follow me via twitter

Sabtu, 16 Februari 2013

PENATAAN IBADAH DI BNKP


PENATAAN IBADAH DI BNKP 

Oleh: Pdt. Tuhoni Telaumbanua, M.Si, Ph.D 

1.     Pengantar 

Akhir-akhir ini ada banyak pertanyaan dan keluhan sehubungan dengan Agendre (tata ibadah/liturgi) di BNKP, yang disebabkan dengan munculnya berbagai model liturgi yang dianggap lebih gebiar dan menghebohkan. Ada jemaat yang merasa terganggu dengan kehadiran aliran lain dengan model ibadahnya yang berbeda dengan tradisi gereja BNKP; ada juga yang mencoba ikut-ikutan dengan model yang baru; tetapi tidak sedikit juga yang tetap bertahan dengan yang lama. Belakangan ini banyak orang mencoba membuat ibadah di jemaatnya agar ‘lebih hidup’ dengan mengganti liturgi yang ada dengan liturgi yang lebih populer atau trendy. Yang lainnya mengubah jenis nyanyian atau alat musik yang dipakai.


Cara tersebut memang bisa membuat ibadah lebih semarak, lebih ramai, lebih populer, namun belum tentu menjadi lebih hidup! Tentu setiap gereja ingin memiliki ibadah yang hidup dan menyegarkan. Tetapi sebenarnya sebuah ibadah baru dikatakan hidup jika melaluinya terjadi penyatuan dengan Allah (union with God), dan melalui komunikasi selama ibadah, jemaat menjadi “sehati sepikir” baik di antara mereka maupun dengan Allah. Jemaat menjadi sadar apa yang menjadi kehendak Allah bagi mereka. Apa hasilnya? Tuhan dimuliakan (glorification) dan orang percaya dikuduskan (sanctification). Jadi, ibadah yang hidup adalah ibadah yang melaluinya seseorang bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan perjumpaan itu mentransformasi hidupnya.

Memang benar Tuhan hadir dimana-mana, tidak hanya di gedung gereja saat ibadah berlangsung, tetapi ibadah bersama di gereja lebih dapat membawa umat merasakan kehadiran Allah, sebab pada saat itu kita benar-benar memfokuskan diri kepada Tuhan. Hal ini dapat diumpamakan seperti selembar kertas yang tergeletak di sebuah lapangan parkir pada siang hari yang panas. Cahaya matahari bersinar merata di segala sudut, namun tidak dapat membakar kertas itu. Hanya jika ada orang membawa kaca pembesar lalu memfokuskan cahaya matahari ke atas kertas itu, kertas dapat terbakar. Begitu pula dalam ibadah. Saat jemaat sungguh mengarahkan hatinya kepada Tuhan, barulah mereka dapat merasakan kehadiran-Nya dan ditransformasi olehNya. Lebih dari itu, salah satu faktor penting dalam ibadah ialah persekutuan umat sebagai anggota tubuh Kristus. Ada banyak orang yang mengatakan bahwa tidak perlu ibadah di gereja, lebih baik ibadah di rumah melalui Televisi, dengan acara dan khotbah yang menarik. Pemikiran tersebut selain mengabaikan dimensi persekutuan, juga tidak ikut berpartisipasi dalam ibadah pada Tuhan. Apalagi, dalam ibadah bukan manusia yang menonton melainkan Allah dan manusia yang beraktifitas.

Pertanyaan lebih lanjut ialah bagaimana menata ibadah yang hidup dalam arti mewujudnya persekutuan yang indah dan mendalam dengan Tuhan dan sesama? Ada banyak faktor yang mempengaruhi “ibadah yang hidup”, baik dari pihak umat sendiri, tataan ibadahnya, pelayannya, tempat persekutuannya (gedung) dan sebagainya. Materi ini akan mencoba memberikan beberapa pokok pikiran, dengan lebih dahulu mengetengahkan secara singkat pemahaman tentang liturgi.

 2.     Apakah Liturgi itu?

Adakah hubungan antara ibadah dengan kehidupan sehari-hari?  Jawabnya dapat kita telusuri dari asal-muasal istilah liturgi. Menarik sekali, bahwa kata “liturgi’ berasal dari kata berbahasa Yunani: leitourgia. Asal katanya adalah laos (artinya rakyat) dan ergon (artinya pekerjaan/karya). Jadi, liturgi adalah pekerjaan publik atau pekerjaan yang dilakukan oleh rakyat/jemaat secara bersama-sama. Dalam Perjanjian Baru, leitourgia diterjemahkan sebagai pelayanan (misal: 2 Kor 9:12 dan Fil 2:25).  Dalam Septuaginta (yaitu Perjanjian Lama yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani) kata leitourgia juga digunakan untuk menterjemahkan istilah Ibrani abodah (yang berarti ibadah).  Dalam pengertian yang sempit liturgi berarti ibadah, dalam pengertian yang luas liturgi berarti keseluruhan hidup orang Kristen di tengah masyarakat. Dengan demikian sangat jelas bahwa ibadah / liturgi tidak terbatas pada acara ceremonial, melainkan sangat berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari.  Ibadah yang tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari akan menjadi rutinitas yang kering, yang bahkan bisa mengarah kepada kemunafikan.  Sebaliknya, ibadah kita akan lebih hidup dan lebih bermakna bila terhubungkan pada kehidupan sehari-hari dalam segenap dimensi hidup manusia.  Bagaimana caranya? Kita bisa melakukannya dari dua arah.  Pertama, kita membawa pergumulan hidup kita sehari-hari ke dalam ibadah kita.  Ibadah adalah kesempatan terbaik untuk membawa seluruh pergumulan kita – dosa-dosa, ketakutan-ketakutan, kelemahan-kelemahan, dan rencana-rencana kita – di hadapan Tuhan.  Kedua, kita membawa apa yang kita terima di dalam ibadah – sabda Tuhan, motivasi, semangat, dan sukacita – ke dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, liturgi adalah kegiatan peribadahan dimana seluruh anggota jemaat harus terlibat secara aktif dalam pekerjaan bersama untuk menyembah dan memuliakan nama Tuhan. Dengan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa “liturgi” adalah “ibadah.” Setiap ibadah Kristen harus bersifat liturgis; artinya melibatkan setiap orang yang hadir didalamnya. Sekali lagi, ibadah dimana jemaat hanya menjadi penonton yang pasif bukanlah ibadah sesungguhnya. Oleh karena semua anggota jemaat harus terlibat aktif, perlu ditentukan kapan giliran mereka berpartisipasi dalam ibadah dan bagaimana bentuk partisipasinya (apakah menyanyi, berdoa, memberi persembahan, dll). Dari sini muncullah “tata ibadah”yang mengatur giliran partisipasi setiap orang dan Tata ibadah sering disebut liturgi dalam arti sempit.

Banyak orang memiliki konsep yang keliru tentang ibadah. Kita cenderung memandang ibadah seperti pertunjukan teater. Yang menjadi aktor adalah pendeta dan pelayan ibadah lainnya. Penontonnya adalah anggota jemaat yang hadir, sedangkan sutradaranya adalah Tuhan. Konsep ini keliru karena memandang jemaat hanya sebagai penonton! Soren Kierkegaard, seorang teolog Eropa abad ke-19, mengatakan bahwa dalam ibadah Kristen, aktornya adalah jemaat. Sutradaranya adalah para pelayan ibadah (pendeta, liturgos, pemusik), sedangkan penontonnya adalah Tuhan! Tata ibadah adalah skenario drama yang harus dimainkan oleh anggota jemaat sebagai para pemeran. Bagaimana agar hakekat dan makna ini sungguh-sungguh terjadi dalam kehidupan gereja? Perlu penataan ibadah/liturgi dengan baik.

 3.     Bagaimana Menata Liturgi yang baik?

Ada Empat faktor yang mempengaruhi hidup-tidaknya sebuah ibadah. (1) Faktor Pribadi; (2) Faktor Liturgi; (3) Faktor Sarana-Prasarana, dan (4) Faktor Pelayan. Jika keempat faktor ini bisa ditata dengan baik, terjadilah ibadah yang hidup. Sebaliknya, jika factor-faktor  di atas tidak tercipta dan tidak berkerjasama atau terjadi disintegrasi di antaranya, maka ibadah akan berjalan secara mekanis dan rutinitas saja.

3.1.Faktor Pribadi Warga

Kehadiran warga jemaat dalam ibadah (termasuk PA/PD) berhubungan dengan kesadaran dan kedewasaan iman warga. Tetapi ini juga berkaitan dengan: (1) kualitas dan kuantitas dari persekutuan, (2) ibadah, (3) pelayanan, pembinaan – pengajaran, pemberitaan/khotbah, serta (4) penggembalaan yang dilaksanakan. Tentu terlaksananya program tersebut berkaitan dengan keaktifan para pelayan, serta kualitas dan kuantitas para pelayan.

Setiap pribadi yang hadir dalam ibadah sangat menentukan tercapai atau tidaknya ibadah yang hidup. Sehebat apapun disain sebuah ibadah, serta kecanggihan sarana-prasarana, tetapi jika anggota jemaatnya tidak punya hati yang sungguh-sungguh ingin beribadah, tidak dapat menciptakan ibadah yang hidup.

Mari kita melihat hambatan-hambatan apa saja yang dapat menghalangi anggota jemaat beribadah bisa berpartisi secara penuh dalam ibadah.

1)      Adanya Masalah pribadi. Pergumulan hidup, kesehatan yang terganggu, rasa bersalah, krisis iman, semuanya dapat membuat seseorang tidak dapat berkonsentrasi dalam ibadah dan berpartisipasi sepenuhnya. Begitu pula jika seseorang datang beribadah dengan motivasi yang keliru (misalnya, untuk mencari jodoh, bertemu sahabat), maka hatinya menjadi tidak dapat sungguh-sungguh beribadah.

2)      Konsep yang keliru. Banyak orang datang ke gereja dengan pola pikir yang konsumtif. “Saya harus mendapat sesuatu” dalam ibadah, bukannya “saya harus menyumbangkan sesuatu.” Mereka menempatkan diri sebagai penonton, bukan sebagai pemain yang turut rnenentukan hidup-tidaknya ibadah.

3)      Hatinya belum diterangi, Ibadah Kristen hanya bisa bermakna bagi mereka yang sudah diterangi hatinya oleh Roh Kudus (illumination of the heart). Orang hanya bisa mengalami perjumpaan dengan Allah jika hatinya telah”diterangi” (2 Kor 13:14-16), dalam artian ia telah memiliki iman kepada Kristus (Kis 26:18, Rom 8:5, Why 21:5, Yoh 9:39). Jika anggota jemaat belum lahir baru, sulit baginya untuk dapat menikmati ibadah. Baginya, ritus-ritus ibadah hanyalah ritual kosong yang membosankan.

4)              Tidak memahami tata ibadahnya. Jemaat perlu memahami apa yang terjadi di dalam ibadah. Mengapa kita beribadah seperti sekarang ini? Bagaimana melakukannya dengan benar? Disini diperlukan penerangan pikiran (illumination of the mind). Mereka memerlukan pengetahuan tentang liturgi.
5)               
Untuk membantu warga jemaat dalam mengatasi hambatan-hambatan ini, maka gereja perlu melakukan pelayanan yang baik, misalnya:

1)      Menyambut Jemaat dengan sukacita dan persaudaraan. Penyambut umat atau penerima tamu merupakan unsur terpenting dalam menciptakan suasana hati umat. Umat yang datang dari rumah dengan hati gelisah, kesal atau sedih bisa menjadi tersenyum, tenang dan damai ketika mendapat sambutan hangat di depan pintu masuk gereja. Ia akan masuk dan mengikuti ibadah dengan senang dan suka cita. Sebaliknya, umat yang datang dari rumah dengan suka cita bisa menjadi kecewa, kesal bahkan marah karena disambut dengan dingin. Ia akan masuk dan mengikuti ibadah dengan marah dan tidak tenang, setiap unsur ibadah dikomentari secara negatif. Untuk itu, penyambut umat adalah orang yang ramah, suka bertegur sapa dan tidak harus mengenal semua orang. Penyambut umat bukan hanya memberikan tata ibadah atau warta gereja tetapi memberikan salam sejahtera, senyuman, dan tatapan penyambutan persekutuan.

2)      Menciptakan suasana gembira sebelum ibadah dimulai melalui nyanyian.

3)      Memberikan warga jemaat waktu untuk hening. Jika jemaat hadir dengan pikiran yang kusut atau hati yang jengkel, mereka perlu menenangkan diri lebih dulu agar dapat memasuki suasana ibadah. Kita dapat menolong dengan memberikan mereka kesempatan berdiam diri di hadapan Tuhan. Kesadaran dan kepekaan akan Tuhan bisa muncul di tengah keheningan. Suasana hening bisa kita sediakan sebelum ibadah dimulai, jika perlu diiringi musik lembut yang meneduhkan hati. Pada saat pelaksanaan Votum, kita juga dapat mengajak jemaat untuk mengarahkan hati, pikiran dan segenap hidup dalam menghadap Tuhan. Kesempatan lain bagi jemaat menghilangkan pikiran kusut dan hati jengkel atau perasaan tidak enak.

4)      Memberikan pendidikan/formasi liturgi pada jemaat. Untuk bisa beribadah dengan baik, jemaat harus familiar dan menguasai liturginya (predictable). Jika tidak, mereka akan merasa menjadi orang asing (outsider) dan tidak bisa menikmati ibadah. Menguasai liturgi sama seperti belajar sepeda, pertama-tama terasa kaku, namun pengulangan berkali-kali membuat kita makin mahir. Dengan mengulang ritus-ritus dari minggu ke minggu, liturgi akan menyatu dengan jemaat dan menjadi bagian dari gaya ibadah mereka. Oleh sebab itu, kepada anggota jemaat yang baru, perlu kita informasikan tata ibadah yang dipakai, agar mereka bisa mempelajarinya. Arti dan makna unsur liturgi dalam Tata ibadah hendaklah dimengerti oleh warga jemaat. Ingat bahwa ibadah bukanlah tontonan film di TV yang harus terus menerus diganti supaya orang tidak bosan. lbadah adalah sebuah ritual untuk menghadap Tuhan yang harus menyatu dengan jemaat.

3.2.Faktor Liturgi

  • Liturgi harus disusun sedemikian rupa sehingga berjalan dengan baik, memiliki makna dalam persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Dengan demikian, setiap unsur dalam liturgy haruslah memiliki makna teologis. Tidak boleh menurut selera saja.
  • Selain itu, semua unsur liturgi hendaknya saling terpadu dan bersinergi, termasuk pemilihan lagu, nats, maupun doa-doa yang dinaikkan, semuanya harus berfokus pada tema ibadah atau menurut Tahun Gerejani.
  • Dapat menjadi hambatan bagi yang beribadah, apabila  Liturgi tidak dapat mengekspresikan dengan tepat apa yang menjadi pergumulan jemaat, sehingga jemaat tidak merasa terlibat didalamnya.
  • Rumusan-rumusan kata/kalimat Liturgi hendaknya dapat menyentuh pikiran dan hati warga jemaat, dan mempertimbangkan budaya setempat.

Oleh karena itu, gereja hendaknya “menyusun liturginya” dengan baik dengan melibatkan tenaga dari berbagai keahlian, baik bidang teologi, maupun bidang lain, seperti bahasa dan sastra serta social-budaya.

Dalam penyusunan liturgi dimaksud, penting dipertimbangkan soal keterlibatan jemaat, seperti system responsorial dalam unsur-unsur liturgi, termasuk dalam membaca Alkitab secara responsoria. Keterlibatan jemaat dapat juga dalam bentuk paduan suara, vocal grup atau menjadi pemimpin/pemandu nyanyian jemaat. Demikian juga factor gerakan tubuh dalam liturgi penting dipertimbangkan dan ditata, misalnya waktu berdiri, duduk atau aktifitas dalam liturgi sakramen atau upacara lainnya.

3.3.Faktor Sarana-prasarana.

Gedung Gereja tidaklah sama dengan aula. Penataan interior gereja memiliki prinsip-prinsip teologi, yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruangan, antara lain:

1)      Jemaat adalah jemaat yang bersekutu dan beribadah. Oleh karenanya ruangan sebagai tempat/ruangan jemaat harus ada dan ditata sehingga tercipta persekutuan indah dengan sesama anggota tubuh Kristus, dan membeda-bedakan tempat duduk karena status, etnis, ras, bahasa, Negara, dll …. sehingga umat dapat beribadah, memuliakan Allah dengan penuh hikmat.

2)      Dalam ibadah, Firman diberitakan. Bagi Gereja Lutheran dan Calvinis, ini adalah pusat ibadah. Oleh karenanya, mimbar adalah tempat menyaksikan atau memproklamirkan Kabar Baik. Sehingga ia harus mendapat tempat utama dan strategis. Bagi Lutheran, umumnya ia ada di depan (kiri atau Kanan), tetapi kadang tempatkan di tengah, lebih tinggi dengan ketentuan di depannya harus ada meja Altar besar (tempat Alkitab, Lilin dan alat perjamuan di tempatkan). Sedangkan pada gereja Calvinis, umumnya ditempatkan di tengah. Kadang ada yang memberi meja kecil di depannya, tetapi umumnya tidak.

3)      Dalam ibadah, Perjamuan Kudus dilayankan sebagai penyataan kasih Allah, dan sebagai simbol dari gereja yang menata persekutuan dalam Kristus Yesus. Oleh karenanya, meja Altar merupakan hal penting yang harus ada dalam ibadah. Bagi Lutheran, kalau pusat liturgi adalah Firman, maka Perjamuan Kudus adalah puncak. Sehingga meja Altar ditempatkan di tengah pada ruangan altar. Pada Calvinis, Firman adalah pusat dan puncak, walaupun penting Perjamuan dan Baptisan. Sehingga kadang Mimbar yang utama dan kadang tidak terlalu penting meja Altar. Kadang ada yang menempatkan Meja Altar di depan Mimbar, kadang ada yang menempatkan di sebagai kanan, sedang kirinya adalah tempat bejana baptisan.

4)      Dalam ibadah, Baptisan dilaksanakan. Ini merupakan unsur penting selain pemberitaan Firman. Bejana Baptisan merupakan simbol gereja yang membaptis dalam lingkaran liturgis gereja. Oleh karerena, bejana harus tampak dalam tata ruang gereja. Bagi gereja Lutheran, sering ditempatkan disebelah kanan meja Altar. Sedangkan bagi Calvinis ditempatkan disebelah kanan MIMBAR.

5)      Dalam ibadah, jemaat menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan dengan harta milik. Meja tempat persembahan melambangkan gereja yang mengucap syukur kepada Tuhan. Oleh karenanya, ia ditempatkan di depan jemaat.

6)      Organ/pianis/prokantor sesuai fungsinya dalam liturgis, yakni pengiring dan pemandu pujian jemaat, maka posisinya harus berada di depan jemaat. Demikian juga dengan Paduan Suara, hendaknya mendapat tempat khusus. Selain berfungsi sebagai pemuja/pemuji, juga  sbg pemandu nyanyian jemaat, sehingga ia harus mendapat tempat juga di depan jemaat.

Selain prinsip di atas, perlu juga dipersiapkan hal-hal teknis yang dapat mendukung pelaksanaan ibadah. Akuistik ruang ibadah, pengaturan suara (sound system), maupun tata ruang bisa mempengaruhi suasana ibadah. Oleh sebab itu, perhatikan beberapa saran berikut ini.

Ciptakanlah “Suasana Gereja yang menyejukkan.” Ketahuilah bahwa ruang ibadah bagaikan “jendela sorga. “Ia adalah sanctuary: tempat berteduh bagi jiwa yang penat. Oleh sebab itu hindarilah ketidak-teraturan tempat duduk, kotoran, kabel-kabel yang berserakan, dan lain sebagainya. Tata cahaya, rangkaian bunga, tanaman, lilin, kaca patri berwarna, bendera dengan warna liturgis, suara lonceng, semuanya dapat menciptakan suasana religius yang menolong orang menyadari kehadiran Tuhan. Simbol-simbol dalam ruangan ibadah sangat berpengaruh dalam menciptakan suasana ibadah. Simbol bukanlah hal yang dikatakan tetapi setiap umat dapat mengatakannya sendiri. Sehingga upayakan simbol yang mudah untuk dimengerti dan dikatakan oleh umat sendiri. Pengeras suara menjadi bagian yang penting dalam ibadah, khususnya bagi gereja yang memiliki ruang ibadah luas. Sehingga, umat tidak akan bermasalah untuk mendengar ketika ia duduk di bagian manapun dalam ruangan tersebut. Suara yang tidak terdengar dengan baik, akan membuat umat tidak mengikuti ibadah dengan baik. Dekorlah ruang ibadah sesuai dengan tema atau suasana yang ingin diciptakan dalam ibadah dan dengan memperhatikan warna liturgi menurut tahun gerejani.

Persiapkan segala peralatan sebelum ibadah. Saat ini banyak gereja mengandalkan alat elektronik (microphone, LCD proyektor, alat musik elektronik) dalam ibadah. Ini disebut dengan Hightech Worship(Ibadah yang menggunakan tegnologi tinggi). Kelemahan high-tech worship adalah ketergantungannya pada aliran listrik dan alat-alat elektronik. Jika tidak bekerja dengan baik, kebaktian menjadi kacau. Oleh sebab itu, gereja dengan high-tech worship harus benar-benar mempersiapkan peralatannya sebelum ibadah dimulai.

3.4.Faktor Pelayan 

Seindah dan seteratur-aturnya gedung gereja, dan dihadiri oleh banyak warga gereja, dan adanya tata ibadah yang menarik, tetapi kalau para pelayannya tidak siap dan tidak terampil, maka ibadah yang baik dan hidup juga sulit diperoleh. Para petugas ibadah (Pengkhotbah, Liturgos, Pemusik, Paduan Suara, dll) sangat mempengaruhi tercipta atau tidaknya ibadah yang hidup.

  • Pemusik yang keliru memainkan tempo atau gaya lagu dapat menghambat jemaat bernyanyi dengan sepenuh hati.
  • Liturgos yang memandu rangkaian acara, dan membaca Alkitab dengan kurang baik (vocal, cara membaca, nada suara, dll), maka dapat membuat ibadah tidak mengalir lancar dan jemaat merasa bosan.
  • Kolektor yang tidak dipersiapkan atau tidak melayani dengan ramah, dapat membuat jemaat kurang bersukacita dalam memberi.
  • Paduan Suara yang menyanyikan lagu yang tidak sesuai dengan tema ibadah atau tahun gerejani dapat mengacaukan fokus ibadah.
  • Pengkhotbah yang tidak siap, bisa mengacaukan ibadah dan membuat jemaat bosan, tertidur, dan untuk minggu-minggu berikut kurang tertarik datang beribadah.

Disini diperlukan kerjasama yang baik antar pelayan ibadah, agar segala unsur yang terlibat dapat berpadu menjadi kesatuan yang sinergis. Oleh karena itu, amatlah penting persiapan dalam memimpin ibadah, baik liturgos, organis, kolektor, penyambut tamu, dan juga pengkhotbah. Persiapan kemampuan dan ketrampilan harus juga didasarkan pada persiapan hati atau spiritual. Pelayan ibadah haruslah seorang pelayan yang telah terpanggil dan hidup dalam Kristus serta berbuah dalam iman.

 4.     Apa yang perlu diketahui dalam menata ibadah di BNKP?

Ada beberapa hal yang penting dalam menata persekutuan ibadah di BNKP, yakni:

v  Memahami arti dan makna unsur-unsur Liturgi (Artikel lain)
v  Memahami arti dan makna tahun gerejawi (Artikel lain)
v  Memahami model penataan interior dan ekterior gereja (Artikel lain)
v  Memahami model dan teknik nyanyian jemaat dan peranan musik gerejawi (Artikel lain)
v  Memahami arti dan makna kain liturgi, dan sebagainya (Artikel lain)

Berhubung karena keterbatasan waktu, maka saya hanya menguraikan dua pokok saja dalam makalah ini, yakni ARTI DAN MAKNA UNSUR-UNSUR LITURGI BNKP dan PADUAN SUARA (Lihat Lampiran 1 dan 2).

 5.   Penutup

Demikianlah catatan pengantar ini sebagai bahan diskusi dalam pembinaan pelayan, dan diharapkan dapat diperdalam melalui diskusi.

TUHAN MEMBERKATI
Ya’ahowu!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar