follow me via twitter

Jumat, 21 Juni 2013

SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA HINGGA TERBENTUKNYA DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA


SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA
HINGGA TERBENTUKNYA DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

A.     Pendahuluan
Beberapa ajakan dari PGI (dulunya DGI) pada bulan oikumene 2013 yang telah berusia 63 tahun adalah:
1.       Terus-menerus tanpa mengenal lelah makin memperkuat persekutuan di dalam wadah PGI dan sekaligus memperluas tekad kebersamaan dengan berbagai aliran dan denominasi untuk pada akhirnya mewujud dalam Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
2.       Terus berkomitmen, bertekad dan melakukan aksi dalam upaya mewujudkan perdamaian dan keadilan bagi keutuhan ciptaan. Gereja-gereja diminta untuk memberikan sumbangan-sumbangan nyata bagi kehidupan masyarakat yang penuh damai tanpa kekerasan, hidup dalam damai sejahtera dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan yang ada.
3.       Tak jemu-jemu untuk menyuarakan keadilan, penegakan hukum dan keberpihakan kepada pelestarian alam. Keadilan bagi gereja haruslah meliputi perjuangan untuk keadilan ekonomi, hak asasi manusia dan keadilan lingkungan.
4.      Berpartisipasi secara penuh dalam gerakan kebersamaan Celebration of Unity yang akan diselenggarakan 17-18 Mei 2013, sebagai komitmen bersama bagi keutuhan Tubuh Kristus di Indonesia.[1]
Dari seruan PGI tersebut di atas, nyata bahwa PGI memiliki pergumulan dan sekaligus telah melewati banyak pergumulan dalam “mewujudkan dirinya” sebagai pembawa damai sejahtera, ketenangan dan ketenteraman di mana dia berada,[2] dengan harapan utama keesaan gereja makin terwujud.
Sebagai lembaga yang telah melewati banyak rintangan, termasuk waktu dirikan, dalam tulisan ini akan diuraikan secara sederhana tentang “SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA HINGGA TERBENTUKNYA DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA”.
B.     Latar Belakang Pendirian DGI Dari Kondisi Nasional dan Internasional
Beberapa usaha di Indonesia yang bertujuan untuk menyatukan gereja-gereja di Indonesia sebelum tahun 1925 antara lain:[3]
1.       Pembentukan LAI di Jakarta tahun 1814, (secara resmi tanggal 9 Februari tahun 1954[4]). Suatu badan ekumenis karena menggabungkan dan melayani semua pihak dari gereja-gereja dan badan-badan pekabaran Injil yang beraneka warna.
2.       Pembukaan pusat pendidikan yang diberi nama Seminari Depok, tahun 1878, yang bertujuan: “supaya selekas mungkin sejumlah penginjil dapat dididik untuk dipekerjakan di daerah-daerah pekabaran Injil”.
3.       Penerbitan majalah bulanan tahun 1855 oleh Ds. King (Majalah Bulanan Pembangunan) yang memungkinkan pertukaran pemikiran di antara para pekabar Injil.
4.       Pendirian Perhimpunan Para Pekabar Injil di Indonesia (Nederlands Indische Zendings Bond) tahun 1881.
5.      Pembentukan Perwakilan Pekabaran Injil (Zendingconsulaat) di Jakarta, tahun 1906. Christian de Jonge menuliskan bahwa “Lembaga ini memang bukan wadah ekumenis karena tidak bertujuan untuk membentuk gereja yang esa, namun orang-orang di dalamnya mendukung usaha memajukan gerakan ekumenis gereja”.[5]
Dari tahun 1925-1941, ada tiga peristiwa atau usaha yang penting dalam lahirnya gerakan ekumenis, yaitu:
1.      Pekerjaan Dr. C. L. van Doorn  yang diutus oleh Nederlandse Christen Studenten Vereniging (NSCV, Persatuan Mahasiswa Kristen Nederland) untuk melayani di kalangan mahasiswa, pelajar dan muda/i pada umumnya. Tahun 1926, ia menetap di Kebon Sirih. Dan di tahun ini juga dibentuk Christelijke Studenten Vereniging (CSV, Perhimpunan Mahasiswa Kristen). Tempatnya sekaligus merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang dilayaninya dari berbagai latar belakang (termasuk suku dan daerah).
Pada waktu ini juga Federasi Wanita Kristen (Christen Jonge Vrouwen Federatie) terbentuk di Kebon Sirih pada tahun 1928/1929 dengan bantuan dari CJVF di Belanda. Federasi ini kemudian diterima sebagai anggota Wordls Young Womens Christian Federation (Federasi Wanita Kristen se Dunia). Sampai masa perang, CJVF ini sudah bekerja di seluruh Indonesia, dan terdiri dari wanita-wanita dan pemudi-pemudi dari berbagai gereja, suku dan daerah terpencil. Ketika perang usai, federasi ini yang berpusat di Batavia, hanya tinggal 2 anggota lagi (Ny. Mulia dan Nn. Fransz). Dari segi tenaga dan dana mereka tidak bisa mengurus federasi ini. Semangat perjuangan mereka membuat didirikannya PWKI ini lagi di Yogyakarta sesudah proklamasi kemerdekaan, dan dinyatakan pula bahwa hanya WNI yang boleh menjadi anggota PWKI.
2.      Pada waktu ini juga Sekolah Teologia Tinggi yang didirikan tahun 1934 memainkan peran untuk mendidik kader pribumi untuk gereja dan bakal gereja juga menjadi tempat pertemuan orang dengan berbagai latar belakang, dan dengan harapan ketika mereka menjadi pemimpin di gereja masing-masing tetap dipengaruhi oleh studi mereka (jiwa ekumenis).[6] Usaha-usaha ini memberikan warna bagi terciptanya DGI karena mahasiswa yang terlibat dalam CSV konferensi se-Asia WSCF di Citeurup menjadi pengalaman yang mendorong beberapa dari mereka untuk terlibat dalam gerakan ekumenis yang mulai timbul di Indonesia.[7]
3.      Konferensi IMC-III di Tambaram pada tahun 1938, yang dihadiri oleh Sembilan orang Indonesia, salah satunya adalah Dr. T. S. Gunung Mulia.[8] Para tokoh-tokoh ini dengan gigih mendukung pendirian DGI.
Selain hal tersebut di atas, Konferensi Pekabaran Injil Sedunia di Edinburgh 1910 juga memainkan peran dalam pendirian DGI. Konferensi Edinburgh ini bisa dikatakan titik mula lahirnya gerakan Oikumene Internasional. Walaupun sebenarnya Gerakan Oikumene sudah dirintis pada zaman Reformasi bahkan sebelumnya, di mana gereja-gereja di Eropa mulai mengadakan pendekatan untuk mewujudkan kesatuannya. Tetapi jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya sebelum konferensi Edinburgh 1910, pergerakan Oikumene baru dirintis oleh beberapa negara dan belum dalam kategori Internasional. Pada konferensi Edinburgh baru dapat dikatakan Internasional, karena terdiri dari berbagai negara di dunia dan diikuti oleh 1.335 utusan, dan 17 wakil dari Asia.[9]
C.      Proses Pembentukan DGI
Pertemuan yang diprakarsai oleh GPI, GKJW, Gereja Kristus dan GKI Jabar, yang dilaksanakan pada 12 Januari 1939, di Batavia, juga dihadiri oleh ke Sembilan tokoh yang menghadiri DGD-III di Tambaran, diputuskan untuk membentuk suatu National Christian Council. Panitia perancang anggaran dasar dewan ditunjuk, dan diketuai oleh Van Randwijck. Pertemuan dari panitia ini berlangsung pada 23 Oktober 1939 di Batavia menjelang sinode Am GPI (24-30 Okotber). Jabatan ketua kemudian dipercayakan kepada Dr. T. S. G. Mulia; Van Randwijck menjadi sekretaris-bendahara; dengan anggota: beberapa peserta IMC-III di Tambaran dan tokoh-tokoh zending.[10]
Rencana pendirian DGI yang dikehedaki pertengahan tahun 1940 tidak terlaksana. Pada pertemuan ketiga, 25 Oktober 1941, ada perbedaan pendapat tentang Anggaran Dasar antara wakil-wakil zending dan wakil-wakil gereja menyangkut azas dewan yang hendak dibentuk.[11] Ditambah lagi dengan PD-II, rencana ini tidak terwujud sama sekali.
Unsur / faktor lain yang membuat gereja-gereja di Indonesia susah bersatu menurut Pilon ada dua hal[12], yaitu:
1.      Gereja-gereja di Indonesia umumnya adalah gereja-gereja daerah.
2.      Adanya perpecahan dan kurangnya koordinasi gereja-gereja Belanda yang mengabarkan Injil di Indonesia.
T. B. Simatupang, sebagaimana dikutip ulang oleh Christian de Jonde, menegaskan bahwa pengalaman gereja pada masa Jepang juga mempengaruhi gerakan ekumenis. Jepang berusaha menggabungkan gereja-gereja di Indonesia dalam organisasi-oraganisi persatuan[13]. Di bawah pimpinan Pdt. Shirato, GPM, GKR, Bala Keselamatan, Gereja Adven dan Pentakosta terpaksa bergabung dalam Pergabungan Geredja-geredja Masehi di Ambon-Syu. Di Minahasa, dewan serupa dibentuk dan GMIM mempercayakan kepada Pdt. Rumambi dan Pdt. Luntungan untuk memimpin di bawah pengawasan Jepang. Pdt. Myahira, ditunjuk sebagai pemimpin Persatoean Keristen Celebes di Makasar.
Namun, menurut Holtrop yang dikutip ulang oleh Hartono, dikutip ulang oleh Christian de Jonge, badan ini tidak begitu berfungsi, karena: pendeta-pendeta Jepang tidak hanya melaksanakan perintah atasan mereka, tetapi juga sungguh-sungguh membantu gereja-gereja di Indonesia yang kehilangan dukungan dari Barat[14] dan sekaligus mau menyadarkan orang-orang Kristen di Indonesia bahwa agama Kristen bukan hanya urusan Barat tapi juga urusan orang Asia.[15]
Akibat dari hasil kemerdekaan pada 1945 dalam gereja-gereja yang ada di Indonesia adalah mencari orientasi / cara kerja baru[16]. Sesudah PD-II, badan pengurus GPI, gereja-gereja Gereformeerd, Zendingconsulaat dan organisasi sekolah-sekolah Kristen mendirikan panitia darurat untuk membenahi dan menolong gereja-gereja yang menderita karena PD-II. Konferensi zending di Batavia, pada tanggal 10-20 Agustus 1946 memutuskan untuk menetukan kebijaksanaan-kebjaksanaan di masa depan. konferensi atas prakarsa Zendingconsulat yang membahas: tempat dan tugas misi dan para misionari dalam NKRI dan rencana pendirian badan ekumene[17]. Dan satu hal yang perlu dilakukan adalah memberikan bentuk kepada dewan-dewan gereja dan pekabaran injil yang direncanakan sebelum perang.[18] Dalam konferensi ini, M. de Niet mengusulkan pendirian Balai Kristen untuk gereja-gereja dalam dan luar negeri yang menjalankan evangelisasi di NKRI[19]. Kesimpulan dari konferensi ini antara lain:
1.      Ekumene di antara gereja-gereja di Indonesia sebelum PD II harus dilanjutkan dan diperluas.
2.      Tujuan kerja sama ekumene ini adalah pembentukan suatu gereja yang esa di Indonesia.
3.      Dewan gereja-gereja di Indonesia dimaksudkan sebagai badan kerja sama gereja-gereja di Indonesia dan gereja-gereja luar negeri yang mengirim zendingnya ke Indonesia.
Karena situasi politik mempersulit pertemuan dewan gereja-gereja di Indonesia dan badan pekabaran Injil Nasional, maka dianjurkan agar gereja dan bakal gereja-gereja di wilayah tertentu membentuk dewan regional untuk melakukan dan mendukung tugas bersama[20].
D.     Pembentukan DGI
Pada tanggal 22 Mei 1946 didirikan Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia (DGP) dengan beranggotakan 6 gereja. DGP ini mengadakan konferensi dengan wakil dari gereja –gereja Belanda di Jakarta, yang menghasilkan Kwitang Accoord (Kesepakatan Kwitang, Mei 1947), yang mengatur hubungan ekumenis antara gereja-gereja Belanda dan gereja-gereja Jawa.[21] Pada 15-25 Maret 1947 juga diadakan konferensi di Malino (dekat Makasar) oleh gereja-gereja dan pekabaran Injil untuk Indonesia bagian Timur. Konferensi ini menghasilkan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Keristen (MOBGK) dengan pusat di Makasar. Tujuan akhir MOBGK ini adalah pembentukan DGI. Pada 28 Oktober – 2 November 1949, diadakan konferensi ke-2 yang membahas rencana pembentukan DGI. Sekretaris MOBGK, Pdt. Rumambi, tahun 1948, dipilih jadi sekretari GPI, dan pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Pdt. Rumambi melanjutkan usaha pembentukan DGI.[22] Selain itu usaha lain, berdasarkan laporan Hartono yang dikutip oleh Christian de Jonge, pembentukan perhimpunan gereja-gereja lain juga terjadi, seperti: Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa (1948) dan Madjelis Keristen di Medan (1949).[23]
Pada Januari 1948, Pdt. Rumambi menulis nota kepada panitia yang menyiapkan pembentukan Majelais Gereja-gereja di Indonesia yang berisi beberapa usulan bagaimana pembentukan dewan dengan menggunakan pengalaman keikutsertaanya dalam beberapa sidang (IMC di Whitby, tahun 1947; konferensi pemuda di Oslo, tahun 1947).[24] Pada tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi East Asia Christian Conference di Bangkok, namun tidak tercapai karena:
“keadaan-suasana di Indonesia belum memberi kesempatan untuk melancarkan niat itu. Ternyata bahwa pada Konperensi Gereja-gereja di Indonesia yang pertama itu, belumlah dapat diteruskan langkah kepada pembentukan resmi dari pada Dewan Gereja-gereja di Indonesia ................ sesudah .............. gereja-gereja ............. beroleh kesempatan untuk mempelajari hasil-hasil ............. Konperensi Persiapan ini, supaya pada konperensi yang akan diadakan kira-kira pada waktu Pantekosta 1950, Dewan Gereja-gereja di Indonesia dengan resmi dapat diperdirikan[25].
Jadi, bisa dikatakan, kegagalan pembentukan DGI sebelum diadakannya konferensi di Bangkok, sesuai dengan harapan Rumambi, dikarenakan:
1.      Keadaan gereja masa pasca-kemerdekaan yang belum stabil.
2.      Gereja-gereja otonom di tiap daerah yang belum mau menerima tujuan dewan yang dibentuk.
3.      Agenda konferensi yang belum matang dan jelas.
Namun, usaha itu tidak berhenti, sebagaimana dikatakan Rumambi[26], pada tanggal 6-11 November 1949, diadakan konferensi Persiapan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, yang dihadiri oleh 19 utusan mewakili 28 gereja di seluruh Indonesia[27]. Hasil dari konferensi ini adalah, ditetapkannya kepastian pembentukan DGI pada bulan Mei 1950. Seluruh persiapan pun dimatangkan. Dan akhirnya, dalam konferensi yang dilaksanakan tanggal 21-28 Mei 1950[28] ini, membuahkan hasil. Pada tanggal 25 Mei 1950, DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Yang menjadi masalah bukan keesaan, tapi bentuknya. Bentuk ini sering dikiaskan dengan: bentuk jeruk (federasi[29]) atau mangga (keesaan total).[30]
E.      Kesimpulan
Dalam penguraian “SEJARAH GERAKAN OIKUMENE DI INDONESIA HINGGA TERBENTUKNYA DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA” di dalam tulisan ini, terlihat faktor yang menyebabkan didirikannya DGI ada faktor dari dalam negeri Indonesia sendiri (khususnya dari kekristenan) dan ada juga dari luar negeri. Dan juga terlihat bahwa DGI sampai terbentuk menjadi lembaga yang disahkan dan diakui, dan yang sekarang terdiri dari berbagai anggota gereja, telah melewati perjalanan yang cukup panjang dan berat. Hendaklah kita, sebagai mahasiswa teologi mengambil hikmah dari semangat juang para pendiri DGI ini yang tidak kenal lelah. Dan biarlah cita-cita pendirian lembaga ini juga kita wujudkan di mana pun kita melayani.






DAFTAR PUSTAKA
1.      Cooley, Frank L., Bagaimana Terbentuknya D.G.I.Majalah Peninjau, Jakarta: LPS – DGI, tahun II, Nomor 4, 1975.
4.      Jonge, Christian de, Menuju Keesaan Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
5.      Kirchberger, Georg, Gerakan Ekumene: Suatu Pendahuluan, Flores: Ledalero, cet., I, 2010.
6.      Pilon, P. K., Oikumenika: Bagian Sejarah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972.


[1] http://www.pgi.or.id/index.php/agenda-pgi/item/66-bulan-oikoumene-2013. Diakses pada hari Rabu, tanggal 29 Mei 2013, pukul 18.34 WIB.
[2] Ayat kutipan penutup pesan bulan oikumene ini adalah: Yesaya 32:17
[3] Ini berdasarkan laporan Muller-Kruger yang mencoba memaparkan beberapa usaha yang dilaksanakan untuk menyatukan kekristenan yang bercorak Protestan sebelum tahun 1925, dalam tulisan: Frank L. Cooley, Bagaimana Terbentuknya D.G.I.Majalah Peninjau (Jakarta: LPS – DGI, tahun II, Nomor 4, 1975), hlm.303.
[4] Untuk tahun pendirian LAI ini secara resmi, Pilon berpendapat bahwa ini terjadi tahun 1951. P. K. Pilon, Oikumenika: Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972), hlm.80.
[5] Christian de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm. 83.
[6] Christian de Jonge, hlm. 84.
[7] Ibid.
[8] Dr. T. S. Gunung Mulia sendiri juga telah menghadiri konferensi sebelumnya yang dilaksanakan pada tahun 1928 di Yerusalem. Ibid.
[9] Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene: Suatu Pendahuluan (Flores: Ledalero, cet., I, 2010), hlm. 90.
[10] Georg Kirchberger, hlm. 90.
[11] Christian de Jonge, dengan merujuk catata dari Hartono, menyatakan perbedaan pendapat ini tidak jelas tentang apa. Ibid, hlm. 85.
[12] P. K. Pilon, Oikumenika: Bagian Sejarah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1972), hlm.79.
[13] Menurut T. B. Simatupang faktor yang memicu pembentukan DGI adalah: Doa Yesus dalam Alkitab (baca Yoh.17:21) dan Pengakuan Iman; Jiwa Nasionalisme menjelang dan sesudah PD-II; Pengalam pemuda Kristen dalam Christelijke Studentenvereniging (CSV, Perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Kristen) dan pada Sekolah Teologia Tinggi (sekarang: Sekolah Tinggi Teologia) di Jakarta; Pengalaman pada masa Jepang; dan Pengaruh gerakan oikumenis dari luar (IMC, WSCF, DGD) dan pengaruh dari tokoh-tokoh pekabaran injil. Christian de Jonge, hlm. 85.
[14] Christian de Jonge, hlm. 85.
[15] Ibid.
[16] Georg Kirchberger, hlm. 133.
[17] Ibid, hlm. 134.
[18] Christian de Jonge, hlm. 85.
[19] Georg Kirchberger, hlm. 134.
[20] Diadaptasi dari Georg Kirchberger, hlm. 134-135.
[21] Christian de Jonge, hlm. 85.
[22] Ibid, hlm. 86.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] W. J Rumambi dalam Frank L. Cooley, Bagaimana Terbentuknya D.G.I.Majalah Peninjau (Jakarta: LPS – DGI, tahun II, Nomor 4, 1975), hlm.304.
[26] Ibid.
[27] 13 dari gereja di Indonesia bagian Timur, 3 dari Sumatera, 1 dari Kalimantan, dan 11 dari Jawa. Cooley menambahkan bahwa, ada dua gereja non-pribumi yang menghadiri konferensi ini, yaitu: Gereja Methodis dan Gereja-gereja Gereformeerde; penasehatnya ada 21 orang, yakni: 14 orang Indonesia dan 7 orang Belanda; dan ada 9 orang peninjau. Jadi semua ada 49 orang (termasuk 12 orang Barat). Ibid.
[28] Ada 22 gereja yang hadir pada konferensi ini, Ketua Umum PGI adalah Pdt. Dr. A.A. Yewangoe – dari  Gereja Kristen Sumba – dan Sekretaris Umum adalah Pdt. Dr. Gomar Gultom, M.Th – dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) – periode 2009-2014. Saat ini terdapat 89 sinode gereja yang menjadi anggota PGI. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Anggota PGI:
  1. Mempunyai Tata gereja sendiri memberitakan Firman Allah dan melayani sakramen sesuai dengan kesaksian Alkitab.
  2. Mempunyai Anggota Dewasa yang sudah dibaptis/sidi sekurang-kurangnya 2.000 orang.
  3. Menunjukkan kerjasama yang baik dengan gereja-gereja tetangganya, terutama gereja anggota PGI.
  4. Menyatakan persetujuannya secara tertulis terhadap Dokumen Keesaan Gereja serta kesediaannya untuk melaksanakan semua hal dan kewajibannya sebagai gereja anggota dengan bersungguh-sungguh.
  5. Menyatakan kesediaan mencantumkan "ANGGOTA PGI" di belakang nama gereja yang bersangkutan.
Tokoh penting DGI dari BNKP adalah: Yupiter Gulö. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia. Diakses pada hari Rabu, tanggal 29 Mei 2013, pukul 18.42 WIB.
[29] Federasi adalah gabungan beberapa perhimpunan yang bekerja sama dan seakan-akan merupakan satu badan, tetapi tetap berdiri sendiri.
[30] Christian de Jonge, hlm. 87.

file lengkapnya di sini

1 komentar:

  1. Salam Kasih dalam Tuhan Yesus,saya yoseph marto,manggarai timur flores ntt,hp 081236947221,cundemarto@gmail.com,senang membaca tulisan anda tentang Gerakan Oikumene di Indonesia,karena sangat erat dengan karya arsitektur saya sebagai karya tugas akhir saya dalam rangka meraih gelar sarjana arsitektur tahun 1997 di Uivetsitas Katholik Widya Mandira Kupang.intinya bahwa saya ingin ntt yang kami cintai mempunyai ikon atau land mark yang membanggakan kita semua yaitu OIKUMENE CENTRUM,yang dibangun di sebuah pulau kecil di teluk Kupang ntt,semoga anda juga salah satu yg diutus untuk mewujudkan gagadan ini seperti yg diharapkan oleh Yesus sendiri UT OMNES UNUM SINT,semoga mereka bersatu ya Bapa seperti Aku dalam Dikau dan Dikasu dalam Aku (yoh:17:21)

    BalasHapus