follow me via twitter

Rabu, 23 Oktober 2013

Sejarah BNKP Part III

Denninger, Tentang Kemandirian Gereja

 
Konsep Denninger

Konsep kemandirian yang sangat populer pada masa zending adalah Konsep Three-self (Self-propagating, Self-supporting dan Self-governing). Konsep ini merupakan pegangan umum yang terkenal di kalangan para Zendeling dalam melaksanakan Pekabaran Injil di daerah Misi. Konsep tersebut juga telah mempengaruhi Zendeling pertama di Nias, yakni E.L. Denninger. Konsep tersebut dijadikan sebagai prinsip dalam melakukan Pekabaran Injil. Gustav Manzel mengatakan bahwa dalam catatan Denninger, ia menyatakan:

Dalam melakukan Pekabaran Injil, perlu menentukan semacam pusat pelayanan. Untuk penyebaran ke tempat-tempat lain, perlu membina tenaga pribumi yang telah menjadi Kristen, agar mereka yang menyebarkannya. Orang-orang yang telah menjadi Kristen digembalakan agar dari hasil ladang atau ternak, mereka membantu kebutuhan para pelayan. Setelah jumlah mereka banyak, pada akhirnya di-harapkan merekalah yang mengadakan seluruh pembiayaan pelayanan.

Dari kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa Missionaris Denninger, rasul Nias terebut mempunyai konsep memandirikan gereja di daerah Pekabaran Injil, yakni mengupayakan agar orang Nias sendiri yang melakukan Pekabaran Injil dan membiayai sendiri pelayanan dalam penumbuhan gereja.

Latar Belakang Konsep

Gagasan L.E. Denninger tentang pemandirian gereja hasil misi ini, dipengaruhi oleh dosen-dosennya ketika dibina di Seminari Barmen. Ada dua orang dosennya yang memiliki gagasan tentang pemandirian gereja, yaitu: Pertama: Gustav Warneck (1834-1910). Ia mengajar di Seminari Barmen hanya sebentar karena gangguan kesehatannya, namun ia mempunyai pengaruh besar dengan karya-karya tulisanya. Ia juga dilatar-belakangi oleh apa yang disebut neo-pietisme, sehingga menolak teologi liberal-sionalistis, walaupun di dalam teologianya muncul garis pemikiran rasionalistis yang cukup jelas. Bagi Warneck, missi adalah tugas rohani untuk mengalirkan hidup yang telah dimiliki gereja atau orang Kristen sejati kepada dunia kekafiran. Ini dilaksanakan dengan mengirimkan para zendeling, mendidik pengerja pribumi dan akhirnya mengkristenkan seluruh bangsa. Konsep ini disebut "Volkchristianisierung" dan bertolak dari Matius 28:19. Gagasan ini diteruskan/dikembangkan nantinya oleh anaknya yang juga missionaris di Tanah Batak, yakni J. Warneck. Johannes Warneck begitu antusias mengumandangkan soal "Gereja rakyat". Sehingga, dengan mengambil contoh Indonesia, ia berkata bahwa yang terdapat hanyalah "gereja Batak", "Gereja Jawa", "gereja Minahasa" , "Gereja Nias", dll. Subjek missi adalah gereja, sebab gereja adalah gereja yang missioner. Warneck yang juga mendalami gagasan Henry Venn dan Rufus Anderson, menekankan bahwa tugas mission adalah pengkristenan bangsa-bangsa, dan tujuan akhirnya adalah perwujudan Gereja Rakyat yang mandiri, hanya saja baginya jangan terburu-buru menyerahkan kepemimpin an kepada pengerja pribumi. Kemandirian ini tidak hanya sekedar memenuhi cita-cita Tri-Mandiri, melainkan mempunyai makna bahwa pengaruh kristianinya telah meresapi dan menguasai seluruh kehidupan bangsa.

Tokoh yang kedua yang mempengaruhi Denninger adalah A. Schreiber (1839-1903). Ia adalah teolog lulusan Universitas yang pertama di jajaran zendeling RMG. Ia dididik di lingkungan yang sangat diwarnai Pietisme dan teologia kebangunan. Baginya sangat penting pengkristenan seluruh bangsa dan dengan dipengaruhi oleh hasil stuidinya tentang teori mision, khususnya teori Tri-mandiri dari Henry Venn dan Rufus Anderson ketika ia belajar di Inggeris, maka ia melihat pentingnya membentuk Gereja Rakyat yang Mandiri, dan salah satu syaratnya adalah perlu mendidik para pengerja pribumi, serta menyarankan agar kepemimpinan Gereja, sekurang-kurangnya di tingkat setasi, harus diserahkan kepada pengerja pribumi.

Darimana sesungguhnya konsep tersebut, serta bagaimana gagasan Three-self tersebut ?

Konsep Three-self muncul dari pergumulan tentang pentingnya indigenisasi (pempribumian). Dalam indigenisasi ditekankan suatu kenyataan bahwa teologi dilakukan oleh dan untuk suatu wilayah geografis tertentu - oleh warga setempat untuk wilayah mereka.

Dari konsep "indigenisasi", terformulasi suatu konsep yang disebut konsep "Three-self", yakni Self-propagating, self-supporting dan self-governing (Memberitakan sendiri, membiayai sendiri dan memerintah sendiri). Gagasan Three-self tersebut dilahirkan oleh Henry Venn dan Rufus Anderson. Untuk memahami pengertian, ketika konsep ini dilahirkan, penting melihat gagasan pencetusnya (Henry dan Anderson).

Henry adalah anak dari John Venn (Rektor of Clapham, England). Pada tahun 1841 s.d. 1872 Henry menjadi Sekretaris Church Missionary Society, dari gereja Anglican. Gagasannya yang tertuang dalam surat-surat dan dokumen-dokumen diedit oleh Max Warren. Didorong oleh ketidak-setujuannya atas paternalistik missionaris Barat atau sikap 'supervisors', 'director' dan 'paymaster' terhadap orang-orang Asia, Afrika dan Caribbean, maka Henry Venn memformulasikan secara baru goal missi dengan menekankan three-self. Bagi Henry, tujuan missi yang paling istimewah hendaknya dipandang dari hasilnya, yakni melahirkan gereja pribumi di bawah pelayanan dan kepemimpinan pendeta pribumi dan mampu membiayai diri sendiri. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka para missionaris hendanya memberi perhatian pada pelatihan terhadap pribumi agar menjadi pendeta. Sedangkan pembinaan jemaat setempat biarlah dilakukan oleh para pendeta pribumi. Merupakan "euthanasia missi" bila tugas pembinaan jemaat diambil-alih oleh para missionaris. Lebih jauh, Henry mengharapkan agar pada akhirnya, para missionaris dan badan-badan missi ditransfer pada gereja setempat. Henry sendiri sangat bersemangat mengimplementasikan gagasan tersebut, misalnya dengan pengangkatan Bishop pribumi di gereja Nigeria, penyerahan kuasa dan administrasi dalam pengelolaan sekolah kepada pribumi, serta penempatan pelayan pribumi pada posisi-posisi penting dalam gereja. Apakah Henry Venn berhasil? Verkuyl mencatat bahwa upaya Henry Venn menerapkan gagasannya tersebut belum begitu berhasil saat itu, karena keterbatasan kaum pribumi menjabarkan ide Henry Venn tersebut.

Tokoh kedua pencetus ide three-self adalah Rufus Anderson (1796-1880). Dia pernah menjadi sekretasi badan missi, yakni: American Board of Commissionars for Foreign Mission (tahun 1826-1866). Bila Henry Venn seorang Anglican, maka Anderson adalah Congregationalist. Mereka memang berbeda dalam hal sistem pemerintahan gereja, namun keduanya memiliki persepsi yang sama dalam memandirikan atau mempribumikan gereja-gereja yang telah tumbuh dari pekerjaan zending Barat.

Anderson yang memberi penekanan pada three-self, mengemukakan bahwa missi adalah lembaga bagi penyebaran Injil, yang pemberitaannya dilakukan oleh orang-orang kristen sendiri (Missions are instituted for the spread of a scriptural, self propagating christianity). Dalam hal itu ada empat unsur penting lainnya yang menunjang pekabaran Injil, yakni: (1) menobatkan orang-orang yang hilang (Converting of lost human beings), (2) mengorganisir mereka dalam gereja (Organizing them into churches) (3) Memampukan gereja-gereja dengan melatih pelayan-pelayan pribumi agar mereka mempunyai kecakapan (Providing the churches with competent native ministers, dan 4) memimpin gereja pada tingkat kemandirian dan memberitakan sendiri (Conducting the church to the stage of independence and (in most cases) of self-propagating.

Gagasan-gagasan Anderson ini, mula-mula disodorkan untuk zending Amerika, agar di dalam menanam dan menumbuhkan gereja pribumi menggunakan prinsip self-governing (Memerintah sendiri), Self-supporting (membiayai sendiri) dan self-propagating (memberitakan sendiri). Gagasan Anderson ini dikembangkan oleh John Nevius pada tahun 1880-an, dalam pengembangan missi Presbyterian di Korea. Nevius menggambarkan metode pempribumian gereja dalam enam prinsip penting, yakni: Pertama, setiap orang tetap tinggal dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Mereka hidup dan membiayai hidup seperti sebelumnya. Kedua, percaya akan tenaga sukarela untuk tugas perintisan. Ketiga, menempatkan gereja dalam kehidupan rumah tangga. Keempat, supervisi gereja dilakukan oleh evangelis bayaran. Kelima, memperluas pelatihan pengkhotbah, pengajar katekisasi, pemimpin Penelaah Alkitab. Keenam, gereja yang dibangun hendaknya membiayai diri sendiri.

Itulah konsep dari Three-self yang dilahirkan oleh Venn dan Andreson. Konsep tersebut memberi pengertian bahwa menjadi tugas panggilan setiap individu untuk bersekutuan dengan umat Allah, dan kemudian membentuk dan memperlengkapi mereka sebagai jemaat. Dan menurut pencetus konsep Three-self bahwa aspek tersebut di atas sangat diperlukan dalam tugas panggilan Pekabaran Injil. Namun demikian, pada pihak lain konsep three-self ini mempunyai kelemahan. Menurut evaluasi Verkuyl, ada empat kelemahan dari konsep three-self, yakni (1) Terlalu berpusat pada gereja (ecclesiocentric) dari pada Kerajaan Allah. Padahal pusat kesaksian Alkitab adalah Kerajaan Allah. (2) Dalam konsep three-self memberi kesan bahwa ciri gereja yang benar adalah yang mampu membiayai sendiri (self-supporting), padahal gereja dipanggil dendam dan celaan terhadap gereja yang miskin yang tidak dapat membiayai sendiri. (3) Bahwa konsep Three-self dapat membongkar dan memutuskan hubungan antar gereja. (4) Kelahiran konsep Three-self adalah di Barat, dimana yang melakukan Pekabaran Injil bukan lembaga gereja, melainkan missionary societies. Ini berbeda dengan di daerah missi, sehingga dapat menimbulkan perdebatan.

Walaupun konsep three-self dalam perdebatan, namun gagasan tersebut, ternyata mendapat respons dari kalangan missionaris. Konsep Three-self dijadikan sebagai salah satu pedoman dalam memandirikan "gereja muda", hasil pelayanan para Missionaris di daerah missi. Terlebih-lebih setelah digumuli tentang kegiatan missi dalam beberapa konferensi, seperti: Konferensi Edinburgh tahun 1910, di Yerusalem 1928 dan di Tambaran tahun 1938. Walaupun Zending masih mempertahankan soal superiority barat, namun gagasan three-self dijadikan sebagai prinsip dan pedoman Pekabaran Injil dalam memandirikan gereja-gereja yang tumbuh oleh pekerjaan Missionaris. Formulasi inilah yang mempengaruhi para missionaris/teolog melihat kemandirian gereja pada pelembagaan suatu gereja (berdirinya sinode yang dipimpin oleh pribumi).

Konsep dan Implementasinya: Zaman Zending?

Bila melakukan pengkajian secara umum, dapat disimpul¬kan bahwa pada masa zending terlihat para misionaris berupaya memandirikan gereja di Nias, baik di bidang teologi, maupun bidang daya dan dana. Dalam kurun waktu 75 tahun (1865 - 1940), gereja-gereja di Nias yang lahir dari pekerjaan Zending, telah ditata seoptimal mungkin oleh para misionaris, baik pengajaran, peribadatan, tenaga, sumber dan sistem keuangan, maupun sistem pengorganisasiannya, sehingga melembaga dengan nama Banua Niha Keriso Protestan, disingkat BNKP.

Merupakan hal yang penting dan memberi ciri khas dari gereja BNKP adalah gerakan yang disebut "Fangesa dodo“ (Gerakan Pertobatan Massal). Gerakan ini yang mempercepat penginjilan, yang memberi warna teologi, sistem dan yang menggerakkan daya dan dana dari Ono Niha dalam pengembangan Pekabaran Injil dan pemandirian BNKP. Gerakan ini yang membuat gereja Nias, oleh Walter Lempp menyebutnya dengan "Gereja rakyat". Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran dan upaya menuju kemandirian BNKP harus dilihat dalam gerakan pertobatan massal yang disebut Fangesa dodo sebua.

Hanya yang menjadi soal pada masa zending adalah isi dari Teologi yang dikembangkan melalui pengajaran dan dengan pendekatan terjemahan. Dalam kancah "Fangesa dodo", terlihat jiwa dan ciri dari "pietisme" yang juga melatar-belakangi para misionaris yang sebelumnya dididik di sekolah zending di Barmen. Hal itu terungkap dalam menyingkapi problema aktual yang dihadapi oleh masyarakat pada waktu itu, yakni kemiskinan, keterbelakangan dan dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda. Bidang ini masih belum banyak disentuh. Hal lain adalah dalam hubungan dengan budaya. Memang misionaris menggunakan unsur budaya, khususnya bahasa, baik dalam komunikasi maupun dalam terjemahan (Alkitab, Buku zinuno, Liturgi, dan buku-buku pengajaran), namun banyak unsur budaya yang dieliminir, apalagi yang berkaitan dengan "agama suku Ono Niha". Hal itu terungkap dalam "Amakhoita" dan Tata Gereja. Akibatnya terjadi tarik-menarik yang terus menerus dalam hubungan Injil dan Budaya Nias.

Mengenai kemandirian daya. Kita melihat bahwa para misionaris telah berupaya mengembangkan pendidikan di Nias. Bahkan gerejalah yang pertama membuka sekolah di Nias, baik sekolah umum (sekolah zending) maupun pembinaan, kursus para pelayan gereja. Sehingga dalam kurun waktu 75 tahun telah banyak orang Nias yang menjadi pelayan, yang dapat memberitakan sendiri (Self-propagadin). Artinya kebaktian di jemaat-jemaat dapat berjalan dengan baik di bawah pelayanan dan kepemimpinan para Sinenge dan Guru, serta dukungan dari para Satua Niha Keriso dan para Salawa atau Tuhe¬ori. Tenaga pendeta pribumi, pada tahun 1939 telah 20 orang yang aktif melayani. Mereka ditempatkan sebagai pendeta Distrik.

Tenaga pelayan yang telah dipersiapkan itulah merupakan pendukung utama dalam pelayanan di BNKP pada masa zending. Artinya, kelangsungan kegiatan peribadatan, pembinaan atau pengajaran, serta kegiatan pendidikan tidak hanya dikerjakan oleh para misionaris, melainkan didukung oleh warga dan tenaga pelayan pribumi yang ada. Hanya saja, hingga tahun 1939, pelayan pribumi belum menem¬pati kedudukan sebagai Praeses atau pada tingkat sinodal. Artinya mereka belum dipersiapkan untuk kepemimpinan (Self-governing).
Mengenai upaya kemandirian dana (Self-supporting), kita melihat bahwa para misionaris telah berusaha menciptakan keman¬dirian dana. Tidaklah beralasan bila dikatakan bahwa tidak ada usaha misionaris menciptakan kemandirian dana pada masa zending. Justru dengan dukungan besar dari Ono Niha yang menjadi Kristen, maka pelayanan gereja di Nias dapat tercipta. Memang mulanya terlihat praktek "memberi dengan cuma-cuma", tetapi kemudian justru mereka mengupayakan dukungan dana dari warga jemaat, misalnya: dalam pembangunan gedung gereja, sekolah, pengumpulan persembahan dan sumbangan, aksi u'alui dalifusogu, pengangkatan sinenge guna memperkecil pembiayaan dan menata adminitrasi keuangan dengan sistem sentralisasi di aras ressort.

Hanya yang menjadi persoalan adalah bahwa penggalian dana dari warga jemaat harus diikuti dengan pengembangan ekonomi jemaat. Hal ini belum banyak disentuh oleh misionaris, kecuali dengan pendekatan mentalitas, yakni mengajak orang Nias agar jangan terlalu besar "mas kawin" pada pesta perkawinan, karena itu dapat memiskinkan. Selanjutnya sistem pengelolaan keuangan yang menciptakan ketergantungan. Pada masa zending, segenap uang masuk disetor ke Ressort, baru kemudian Ressortlah yang bertanggung-jawab membayar biaya pelayan dan pelayanan. Hal ini telah menciptakan ketergantungan. Juga pendekatan Pekabaran Injil yang pada awalnya diumpan dengan pemberian-pemberian, dapat menjadi penghalang dalam menggali swadaya.

Dengan mengemukakan simpul-simpul tersebut di atas, maka telah memberi potre kemandirian BNKP pada masa zending, baik di bidang teologi, maupun daya dan dana, dengan segala bentuk, keunggulan dan kelemahannya.

Kemandirian Gereja: Pergumulan Oikumenis

Pada dekade 80-an, muncul kembali kesadaran kuat akan pentingnya pempribumian Injil, sehingga gereja-gereja di Indonesia memunculkan gagasan dengan istilah Kemandirian Gereja di bidang Teologi, Daya dan Dana. Itulah salah satu keputusan Sidang Raya X DGI tahun 1984 di Ambon dengan dihasilkannya Lima Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia (LDKG). Dokumen V dari LDKG tersebut adalah "Menuju Kemandirian Theologia, Daya dan Dana". Dokumen I-IV merupakan pernyataan dan pengakuan, sedangkan dokumen V lebih bersifat gagasan dan pedoman untuk dikembangkan oleh gereja-gereja. Gagasan tersebut berisikan kesadaran akan ketergantungan, dan pokok-pokok pikiran, pokok-pokok program untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan menuju kemandirian, baik menyangkut Teologi, daya maupun dana.

Konsep kemandirian itu sendiri telah lama muncul dalam istilah yang berbeda, seperti Penatalayanan, Berdikari, Theologia In Loco, dan sebagainya. Akan tetapi baru mulai terungkap secara sistematis pada Sidang Raya IX DGI 1980 di Tomohon. Sidang Raya IX tersebut memperbahaui tekad bersama gereja-gereja Indonesia, yakni agar gereja-gereja meningkatkan upaya untuk "membaharui, membangun dan mempersatukan gereja dengan kemandirian gereja di bidang Teologi, daya dan dana, demi tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia. Pemunculan gagasan kemandirian tersebut adalah dalam rangka mewujudkan keesaan dengan saling menopang atau mendukung, serta sebagai ungkapan kedesawaan. Gereja-gereja di Indonesia menyadari akan keter-gantungannya pada badan zending atau gereja-gereja di luar negeri. Dengan jelas ditegaskan:

Pada permulaan gereja-gereja di Indonesia, yaitu dalam zaman zending, maka 'pangkalan' bagi teologi, daya dan dana berada di gereja-gereja luar negeri yang mengutus para missionaris ke Indonesia. Sekarang, 'pangkalan' itu harus dikembangkan di Indonesia sendiri secara kontekstual dengan tetap memelihara hubungan saling melayani dengan gereja-gereja di luar negeri sebagai ungkapan dari keuniversalan gereja.

Dengan memahami masalah tersebut di atas (masalah ketergantungan), maka gereja-gereja di Indonesia merasa bertanggung-jawab untuk menuju kemandirian. Pengertian kemandirian gereja menurutdokumen V adalah suatu upaya bersama terus-menerus memperkembangkan semua kemampuan (potensi) dan pemberian Tuhan secara bebas dan bertanggung-jawab bagi persekutuan, pelayanan dan kesaksian. Melalui proses kebersamaan itu gereja menuju kedewasaan penuh dan tingkapertumbuhan sesuai dengan kepenuhan Kristus (Efesus 4:23). Di sisi lain dinyatakan bahwa gereja-gereja di Indonesia harus/mutlak mandiri mengingabahwa gereja-gereja berada di tengah-tengah dan adalah bagian integral dari bangsa Indonesia yang tengah mempersiapkan diri menuju tinggal landas, yang berarti menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta melaksanakan pembangunan Nasional sebagai pengamalan Pancasila.

Untuk mencapai cita-cita kemandirian, maka dalam dokumen V telah disusun kerangka dasar dalam menyusun program yang menyang kubeberapa faktor, yaitu :
  1. Pola-pola pelayanan, kepemimpinan, keteladanan dalam pembinaan kemandirian.
  2. Faktor-faktor sosial budaya yang mendorong maupun yang menghambat pertumbuhan kemandirian.
  3. Bentuk-bentuk persembahan maupun yang menghambat pertumbuhan kemandirian.
  4. Pemanfaatan bantuan luar negeri, baik tenaga, dana maupun pandangan teologi.
  5. Pendayagunaan milik-milik gereja secara tepat, agar dapat mendukung kemandirian.
  6. Dampak modernisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, sambil memperhatikan kondisi yang dihadapi dan menghitung potensi yang ada termasuk soal struktur, disusun program menyangkukemandiri an Teologi, daya dan dana. Program menuju kemandirian di bidang teologi menurut dokumen lima LDKG menyangkupenyediaan bahan-bahan dan bimbingan pembacaan Alkitab serta meningkatkan berteologi dengan kemampuan merumuskan jawaban atas persoalan-persoalan konkri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan bergereja. Dalam hal ini penting melibatkan warga jemaa dari semua lapisan. Program menuju kemandirian daya, menyangkupeningkatan kualitas, mutu para pelayan dan warga jemaat, demi menjalankan tugas kesaksian dan pelayanan gereja dalam konteksnya. Dalam rangka peningkatan kualitas (dewasa dalam iman, mental, pengetahuan dan ketrampilan), maka pendidikan merupakan hal yang penting. Sedangkan program menuju kemandirian dana menyangku penalayanan dan pengelolaan keuangan/harta benda, peningkatan kesadaran memberi (persembahan), dan peningkatan pendapatan masyaraka dengan program-program di bidang perkoperasian, pertanian, kewiraswastaan dan lain-lain.

Kalau kita berbicara tentang dokumen V dari LDKG (Menuju Kemandirian Teologi, daya dan dana), maka pada satu pihak dapat dikatakan bahwa gereja-gereja di Indonesia telah menghasilkan dokumen yang berharga yang lahir dari pergumulan yang dihadapi kontemporer serta dalam pergumulan bersama dibawah tekad membangun, membaharuai dan mempersatukan. Akan tetapi pada pihak lain, ada yang melihabahwa dokumen-dokumen tersebut belum terumus dengan baik dan serta belum mengakar dalam konteksnya. John Titaley dengan gigih menjelaskan bahwa LDKG yang telah dihasil kan oleh gereja-gereja di Indonesia telah salah metodologis dalam berteologi, yaitu melalaikan konteksnya, realitas nasional bangsa Indonesia. John Titaley meliha gereja-gereja hanya memberi perhatian pada realitas primodial, seperti denominasi, suku, daerah, golongan dan sebagainya, dan itulah suatu metodologis berteologi yang kurang tepat. Karenanya Titaley mengusulkan perlunya berteologi kontekstual dalam merumuskan LDKG dengan memperhatikan realitas Nasional, yakni bangsa Indonesia yang telah merdeka 17 Agustus 1945 dan berdasarkan Pancasila. Dengan demikian Titaley mengusulkan pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia (GKEI), serta melengkapi GKEI tersebutdengan PBIK, Tata Dasar dan PTPB, dan inilah upaya berteologi dalam konteks Indonesia. Pada pihak lain, gereja-gereja justru masih mempertahankan LDKG ini, karena melihabahwa dengan lima dokumen tersebut merupakan kemajuan dalam gerakan oikumenis di Indonesia. Dalam Sidang Raya 12, tahun 1994 di Jayapura, justru LDKG tersebutlah yang digumuli dan terus dikembangkan, sesuai dengan pergumulan yang dihadapi.

Itulah sepintas latar-belakang kelahiran, konsep dasar menyusun program serta pokok-pokok program menuju kemandirian teologi, daya dan dana dari dokumen V Lima Dokumen Keesaan Gereja di Indonesia.
Persoalan lanjutan adalah sejauh mana gereja-gereja di Indonesia menggumuli permasalahan yang dialaminya sehingga tetap berada dalam ketergantungan, serta penyusunan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menuju kemandirian gereja, sesuai konteks dimana gereja itu berada. Kapan?

Ya'ahowu

Sumber: Sinode BNKP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar