follow me via twitter

Sabtu, 16 Februari 2013

PEGAWAI NEGERI ADALAH EBED YAHWE?

PEGAWAI NEGERI ADALAH EBED YAHWE ?

(Oleh Pdt. Tuhoni Telaumbanua, M.Si, Ph.D[1])

 1.    Catatan Pengantar:

Saya diminta untuk mendampingi pembicara utama pada sesi ini (Pdt. Otoli Zebua) yang membahas topic: “Melayani bukan dilayani”. Ketika mempersiapkan tulisan ini saya sedikit ragu karena dua hal: (1) Belum mengetahui bidang dan dimensi apa yang hendak dikaji oleh pembicara utama; dan (2) takut terjebak dalam “khotbah”, padahal sesi ini adalah “seminar”. Namun demikian, sebagai penghargaan kepada panitia dan penghormatan kepada peserta seminar, saya memberanikan diri menuliskan makalah ini.

Dalam makalah ini, tema sesi ini yang cenderung bersifat rumusan teologis-dogmatis -  justru saya tidak mulai pada pembahasan teologis, melainkan melakukan pendekatan praxis, bertolak dari realita, dan pada akhirnya melakukan refleksi dari sudut pandang Iman Kristen
.
2.    Sekolah Untuk Menjadi Pegawai Negeri

Para misionaris RMG yang pertama membuka sekolah di Nias[2], dengan tujuan utama agar melalui pendidikan “Berita Injil” semakin tersebar-luaskan. Bagi Orang Nias sendiri datang ke sekolah merupakan hal yang “aneh”. Pada awalnya, setiap mereka diundang oleh misionaris untuk belajar, maka mereka meminta “upah” dari misionaris, baik berupa uang maupun makanan atau pakaian. Tetapi secara bertahap orang Nias menyadari bahwa dengan belajar, banyak yang diketahui dan dapat membaca sendiri Alkitab dan buku mata pelajaran lainnya, baik menyangkut ceritera Alkitab, maupun pengetahuan umum.[3]

Perobahan pola pandang tentang sekolah di Nias terjadi ketika pemilihan para penatua di dalam gereja, yang lebih diutamakan adalah yang sudah sekolah dan dapat membaca dan menulis. Terlebih-lebih ketika para misionaris mulai membuka Seminari yang membina para calon Guru, dimana “Guru” yang bekerja sebagai pengajar di sekolah dan Pembina/pelayan di jemaat – dianggap memiliki “status” (bosi) yang baru yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Mereka dianggap sebagai sumber pengetahuan, dan dipandang terhormat karena “penghargaan/honor” mereka datang dari para misionaris. Pakaian merekapun tidak lagi dengan “saombö”, tetapi pakaian yang diberikan oleh para misionaris. Perobahan social terjadi dalam bidang stratifikasi sosial. Bila sebelumnya, “bosi” yang tinggi (pemimpinan, pengajar) dicapai dengan melakukan serangkaian adat-istiadat dengan urutan pesta yang membutuhkan dana yang besar —– sekarang melalui sekolah, yang miskinpun (dari kalangan “kaum kebanyakan”) kalau pintar dan mau sekolah dapat menjadi GURU, dan dengan demikian terjadi perobahan status social.  Sejak itu, peningkatan status social seseorang tidak hanya diperoleh melalui tahapan adat, tetapi juga melalui pendidikan (menjadi SNK, Guru; Sinenge; atau Pendeta).

Pada Perang Dunia II, terjadi pemisahan antara petugas gereja dengan pemerintah. Satua Niha Keriso, Sinenge dan Pendeta menjadi personil pelayan Gereja, sedangkan “Guru” menjadi pekerja khusus di sekolah yang dikelola bukan lagi oleh misionaris, tetapi oleh pemerintah colonial (Belanda dan kemudian Jepang). Setelah Indonesia merdeka, tenaga guru diangkat langsung menjadi pegawai negeri yang diberi gaji oleh pemerintah Republik Indonesia. Status pegawai negeri mendapat tempat di tengah masyarakat.

Dewasa ini, walaupun masih ada peran ‘tua-tua adat”, khusus pada acara adat-istiadat selingkaran hidup, namun tidak bisa dipungkiri bahwa telah terjadi perobahan status, peranan dan bentuk dari kebudayaan Ono Niha. Nilai lakhömi masih hidup, tetapi wahana memperoleh LAKHÖMI tersebut tidak lagi di dalam adat-istiadat (sosial), melainkan dalam bidang POLITIK (pengurus partai politik, PNS, TNI/Polri, Hakim/jaksa, legislative, NGO/Ornop, dll), EKONOMI (pengusaha) dan RELIGI (pelayan di gereja atau di agama lain). Salah satu yang terbanyak jumlahnya adalah Pegawai Negeri Sipil. Ini menjadi tujuan, apalagi karena wadah Industri untuk berkarya dan berkreatifitas tak ada di Nias. Sehingga tersosialisasilah dalam kehidupan bahwa tujuan sekolah/pendidikan adalah untuk menjadi Pegawai Negeri; dan kalau tidak ada jalan ke sana, masuk jalur “pelayan”, dan baru yang lain-lain. Indikasi untuk ini dapat dilihat pada pilihan sekolah, baik di tingkat SLTA (lebih memilih SMK dengan alasan antara lain: “ada lowongan pada penerimaan CPNS”); IKIP (karena lowongan guru masih tersedia), dan barulah program studi lainnya.

3.    Melamar Menjadi Pegawai!

Di kepulauan Nias sekarang ini ada banyak para “Sarjana pencari kerja”. Mereka menunggu pengumuman penerimaan calon pegawai negeri. Demam “menjadi pegawai” tumbuh bagaikan jamur di seantero pulau ini. Hal tersebut merupakan implementasi dari pemahaman bahwa PNS adalah salah satu yang memberi status bagi seseorang dalam masyarakat, serta sebagai sumber penghasilan yang menjanjikan hingga hari tua; maka di kepulauan Nias, masyarakat berlomba-lomba mau menjadi pegawai negeri. Kondisi ini dipicu oleh belum adanya lowongan kerja lain (selain pertanian), misalnya industri yang dapat menampung tenaga kerja.
Permasalahannya ialah demi mencapai tujuan menjadi PNS, ditempuh berbagai cara mulai dari “doa” sampai pada pencarian “deking” dan memberi “dana pelancar”, walau harus menjual tanah atau kebun warisan orang tua. Siapa yang menerima “suap” ini adalah mereka yang berada di “pintu” penerimaan pegawai dan sasarannya semua adalah kepala daerah. Bila melacak di internet berita tentang penerima pegawai negeri sipil, ternyata kasus suap, korupsi dan penipuan terdapat di seantero negeri ini.  Beberapa tahun yang lain, kasus penerimaan CPNS di kepulauan ini tampil ke permukaan bahkan sampai di meja hijau, karena orang-orang yang merasa mampu dan menang – merasa dirugikan dalam pengumuman hasil CPNS.
Apabila menjadi pegawai di negeri ini, termasuk di pulau ini diawali dengan “dana pelancar”, maka akan berlanjut dengan usaha mencari pengganti kerugian, sehingga berbagai cara dilakukan, walaupun bertentangan dengan hati nurani dan ajaran moral serta iman kepercayaannya. Inilah yang kemudian – akar diabaikannya/dilanggar janji/sumpah pegawai negeri dan ketidak-taatan pada “etos kerja PNS”.

4.    Pegawai Negeri dalam Lingkup Birokrasi

Para CPNS atau PNS yang memulai pekerjaan dengan latar-belakang “hutang” atau “warisan telah terjual” ketika melamar —- memang akan memulai pekerjaannya di unit ia ditempatkan – dengan nyanyian: “Padamu negeri kami mengabdi…..” Tetapi di balik nyanyian itu tersimpan rapih tekad “mencari pengganti yang hilang”. Sehingga setelah ada pengalaman dan menemukan “kesempatan dalam kesempitan”, maka muncul niat untuk berbuat yang melanggar janji, disiplin dan etika Pegawai Negeri sipil.

Kesempatan dalam kesempitan muncul apabila dalam pemilukada mencuat yang disebut dengan “money politics” ataupun “cost politics”  dimana pasangan yang menang menjadi Kepala Daerah telah mengeluarkan dana yang banyak — maka upaya mencari pengganti juga muncul. Akibatnya, dari unsur pimpinan muncul perintah tak tertulis kepada “bawahan” untuk “mengamankan kebijakan”. Sehingga terdengarlah istilah “dana siluman”, “dana taktis”, “pago-pago”, “biaya administrasi”, dll —- dan yang mengamankan kebijakan ini adalah para eselon dan staf bawahan (yang nota bene tadinya telah mengeluarkan uang ketika melamar jadi pegawai).

Rantai KKN tidak hanya berada di arah kabupaten/kota, sering terdengar ungkapan: “perlu colokan untuk menjatuhkan buah di atas pohon”; maksudnya agar dana pembangunan yang ada level propinsi dan pusat, dibutuhkan “colokkan” berupa “pelancar”. Dari mana dana untuk colokkan tersebut? Apakah dari uang kantong kepala daerah di kabupaten/kota? Ya….diambil dari dana-dana siluman tadi. Celakanya, kejahatan berbuahkan kejahatan – tidak hanya dalam proses menjatuhkan bantuan dan proses pelaksanaan program; tetapi juga dalam membuat pertanggung-jawaban. Berbagai cara ditempuh, berbagai kebohongan dilakukan untuk yang namanya SPJ, walaupun bukti-bukti dari SPJ tersebut sering ASPAL (asli tetapi palsu).
Rantai KKN tidak hanya dalam hubungan ke level atas atau yang sifatnya birokrasi vertical, tetapi juga dengan pihak legislative dan berbagai elemen lainnya yang sifatnya horizontal. Masalahnya ialah pada pemilu legislative dengan system yang ada sekarang, gampang terjadi yang disebut dengan istilah “1 dollar 1 vote” – atau istilah yang sering terdengar di Nias: “Tuko Be”. Artinya para calon legislative berlomba untuk memperoleh suara rakyat melalui pemberian, entah itu atribut kampanye (baru kaos, topi, rompi, dll) ataupun dengan uang dengan nama “pengganti minyak, pengganti pendapatan sehari karena harus meninggalkan pekerjaan untuk memberi suara di TPS”. Kondisi ini semakin terkondusifkan dengan uangkan yang muncul dari masyarakat: “khoma zima’okho, akha khomi zi 5 fakhe”. Sehingga caleg yang berhasil duduk di kursi terhormat — atas nama wakil rakyat — memikirkan bagaimana cara mengembalikan dana yang sudah habis. Maka terdengarlah ungkapan: “pago-pago” atau para wakil rakyat menjadi “pemborong tersembunyi” dengan tekanan terhadap pemerintah agar diberi “jatah” …… dan semua ini adalah untuk mencari pengganti kerugian, dan lebih dari itu untuk memperkaya diri dan menghimpun dana untuk pemilu berikutnya. Sasaran empuk dari para wakil rakyat ini adalah mitra kerjanya pihak eksekutif.

Kondisi tersebut di atas akan membentuk pola kerja dan pola pikir para pegawai yang bekerja di birokrasi bahwa bekerja adalah untuk mencari kesempatan demi semua pihak yang terkait, dan demi menyelamatkan diri dari berbagai jeratan yang mungkin ada (misalnya dari KPK, BPK, Kejaksaan, dll). Dengan demikian, semakin banyak system yang diciptakan untuk “menjerat”, semakin banyak cara ditemukan untuk “lepas dari jeratan”, walaupun di balik semua ada pepatah mengatakan: “Sepandai-pandai tupai melompat, tetapi jatuh juga”.

Selain kondisi internal dengan segala macam latar-belakang yang terkait, factor yang juga mencekoki kehidupan manusia dewasa ini adalah godaan dari dunia global. Selain tantangan kemiskinan dan keterbelakangan, juga dewasa ini muncul tantangan dari nilai-nilai baru dari globalisasi. Ada banyak yang berpendapat bahwa globalisasi yang lebih cenderung pada pasar bebas dan diwarnai dengan neo-liberalis dan neo-kapitalis – hanya dirasakan oleh kota metropolitan, hal tersebut kuranglah tepat. Sebab pasar bebaspun turut mempengaruhi produksi petani, di tempat yang paling terisolir sekalipun. Lebih dari itu, kemajuan teknologi dengan sistem digital yang semakin canggih telah merambat ke seluruh pelosok dunia, misalnya melalui televisi, internet, dan Hand Phone. Dampaknya sangat luar biasa. Sikap hidup liberal (kebebasan), pergaulan bebas, hidup glamor, dan sebagainya semakin meracuni kehidupan. Dewasa ini semakin meluasnya berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spriritual, hasrat/ambisi melampauhi batas terhadap kebebasan, terciptanya sikap a-sosial dan nihilisme, yang membuat manusia “mati rasa, mati hati nurani” (lö fa’aila). Semua itu merupakan manifestasi dari krisis yang dialami manusia modern yang hidup dalam peradaban serba materialistis, konsumeris, individualis dan sekularis. Itulah nilai-nilai yang sedang merajai hidup manusia, yang telah menjadi falsafah hidup, sistem nilai dan gambar dunia (world-view/weltanshauung) yang mendasari kebudayaan modern.

Dari seluruh narasi tersebut di atas, terungkap bahwa “ikan membusuk dimulai dari kepala”, dan kalau masuk lingkaran birokrasi dengan motiv mencari pengganti kerugian, maka akan terjebak dalam system yang cenderung korupt dengan mata rantai yang panjang dan tak berujung.

5.    Pegawai Negeri dan Integritas diri

Realita yang sering terjadi hingga sekarang ini adalah belum adanya “nilai-nilai” dan pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas. Kinerja, etos kerja dan kompetensi PNS sering dianggap tidak sesuai dengan “jargo” abdi Negara dan abdi masyarakat. Sehingga muncul tudingan terhadap PNS yang dianggap “sakit kronis”, yang diungkapkan dengan berbagai kata-kata prokem untuk mengkritisi para pegawai negeri, yang menyebar di berbagai situs internet, misalnya:
  • KUDIS (Kurang Disiplin),
  • KUTIL (Kurang Teliti)
  • KURAP (Kurang Rapi)
  • KUTU (Kurang Tulus)
  • KRAM (Kurang Trampil),
  • TBC (Tidak Bisa Computer),
  • GINJAL (Gaji Ingin Naik tapi kinerJa Lamban),
  • ASMA (Asal Mengisi Absen),
  • ASAM URAT (Asal Sampai Kantor Uring-uringan atau tidur)
  • PUCAT PASI (Pulang cepat padahal masih pagi),
  • FLU (Facebook-an melulu),
  • BATUK (bawaannya ngantuk).
  • Mual (Mutu Amat Lemah)
  • JANTUNG  (Jalankan asal nanti ada untung)
  • WTS (Wawasan Tidak Luas)
Masih dapat diperpanjang kritikan terhadap PNS, walaupun harus diakui bahwa ada banyak juga yang memiliki kinerja, etos kerja dan profesionalisme dalam melaksanakan tugasnya. Sekali lagi dibutuhkan pembaharuan bagi semua, tidak hanya staf melainkan dimulai oleh pemimpin.

Kita bersyukur bahwa akhir-akhir ini, pembangunan kinerja birokrasi dan aparat terus dilakukan oleh pemerintah, dan termasuk dalam agenda reformasi. Hal tersebut sangat tampak dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS (yang merupakan amandemen dari PP Nomor 30 Tahun 1980). Bila mencermati peraturan pemerintah tersebut, maka terlihat konsep yang jelas pembinaan PNS yang berdisiplin dan professional dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai abdi Negara dan masyarakat.
Urgensinya pembuatan dan penerapan PP tersebut adalah karena hingga sekarang kinerja dan kedisiplinan PNS masih menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat, walaupun dakam PP 30 tahun 1980 (juga PP 53 tahun 2010[4]) sebagai penggantinya, telah diatur secara tegas dan eksplisit apa dan bagaimana seharusnya seorang Abdi Negara berkinerja. Ini menyangkut integritas diri seorang pegawai, yang diberi label abdi Negara dan masyarakat, tetapi keteladanan, kedisplinan, kerja keras dan pelayanan justru belum terlihat.
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa “ruh” dan semangat yang diusung dalam penerbitan peraturan pemerintah disiplin pegawai ini  adalah dalam rangka mewujudkan PNS yang handal, professional, dan bermoral sebagai penyelenggara pemerintahan yang menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance), (sesuai yang tertuang dalam penjelasan PP 53 tahun 2010). Peraturan disiplin pegawai dirancang sedemikian rupa untuk membantu pegawai dalam menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas serta dapat mendorong PNS untuk lebih produktif berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja.

Namun, seberapa efektifkah sistem dan peraturan disiplin yang ada sekarang, terlebih bila kita hubungkan dengan visi mulai yang hendak dicapai tersebut? Dalam prakteknya, seperti yang telah dialami oleh PP terdahulunya PP 30 tahun 1980, di lapangan masih banyak kita temukan berbagai bentuk pelanggaran, baik yang terang-terangan, maupun sembunyi-sembunyi. Persoalannya ialah bahwa musuh bersama penegakan PP 53 tahun 2010 tersebut adalah masih bersarangnya bahaya laten sifat-sifat seperti KKN, tahu sama tahu, aksi diam sama diam di antara staf dan pimpinan, sehingga banyak pelanggaran yang ada terkubur dengan nyaman. Semua pihak yang berkepentingan melakukan usaha dengan semangat simbiosis mutualisme atas dasar prinsip “yang penting semuanya selamat”. Kondisi ini perlu ditransformasi, dan dibutuhkan langkah-langkah manajemen yang baik dan tepat agar pegawai memiliki rasa kedisiplinan atas dasar nilai pribadi, bukan hanya kepatuhan nisbi semata.

Inilah ranah etos kerja, seperti yang dikemukakan Sinamo, dimana spirit, semangat, dan mentalitas yang mewujud menjadi seperangkat perilaku kerja yang positif seperti: rajin, bersemangat, teliti, tekun, ulet, sabar, akuntabel, responsibel, berintegritas, hemat, menghargai waktu, dan sebagainya. Semuanya berada dalam diri manusia yang tersimpan dalam berbagai bentuk kompetensi, keahlian, dan kemampuan insani operasional. Dan apabila kesemuanya digunakan di dalam dan melalui kerja, ia akan keluar dalam bentuk kinerja, prestasi, dan produksi.

Dengan etos kerja, para pegawai akan bekerja dengan penuh dedikasi dan pengabdian diri karena dalam jiwa mereka telah tertanam nilai-nilai bahwa bekerja adalah sebuah anugerah, bekerja adalah ibadah, bekerja adalah panggilan, bekerja adalah pelayanan, bekerja adalah aktualisasi, bekerja adalah seni, bekerja adalah kehormatan. Bekerja dengan penuh disiplin dan tanggung jawab adalah representasi dari kemulian diri atau integritas diri.

Maka, dalam rangka mengusung suatu tata nilai aturan kepegawaian yang lebih komprehenship, diperlukan sebuah terobosan baru dalam merumuskan peraturan khususnya yang berkaitan dengan disiplin PNS. Terobosan tersebut berkenaan dengan bagaimana sebuah peraturan disiplin pegawai mampu mengakomodir secara baik unsur-unsur nilai bagi para pegawai itu sendiri. Unsur nilai yang mampu memberi stimuli (rangsangan) bagi para pegawai untuk mampu mengembangkan nilai dan karya mereka berdasarkan prinsip “etos kerja” mereka bukan sebaliknya hanya kepatuhan administratif semata. Kita tidak akan bisa menjamin suksesnya sebuah peraturan disiplin PNS apabila semangat yang diusung hanya dalam kisaran normatif yang mendasarkan pada pola aturan nilai legal formal kepegawaian semata.

Melalui etos kerja, para pegawai akan melakukan pekerjaan serta mematuhi peraturan yang ada secara totalitas atas dasar kesadaran dan ketulusan budi, bukan hanya atas dasar kepatuhan untuk tidak dikenai hukuman semata. Melalui sebuah peraturan yang didalamnya terdefinisikan nilai-nilai yang dapat merangsang nilai etos kerja pegawai, visi mulia dari diterbitkannya peraturan disiplin PNS yakni menjadikan pegawai yang Handal, Profesional dan Bermoral akan dapat kita wujudkan bersama.

6.    Bagaimana konsep “kerja” dalam sudut pandang Kristen?

Dalam Alkitab, sejak awal penciptaan Tuhan telah memberikan mandat dan tanggung-jawab bagi manusia untuk bekerja menata, mengolah dan memelihara dunia ini agar tetap utuh dan indah sebagaimana pada awalnya, yaitu “sungguh amat baik” (Kejadian 1-2). Dalam melaksanakannya, manusia diberi kebebasan dan kemandirian; tetapi pada pihak lain diminta pertanggung-jawaban oleh Allah.

Pekerjaan sebagai Pegawai Negara adalah sebuah panggilan dan pengutusan, dan dalam Perjanjian Lama mereka disebut dengan “ebed Yahwe” (hamba Allah)[5] yang terpanggil dan diutus melayani masyarakat (umat Tuhan) dan menjaga kesatuan serta kemandirian Negara. Para pemimpin (terutama Raja) sering disapa sebagai “hamba” bahkan dalam mazmur 2 disebut sebagai “anak Allah”. Mereka dipanggil dan diutus untuk memimpin umat agar tetap setia kepada Tuhan dan beroleh “Damai sejahtera”. Untuk itu maka Taurat dan berbagai hukum diberikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dan dalam menegakkan kebenaran serta keadilan di tengah masyarakat. Itulah sebabnya, rakyat diminta untuk memberikan dukungan dan kesetiaan kepada pemerintah. Bahkan ketika mereka dalam pembuanganpun, rakyat dan pemimpin dipanggil untuk bekerja mengusahakan kesejahteraan kota dimana mereka berada (Yeremia 29).

Dalam Perjanjian Baru, Yesus banyak mengecam para pegawai Negara (pegawai kekaisaran Romawi, termasuk para penguasa local seperti Herodes hingga ke pemungut cukai), dan juga para pegawai agama (imam, farisi, ahli Taurat, Saduki, dll) – karena dalam praktek mereka justru tidak menjadi pembawa damai dan keadilan, melainkan sebaliknya (bnd Matius 23). Itulah sebabnya – Yesus memberitakan bahwa dalam Kerajaan Allah, bukan kuasa yang dipentingkan, melainkan pelayanan. Bukan dilayani, melainkan untuk melayani (Markus 10:35-45).

Namun, kita juga membaca dalam Alkitab bahwa ada Pegawai Negara, yang bekerja sebagai tentara dengan pangkat perwira yang oleh Yesus sendiri menyebutnya sebagai seorang yang memiliki iman yang besar (Lukas 7:9). Apa dan bagaimana profil yang bersangkutan sehingga disebut “perwira yang beriman”? Dalam Lukas 7:1-10 kita menemukan 5 hal, yakni: Pertama, Seorang yang hidup dalam Kasih (tanpa membeda-bedakan, bahkan pembantunyapun dia kasihi – ayat 2, dan mengasihi orang Israel – ayat 5); Kedua, meminta pertolongan Tuhan dalam persoalan yang dihadapinya (ayat 3-4). Ketiga, menggunakan hartanya untuk persembahan kepada Tuhan (membangun rumah ibadah – ayat 5). Keempat, memiliki “kerendahan hati” (menyadari diri tidak layak menyambut Yesus, sang Mesias, dan juga tidak layak datang di hadapan Tuhan – ayat 6-7). Kelima,  Taat, percaya dan setia (Ayat-8).

Dalam surat-surat Paulus kita membaca bahwa nasehat kepada jemaat, baik yang pegawai negeri maupun yang non-pegawai negeri untuk hidup kudus di hadapan Tuhan, taat kepada pemerintah yang adalah diangkat dan ditetapkan oleh Allah, serta diminta untuk melakukan segala pekerjaan di dalam Tuhan Yesus (Kolose 3:17); dan apapun yang dilakukan seolah-olah dilakukan bagi Tuhan, dan bukan untuk manusia (Kolose 3:22).

Dalam perkembangan kekristenan, pekerjaan sebagai panggilan belumlah sebuah konsep yang umum bagi masyarakat kita. Konsep kita terhadap pekerjaan masih bersifat tradisional seperti yang umum dijumpai di negara-negara yang belum atau sedang berkembang. Kita bertani, memelihara ternak, berdagang, mengelola hutan, mengelola perkebunan, menangkap ikan, membangun gedung, menata kota, berpolitik, menjadi pegawai negeri, menjadi tentara atau polisi, menjadi jaksa atau hakim, ataupun sebagai pencipta lagu, dan berbagai pekerjaan lainnya – konsepnya masih tradisionil. Sikap yang menonjol masih ‘yang-penting-ada’, tanpa memikirkan akibat dari setiap tindakan atau pekerjaan terhadap bidang-bidang lain.

Oleh karena itu, mari kita belajar dari Etika Protestan yang melihat pekerjaan sebagai baruf, calling (panggilan). Max Weber, seorang keturunan Yahudi berhasil menemukan penghayatan dan pelaksanaan konsep tersebut dalam pandangan Martin Luther yang melihat beruf  sebagai tugas yang diberikan sebagai anugerah, dan dikehendaki oleh Tuhan yang harus dikerjakan dan dipertanggung-jawabkan. Bagi Luther umat percaya harus memenuhi kewajiban atau tugas yang diberikan kepada setiap individu dengan tingkat kedudukannya masing-masing di dunia. Lebih lanjut Luther mendasari pelaksanaan “panggilan itu” pada Sola Fide, sehingga “kerja dipahami sebagai panggilan hidup.”  Selanjutnya, Weber melihat bahwa komunitas Protestan yang Calvinis Puritan tidak menerima konsep tradisionil terhadap pekerjaan. Mereka tidak menerima pekerjaan begitu saja dan tidak berhenti sampai pada pekerjaan secara alami. Mereka tidak berhenti pada pikiran ‘yang-penting-punya-pekerjaan’. Mereka memikirkan apa yang harus mereka kerjakan dan mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan dengan bakat yang dimiliki. Mereka menggumuli pekerjaan yang dapat berbuah banyak.

Bagi Kaum Puritan, mengikuti ajaran Luther, pekerjaan adalah panggilan hidup, yang harus diraih dan harus dilakukan dengan usaha-usaha yang serius dan keras. Mereka menerima keyakinan bahwa eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk melaksanakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang Puritan mereka adalah buatan Allah, diciptakan untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya dan mereka berusaha hidup di dalam rencana Allah. Oleh sebab itu, konsep spesialisasi sangat berkembang di kalangan orang Puritan. Mereka mengembangkan bakat-bakat mereka sampai mencapai kesempurnaan. Mereka berpikir bahwa hanya dengan spesialisasi mereka akan jauh lebih efektif, lebih efisien dan lebih baik mengerjakan tugas; sebuah panggilan yang mulia.

Pentingnya spesialisasi bagi orang Puritan terangsang oleh teks-teks kuno seperti teks yang berbunyi, Pernahkah engkau melihat orang yang cakap dalam pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri, bukan di hadapan orang-orang yang hina.” (Amsal 22:29). Bagi orang Puritan, hanya mereka yang punya skill yang baik, khusus dan terlatih yang akan mampu memberikan gagasan-gagasan dan karya-karya yang baik, rasional dan jitu. Mereka punya keyakinan bahwa dengan keahlian-keahlian yang sangat baik mereka dapat mempengaruhi pejabat-pejabat yang duduk dalam posisi-posisi penting di pemerintahan dan memimpin perbaikan-perbaikan dunia. Jadi, orang Puritan terus-menerus mengembangkan kemampuan dan keahlian mereka di bidang yang mereka minati untuk memperbaiki dunia secara berkelanjutan.

Pandangan dan sikap kaum Puritan ini perlu dikembangkan dalam diri seorang Pegawai Negeri Sipil di Indonesia – sebab hanya dengan itu kondisi khaos  yang sedang melingkupi kehidupan dapat diperbaharui. Membaharui dunia dapat dimulai dengan membaharui diri sendiri. Sebab ada ungkapan mengatakan” “baharuilah dirimu untuk dapat membaharui yang lain”.

7.    Penutup

Jabatan politik sama mulianya dengan jabatan atau peran tokoh-tokoh agama. Bila tokoh agama menunjukkan jalan menuju surga kekal, jabatan politik meretas jalan bagi rakyat untuk terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan kemelaratan.

Jabatan politik sudah selayaknya dihayati sebagai suatu panggilan (calling) untuk melayani. Mereka yang memahami dengan sungguh jabatan sebagai pusat pelayanan, akan dengan jujur dan sadar menempatkan ranah politik sebagai media atau panggung dimana kepentingan umum menjadi tujuannya.

Mengutip tokoh Kristen yang telah bergelut dalam proses pendirian bangsa ini, TB Simatupang[6] yang mengatakan bahwa dunia politik telah berperan besar dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebelum kemerdekaan, politik bertugas memperjuangkan kemerdekaan, tapi setelah kemerdekaan Indonesia dan pengakuan kedaulatan, politik bertugas menjamin persatuan dan kesatuan Negara, serta menjamin adanya ketertiban dan keamanan, agar proses pembangunan bangsa dapat dilaksanakan dengan baik.

Dengan demikian, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara melalui penyelenggaraan pemerintahan hendaknya didasarkan pada pemahaman “mengabdi kepada Tuhan”.

Tulisan Max Weber tentang hubungan Etika Protestan dan kapitalisme (yang menyatakan bahwa iman kristen (dalam hal ini Calvinisme) pernah memberikan pengaruh yang besar dalam dunia ekonomi sehingga kekuatan ini menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam arus pemikiran di dunia) penting dikembangkan. Praktek kaum puritan yang mengembangkan sikap Disiplin, kerja keras, menghemat, jujur, adil dan bertanggung-jawab – hendaknya menjadi nilai-nilai hidup yang dimiliki oleh setiap individu pegawai negeri Sipil di Kabupaten Nias.

Penting diingat bahwa tidak ada pekerjaan yang bebas dari pergumulan, kesulitan, dan tekanan. Setiap saat kita dirongrong oleh kecenderungan atau ajakan untuk melakukan yang tidak benar. Itulah sebabnya, Calvin berkata bahwa setiap kali kita harus memasang telinga kepada suara Tuhan. Karena yang paling penting dalam pekerjaan kita adalah kesadaran akan “relatio ad Deum vocantem” kesadaran akan hubungan dengan Tuhan yang sudah memanggil kita menjadi anak-anak-Nya. Bahkan Allah telah membenarkan kita yang berdosa dengan memperhitungkan kebenaran Kristus bagi kita. Kita yang tidak layak, telah dilayakkan oleh karena Kristus sudah mati menggantikan kita. Untuk hubungan yang intim dengan Allah dipulihkan, Dia telah mengorbankan Anak Tunggal-Nya bagi kita, supaya setiap kita yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Itulah sebabnya, setiap kali, kita harus selalu bertanya, “Apakah yang saya kerjakan hari ini memuliakan Dia? Jika iya, bersyukurlah atas kekuatan dan pertolongan-Nya. Namun, jika tidak, maka bersegeralah menyesali dan meninggalkan dosa itu lalu memohon belas kasihan Tuhan mengampuni kita. Sertai permohonan itu dengan tekad dan komitmen untuk memulai suatu tatanan relasi yang baru dengan Tuhan yang beralandaskan kebenaran, keadilan, dan kasih. Dengan demikian, kita dapat mengekspresikan iman yang tidak kelihatan menjadi nyata dalam setiap tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab yang kita emban. Tuhan memberkati.


[1] Pembicara adalah ketua STT-BNKP Sundermann/Kepala Departemen Pembinaan dan Pendidikan BNKP.
[2] Baca lebih lanjut: Tuhoni Telaumbanua, Cross and Adu, Utrecht, Bookencentrum, 2007.
[3] Bnd. Buku pelajaran yang dipakai waktu itu dengan judul Realiebook, yang diperbanyak oleh misionaris.
[4] Dalam peraturan disiplin PNS telah diatur hal-hal yang memuat tentang kewajiban, larangan, dan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan kepada PNS yang telah terbukti melakukan pelanggaran, mulai dari jenis hukuman disiplin ringan, sedang, hingga berat.
[5] Gagasan ini berbeda dengan konsep di Indonesia, yang melihat PNS sebagai hamba Negara dan hamba Masyarakat.
[6] TB Simatupang, Dari Revolusi ke Pembangunan, Jakarta, BPK-GM, 1987

Sumber: http://tuhony.wordpress.com/2012/09/07/pegawai-negeri-adalah-ebed-yahwe/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar