesatuan serta kemandirian Negara. Para pemimpin (terutama Raja) sering disapa sebagai “hamba” bahkan dalam mazmur 2 disebut sebagai “anak Allah”. Mereka dipanggil dan diutus untuk memimpin umat agar tetap setia kepada Tuhan dan beroleh “Damai sejahtera”. Untuk itu maka Taurat dan berbagai hukum diberikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dan dalam menegakkan kebenaran serta keadilan di tengah masyarakat. Itulah sebabnya, rakyat diminta untuk memberikan dukungan dan kesetiaan kepada pemerintah. Bahkan ketika mereka dalam pembuanganpun, rakyat dan pemimpin dipanggil untuk bekerja mengusahakan kesejahteraan kota dimana mereka berada (Yeremia 29).

Dalam Perjanjian Baru, Yesus banyak mengecam para pegawai Negara (pegawai kekaisaran Romawi, termasuk para penguasa local seperti Herodes hingga ke pemungut cukai), dan juga para pegawai agama (imam, farisi, ahli Taurat, Saduki, dll) – karena dalam praktek mereka justru tidak menjadi pembawa damai dan keadilan, melainkan sebaliknya (bnd Matius 23). Itulah sebabnya – Yesus memberitakan bahwa dalam Kerajaan Allah, bukan kuasa yang dipentingkan, melainkan pelayanan. Bukan dilayani, melainkan untuk melayani (Markus 10:35-45).

Namun, kita juga membaca dalam Alkitab bahwa ada Pegawai Negara, yang bekerja sebagai tentara dengan pangkat perwira yang oleh Yesus sendiri menyebutnya sebagai seorang yang memiliki iman yang besar (Lukas 7:9). Apa dan bagaimana profil yang bersangkutan sehingga disebut “perwira yang beriman”? Dalam Lukas 7:1-10 kita menemukan 5 hal, yakni: Pertama, Seorang yang hidup dalam Kasih (tanpa membeda-bedakan, bahkan pembantunyapun dia kasihi – ayat 2, dan mengasihi orang Israel – ayat 5); Kedua, meminta pertolongan Tuhan dalam persoalan yang dihadapinya (ayat 3-4). Ketiga, menggunakan hartanya untuk persembahan kepada Tuhan (membangun rumah ibadah – ayat 5). Keempat, memiliki “kerendahan hati” (menyadari diri tidak layak menyambut Yesus, sang Mesias, dan juga tidak layak datang di hadapan Tuhan – ayat 6-7). Kelima,  Taat, percaya dan setia (Ayat-8).

Dalam surat-surat Paulus kita membaca bahwa nasehat kepada jemaat, baik yang pegawai negeri maupun yang non-pegawai negeri untuk hidup kudus di hadapan Tuhan, taat kepada pemerintah yang adalah diangkat dan ditetapkan oleh Allah, serta diminta untuk melakukan segala pekerjaan di dalam Tuhan Yesus (Kolose 3:17); dan apapun yang dilakukan seolah-olah dilakukan bagi Tuhan, dan bukan untuk manusia (Kolose 3:22).

Dalam perkembangan kekristenan, pekerjaan sebagai panggilan belumlah sebuah konsep yang umum bagi masyarakat kita. Konsep kita terhadap pekerjaan masih bersifat tradisional seperti yang umum dijumpai di negara-negara yang belum atau sedang berkembang. Kita bertani, memelihara ternak, berdagang, mengelola hutan, mengelola perkebunan, menangkap ikan, membangun gedung, menata kota, berpolitik, menjadi pegawai negeri, menjadi tentara atau polisi, menjadi jaksa atau hakim, ataupun sebagai pencipta lagu, dan berbagai pekerjaan lainnya – konsepnya masih tradisionil. Sikap yang menonjol masih ‘yang-penting-ada’, tanpa memikirkan akibat dari setiap tindakan atau pekerjaan terhadap bidang-bidang lain.

Oleh karena itu, mari kita belajar dari Etika Protestan yang melihat pekerjaan sebagai baruf, calling (panggilan). Max Weber, seorang keturunan Yahudi berhasil menemukan penghayatan dan pelaksanaan konsep tersebut dalam pandangan Martin Luther yang melihat beruf  sebagai tugas yang diberikan sebagai anugerah, dan dikehendaki oleh Tuhan yang harus dikerjakan dan dipertanggung-jawabkan. Bagi Luther umat percaya harus memenuhi kewajiban atau tugas yang diberikan kepada setiap individu dengan tingkat kedudukannya masing-masing di dunia. Lebih lanjut Luther mendasari pelaksanaan “panggilan itu” pada Sola Fide, sehingga “kerja dipahami sebagai panggilan hidup.”  Selanjutnya, Weber melihat bahwa komunitas Protestan yang Calvinis Puritan tidak menerima konsep tradisionil terhadap pekerjaan. Mereka tidak menerima pekerjaan begitu saja dan tidak berhenti sampai pada pekerjaan secara alami. Mereka tidak berhenti pada pikiran ‘yang-penting-punya-pekerjaan’. Mereka memikirkan apa yang harus mereka kerjakan dan mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan dengan bakat yang dimiliki. Mereka menggumuli pekerjaan yang dapat berbuah banyak.

Bagi Kaum Puritan, mengikuti ajaran Luther, pekerjaan adalah panggilan hidup, yang harus diraih dan harus dilakukan dengan usaha-usaha yang serius dan keras. Mereka menerima keyakinan bahwa eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk melaksanakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang Puritan mereka adalah buatan Allah, diciptakan untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya dan mereka berusaha hidup di dalam rencana Allah. Oleh sebab itu, konsep spesialisasi sangat berkembang di kalangan orang Puritan. Mereka mengembangkan bakat-bakat mereka sampai mencapai kesempurnaan. Mereka berpikir bahwa hanya dengan spesialisasi mereka akan jauh lebih efektif, lebih efisien dan lebih baik mengerjakan tugas; sebuah panggilan yang mulia.

Pentingnya spesialisasi bagi orang Puritan terangsang oleh teks-teks kuno seperti teks yang berbunyi, Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.” (Amsal 22:29). Bagi orang Puritan, hanya mereka yang punya skill yang baik, khusus dan terlatih yang akan mampu memberikan gagasan-gagasan dan karya-karya yang baik, rasional dan jitu. Mereka punya keyakinan bahwa dengan keahlian-keahlian yang sangat baik mereka dapat mempengaruhi pejabat-pejabat yang duduk dalam posisi-posisi penting di pemerintahan dan memimpin perbaikan-perbaikan dunia. Jadi, orang Puritan terus-menerus mengembangkan kemampuan dan keahlian mereka di bidang yang mereka minati untuk memperbaiki dunia secara berkelanjutan.

Pandangan dan sikap kaum Puritan ini perlu dikembangkan dalam diri seorang Pegawai Negeri Sipil di Indonesia – sebab hanya dengan itu kondisi khaos  yang sedang melingkupi kehidupan dapat diperbaharui. Membaharui dunia dapat dimulai dengan membaharui diri sendiri. Sebab ada ungkapan mengatakan” “baharuilah dirimu untuk dapat membaharui yang lain”.

7.    Penutup

Jabatan politik sama mulianya dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan menuju surga kekal, jabatan politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.

Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai suatu panggilan (calling) untuk melayani. Mereka yang memahami dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuannya.

Mengutip tokoh Kristen yang telah bergelut dalam proses pendirian bangsa ini, TB Simatupang[6] yang mengatakan bahwa dunia politik telah berperan besar dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan Negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik.

Dengan demikian, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara melalui penyelenggaraan pemerintahan hendaknya didasarkan pada pemahaman “mengabdi kepada Tuhan”.

Tulisan Max Weber tentang hubungan Etika Protestan dan kapitalisme (yang menyatakan bahwa iman kristen (dalam hal ini Calvinisme) pernah memberikan pengaruh yang besar dalam dunia ekonomi sehingga kekuatan ini menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam arus pemikiran di dunia) penting dikembangkan. Praktek kaum puritan yang mengembangkan sikap Disiplin, kerja keras, menghemat, jujur, adil dan bertanggung-jawab – hendaknya menjadi nilai-nilai hidup yang dimiliki oleh setiap individu pegawai negeri Sipil di Kabupaten Nias.

Penting diingat bahwa tidak ada pekerjaan yang bebas dari pergumulan, kesulitan, dan tekanan. Setiap saat kita dirongrong oleh kecenderungan atau ajakan untuk melakukan yang tidak benar. Itulah sebabnya, Calvin berkata bahwa setiap kali kita harus memasang telinga kepada suara Tuhan. Karena yang paling penting dalam pekerjaan kita adalah kesadaran akan “relatio ad Deum vocantem” kesadaran akan hubungan dengan Tuhan yang sudah memanggil kita menjadi anak-anak-Nya. Bahkan Allah telah membenarkan kita yang berdosa dengan memperhitungkan kebenaran Kristus bagi kita. Kita yang tidak layak, telah dilayakkan oleh karena Kristus sudah mati menggantikan kita. Untuk hubungan yang intim dengan Allah dipulihkan, Dia telah mengorbankan Anak Tunggal-Nya bagi kita, supaya setiap kita yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Itulah sebabnya, setiap kali, kita harus selalu bertanya, “Apakah yang saya kerjakan hari ini memuliakan Dia? Jika iya, bersyukurlah atas kekuatan dan pertolongan-Nya. Namun, jika tidak, maka bersegeralah menyesali dan meninggalkan dosa itu lalu memohon belas kasihan Tuhan mengampuni kita. Sertai permohonan itu dengan tekad dan komitmen untuk memulai suatu tatanan relasi yang baru dengan Tuhan yang beralandaskan kebenaran, keadilan, dan kasih. Dengan demikian, kita dapat mengekspresikan iman yang tidak kelihatan menjadi nyata dalam setiap tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang kita emban. Tuhan memberkati.


[1] Pembicara adalah ketua STT-BNKP Sundermann/Kepala Departemen Pembinaan dan Pendidikan BNKP.
[2] Baca lebih lanjut: Tuhoni Telaumbanua, Cross and Adu, Utrecht, Bookencentrum, 2007.
[3] Bnd. Buku pelajaran yang dipakai waktu itu dengan judul Realiebook, yang diperbanyak oleh misionaris.
[4] Dalam peraturan disiplin PNS telah diatur hal-hal yang memuat tentang kewajiban, larangan, dan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan kepada PNS yang telah terbukti melakukan pelanggaran, mulai dari jenis hukuman disiplin ringan, sedang, hingga berat.
[5] Gagasan ini berbeda dengan konsep di Indonesia, yang melihat PNS sebagai hamba Negara dan hamba Masyarakat.
[6] TB Simatupang, Dari Revolusi ke Pembangunan, Jakarta, BPK-GM, 1987

Sumber: http://tuhony.wordpress.com/2012/09/07/pegawai-negeri-adalah-ebed-yahwe/

»»  Lanjutkan Membaca...........